40. Pertarungan.

160 25 0
                                    

"Apa ini?"

Sesosok tinggi besar tampak di hadapan mereka. Ki Saleh mengarahkan senter kecil pada sosok itu. Tingginya dua kali dari tinggi mereka. Mereka terpaku. Pak Badrun kembali menyelami ingatan yang terjadi waktu itu. Ia pernah melihatnya. Walau dalam gelap, ia yakin, sosok itu masih sosok yang sama. Di hadapan sosok itu, bercecer bekas-bekas dari sisa pemujanya. Kotor, usang serta penuh dengan jejak kesesatan.

"Apa ini tempatnya?"

"Ya. Saya yakin dan saya ingat pernah ada di sini."

Sosok itu tetap diam. Selayaknya patung yang memang tak patut disembah.

Ki Saleh mengarahkan senter pada beberapa tempat. Ia mencari adanya kemungkinan tempat lain di sana. Namun ia tak dapat menemukannya. Tempat itu menjadi ujung namun menjadi pangkal pada jalan kegelapan.

"Sepertinya sekarang kita harus mulai!"

Ki Saleh memberikan senter kecil itu pada Pak Badrun. Kemudian, ia mulai duduk bersila, menghadap patung besar dihadapannya. Jarak ia duduk dari patung itu tak lebih dari dua meter.

"Kita tak tau ini akan berhasil atau tidak, karena syarat yang seharusnya kita bawa ada di dalam mobil. Berdo'a saja, semoga yang maha kuasa menunjukan kebesaranNya."

Ki Saleh mulai memejamkan mata. Menciptakan hening seketika. Pak Badrun mundur, mencari tempat nyaman untuk menyandarkan punggung. Sang ustaz mengikutinya. Pak Badrun mematikan senter itu. Ia tak ingin cahayanya mengganggu konsentrasi Ki Saleh yang sedang duduk merapal do'a.

Gelap menguasai. Detak jantung mulai terdengar mendominasi. Embusan napas mereka atur agar tak terdengar sama sekali. Dalam kondisi saat ini, mereka hanya bisa pasrah setelah berusaha sepenuhnya.

Sejuk mengusap tengkuk. Rasa merinding kian menjadi, namun mata mereka berat untuk tetap bisa menguasai diri. Pak Badrun menggeleng dengan kasar. Beberapa cara ia lakukan agar bisa mempertahankan kesadaran. Mulai dengan mencubit kulit lengannya sendiri, hingga menampar pipi.

Sang ustaz melakukannya dengan cara berbeda. Ia lebih memilih melawan rasa kantuknya dengan memejamkan mata. Mungkin ia lelah, atau memang telah pasrah.

Pak Badrun mulai mendengar suara. Ia menoleh, namun tak berniat menyalakan senternya kembali. Ia hanya berusaha mencari tau mengandalkan pendengarannya saja. Suara itu perlahan berubah kian kencang. Pak Badrun melotot. Ia kesal mendengar dengkuran yang keluar dari tidur lelap sang ustaz.

Pak Badrun tergoda untuk melakukan hal yang sama. Keinginannya masih sangat kuat, namun kondisi tubuh serta pikirannya tidak. Dalam posisi duduk bersandar pada dinding goa, Pak Badrun mulai terpejam sepenuhnya.

Sepasang cahaya merah mulai muncul. Tak ada yang menyadarinya. Cahaya itu mulai mendekati mereka.

Raga di depan mata, tak lagi sebuah boneka. Ia nyata, walau manusia tak dapat menyentuhnya.

Ki Saleh tau. Ia merasakan kehadirannya. Begitu kuat, namun tak membuatnya merubah niat.

Mata perlahan terbuka. Sosok itu tak terlihat. Raganya diselimuti oleh gelap. Ki Saleh mulai menengadah, dan mendapati mata merah di sana. Jelas, ia merasakan sosok itu tak menyukai kehadiran mereka.

Ki Saleh bangkit. Ia berdiri tegak, walau tetap tak mampu mengimbangi tingginya. Bahkan untuk setengahnya saja. Namun ia tetap menengadah. Keberaniannya tetap tak berubah. Sejak dulu hingga kini masih tetap sama. Hanya raga yang nampak berbeda. Tak lagi prima seperti saat ia muda.

"Apa maumu?"

Suara menggema. Namun tak mampu menyadarkan mereka yang tengah terlelap berdua. Satu sisi, Ki Saleh bersyukur, bahwa pertarungannya takkan terganggu oleh siapa-siapa. Di sisi lain, ia tak mendapat bantuan dari mereka, dan itu merupakan kerugiannya.

