"Sekarang, Pak Ustaz harus pergi lebih dulu. Bawa Gia."
"Maksudnya?"
Sang ustaz menoleh. Ia tak mengerti apa yang diucapkan Pak Badrun. Dalam istirahat sejenak mereka, pembicaraan itu terlalu serius. Namun dalam keadaan seperti ini, bukanlah waktu yang tepat untuk bercanda.
Pak Badrun membuka bagian kaki yang masih terasa sakit, walau sakitnya tak terasa seperti sebelumnya.
"Lihatlah!"
Senter diarahkan pada kaki Pak Badrun.
"Apa? Kenapa bisa sampai seperti ini? Bukannya Pak Badrun tadi masih bisa berjalan?" Sang ustaz tak menyangka, bahwa keadaan Pak Badrun lebih buruk dari yang ia kira.
Mengetahui kenyataan, Gia menangis, memeluk sang ayah.
"Tenanglah! Bapak baik-baik saja. Kamu jangan khawatir." Ujarnya menenangkan Gia.
"Jangan buang-buang waktu, kalian harus segera pergi!"
"Tapi, Pak...Gia nggak mau ninggalin Bapak."
Tangis Gia semakin menjadi, walau ia tetap menahannya, agar suaranya tak mengundang bahaya. Beruntung, di tempat itu, suara derasnya aliran air menyamarkannya.
"Anak bodoh! Kamu harus nurut apa kata Bapak!"
Pak Badrun marah. Gia tak sanggup membantah. Sang Ustaz tak ingin memperkeruh suasana. Ini adalah kali pertama ia begitu marah terhadap Gia.
"Maafkan Bapak, Nak," ucapnya dalam hati.
Sang ustaz berdiri. Kemudian menarik Gia untuk segera pergi.
"Kalau begitu, saya duluan, Pak. Bapak tunggu di sini, sembunyi di tempat rimbun, saya akan kembali membawa bantuan!"
"Ya, pergilah!"
Mereka berpisah. Sang ustaz pergi membawa Gia dengan semangat juang membara. Gia tetap menangis, tak tega meninggalkan sang ayah di sana. Sementara Pak Badrun sendiri akan berusaha untuk bertahan di tempat yang sama.
"Saya tak bisa tetap di sini. Mungkin masih bisa melakukan sesuatu yang berguna. Maafkan Bapak, Nak, Bu."
****
Wajah itu telah memiliki ekspresi. Ia tak membisu dan kaku seperti sebelumnya. Sesuatu telah membuatnya murka. Dalam kegelapan, ia telah memaksakan kesadarannya. Walau ia merasa telah berada di tubuh yang salah.
Satu pukulan dilayangkan. Amarah menguasai hingga tak sadar kekuatan telah melampaui batasan diri.
Ki Saleh dalam ambang batas kesadaran. Adegan itu membuatnya bertanya, "apa yang terjadi?" Melihat sesuatu di luar nalar tengah tersaji.
Beberapa kali, goa berguncang ringan. Benturan tubuh mengenai dindingnya memberi getaran. Ki Saleh melihatnya mengamuk.
****
Gelap. Pak Badrun tak bisa melihat sekelilingnya dengan jelas. Semua tampak menakutkan.
Beberapakali ia mengerjap, menyesuaikan pandangan ke sekelilingnya. Rasa lelah, sakit, teringat akan kematian membuatnya menyerah.
Ia menatap langit. Bintang mengintip dari celah dedaunan lebat. Sekilas, ia menemukan kedamaian. Alam telah memberi semua, namun manusia terlalu serakah mengatas namakan harapan.
Teringat masa lalu, ketika semua terlihat gelap tak memiliki mimpi. Semua berakhir hari ini. Setidaknya itulah yang diharapkan.
"Apa harus dengan orang lain? Ah, sepertinya tidak."
Pak Badrun mulai merangkak. Sorot mata telah berbeda. Ada yang harus ia tebus untuk menyelesikan semuanya.
****
Sang ustaz menemukan petunjuk yang ia tinggalkan. Semangatnya memuncak. Bukan hanya karena mengemban tanggung jawab untuk menyelamatkan Gia. Sang ustaz pun bertekad untuk segera kembali membawa bantuan. Ia berharap untuk bisa menyelamatkan semuanya, atau setidaknya salah satu di antara mereka.
Isak tangis sesekali terdengar, bergantian dengan napas Gia yang tersengal. Tangan sang ustaz menggenggamnya dengan kuat. Ia tak ingin kehilangan amanat yang dititipkan Pak Badrun padanya.
Petunjuk yang ia tinggalkan, perlahan namun pasti membawanya pada tempat yang ia tuju. Satu sibakan terakhir pada semak belukar membawa pandangan matanya melihat reruntuhan rumah-rumah perkampungan kosong, tempat di mana mobil yang mereka bawa berada. Harapan kian kuat terwujud.
Sang ustaz tergesa. Deru mesin mobil mulai meraung, di tengah kegelapan, mengusik ketenangan hewan-hewan malam.
Gia duduk di samping sang ustaz. Untuk sesaat, ia selamat, walau tidak dengan hatinya.
Mobil bergerak maju. Cahayanya mulai membelah jalanan berbatu. Sang ustaz berusaha tetap fokus, tak tergoda oleh rasa takut yang semakin menyeruak. Mobil melaju tak stabil. Bebatuan membuatnya terguncang, seolah alam tergoda ingin menghancurkan yang telah menghilangkan ketenangan.
****
Tertatih. Dibantu oleh sebatang kayu, menelusuri jalan kembali tanpa arah pasti. Satu tangan menyibak dedaunan dari tumbuhan kecil yang terasa atau samar terlihat menghalangi. Sementara salah satu kaki memastikan pijakan sebelum ragu melangkah. Pak Badrun sudah tak berpikir bahwa ia akan mati. Baginya, mati karena terkaman hewan buas malam hari mungkin takkan jauh berbeda dengan mati karena ia telah mengingkari janji.
Dingin khas dataran tinggi harus puas tak ditanggapi. Pak Badrun justru bersyukur. Rasa dingin itu telah membekukan penderitaannya. Rasa sakit bisa sedikit mereda, walau ketika ia menapakannya, rasa sakitnya masih terasa. Tentu saja, karena beku tak dapat membuatnya sembuh begitu saja.
Pak Badrun bergerak mengikuti insting. Ia sudah cukup menjauh dari sungai tempatnya merenung.
Pak Badrun berhenti. Beberapa kali ia melakukan hal yang sama, semata-mata demi meredakan rasa sakitnya. Hal itu tak lama ia lakukan, karena dengan kondisinya saat ini, ia pun cukup lama berjalan ke tempat yang menjadi tujuan.
Entah telah berapa lama ia berjalan. Ia tak bisa memperkirakannya. Selama masih ada sisa tenaga, ia akan tetap berjalan.
Pak Badrun berdiri, di tepian tebing menjulang. Sekilas, ia mampu melihatnya dalam kegelapan.
"Ini tempat berbeda dari sebelumnya."
Pak Badrun kembali berjalan. Ia menelusuri sisian tebing, demi mencari sebuah celah. Salah satu tangannya beberapa kali meraba, memastikan bahwa apa yang ia cari tak jauh dari sana. Ternyata, tak butuh waktu lama menemukannya. Lubang besar mampu ia lihat dari tempatnya berdiri. Dari lubang itu, nampak cahaya kuning keluar, seolah memecah kegelapan sekelilingnya. Pak Badrun dengan mudah melihatnya.
****
Tok tok tok. Ketukan kecil pada pintu sebuah warung di sisi jalan. Sang ustaz bermaksud meminta bantuan. Ketika dalam keberangkatan, ia dan yang lainnya sempat mampir untuk berisirahat. Tak ada jawaban dari sana. Sang ustaz kecewa. Namun ia tak menyerah dan kembali ke mobil untuk melanjutkan mencari bantuan adalah satu-satunya jalan termudah yang bisa ia lakukan.
Mobil kembali melaju, menuju jalan besar yang seingat sang ustaz tak begitu jauh dari sana. Dalam tekanan seperti saat ini, tentu perjalanan akan terasa berbeda.
Mobil telah menapaki jalan mulus beraspal. Sang ustaz menambah kecepatan. Ia ingin secepatnya tiba ke sebuah pos polisi dekat dengan lampu merah jalan.
Sang ustaz mengesampingkan keselamatan beberapa kendaraan lain yang berpapasan di jalan. Bunyi klakson bergantian bersahutan. Diantaranya diiringi dengan beberapa umpatan. Sang ustaz tetap melaju. Ia tak peduli dengan klakson panjang sebagai peringatan, bahwa ia mengemudi begitu membahayakan. Mata sang ustaz melihat cahaya merah. Memberi harapan dan keyakinan bahwa mereka akan segera mendapat bantuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)
HorrorSejak kejadian itu, hidupnya memang telah berubah, namun semua perlahan menjadi biasa karena telah terbiasa.