"Kau bertanya layaknya makhluk bodoh yang tak mengerti apa-apa. Bukankah sudah jelas...kembalikan gadis itu!"

"Ini adalah wilayahku. Pergilah! Saat ini kau masih bisa selamat."

Ki Saleh tersenyum, sinis.

"Cih. Tanpa pergi pun, aku akan tetap selamat."

"Hahahahaha."

Sosok itu tertawa. Meremehkan keberanian manusia tua yang tetap berdiri menantang.

"Nyalimu saat ini, tak sebanding dengan tenaga yang kau miliki." Lanjutnya.

"Yang perlu kau tau, aku datang kesini tak sendiri."

Ki Saleh yakin, apa yang ia yakini akan membantunya saat ini.

"Hahahahaha."

Mata merah itu tertuju pada dua orang yang tengah tak berdaya di sisi goa.

"Bagaimana mungkin orang seperti mereka bisa melakukan sesuatu." lanjutnya. Kembali meremehkan.

"Akhiri pembicaraan tak berguna ini.! Kembalikan gadis itu!"

"Tidak! Ia telah terikat. Aku hanya menagih apa yang mereka janjikan. Kalian manusia, memang makhluk paling mudah untuk ingkar, bahkan pada tuhannya sendiri."

"Lantas apa maumu?"

"Kan kujadikan ia keturunanku, bersama dengan keturunanku yang lainnya."

"Apa maksudmu?"

Sosok itu tak menjawabnya. Namun suasana seketika berubah. Goa yang sebelumnya berada dalam kegelapan, mulai diterangi cahaya. Titik demi titik mulai menyala. Dari ujung hingga ke tempat mereka berada. Bahkan hingga menampakan sosok wujud di hadapan Ki Saleh saat ini.

Ki Saleh terkejut dengan apa yang dilihatnya. Kegelapan pada sosok itu sirna. Ia berganti rupa menyerupai makhluk sempurna. Tak ada kata seram yang biasanya melekat. Bahkan sosok itu tampak menawan berkharisma. Pakaian khas kerajaan berlapis emas berkilau, serta mahkota melekat di atas kepala.

"Jadi ini wujudmu yang sebenarnya? ... Ah, aku lupa, jika makhluk sepertimu bisa berganti rupa sesukanya."

Tinggi sosok itu tak seperti sebelumnya. Walau tingginya masih lebih dari laki-laki tua keras kepala dihadapannya.

"Pergilah! Jika kau tak ingin mati seperti saudaramu. Ini adalah kesempatan terakhir."

"Mati hari ini atau nanti, itu sama saja!"

"Hahahaha ... Kalian memang keras kepala."

Brug. Ki Saleh terlempar dengan mudahnya. Tak ada gerakan dari sosok itu, hingga Ki Saleh tak sempat memasang kuda-kuda. Ki Saleh bangkit dengan rasa sakit. Ia mulai membaca doa, dari kemampuan yang ia bisa.

Ki Saleh maju. Wajahnya masih terlihat tenang. Kian dekat, langkahnya semakin berat. Sosok itu tak memberinya kesempatan untuk melawan.

"Bagaimana mungkin kemampuan seperti ini bisa melawanku."

Brug. Ki Saleh kembali terlempar. Kali ini, bahkan lebih jauh dari sebelumnya. Darah merah mulai menetes. Ki Saleh terluka. Tak tampak dari luar, namun ia merasakannya. Ki Saleh mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya. Tangan kanan dipasangkan sebuah gelang, sementara tangan kirinya dililitkan sebuah kain, yang pernah ia gunakan untuk membakar makhluk yang sebelumnya mengganggu salah satu dari mereka.

Ki Saleh kembali maju. Pertarungan itu tak terlihat oleh mata biasa. Namun bisa dirasakan fisik secara nyata.

Langkah tak terasa berat seperti sebelumnya. Bahkan Ki Saleh bisa melesat dengan cepat. Sosok itu tersentak, bahkan satu serangan hampir saja mengenainya. Ia mundur, namun kemudian menyerang Ki Saleh yang saat ini begitu dekat dengannya. Satu serangan kembali mengenai Ki Saleh, namun serangan itu menimbulkan reaksi berbeda dari sebelumnya. Ki Saleh masih tetap ditempatnya. Serangan sosok itu tertahan oleh tangan kiri Ki Saleh. Sosok itu kembali mundur. Satu serangannya berakibat rasa panas untuk dirinya sendiri.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang