"Di mana ini? Tempat apa ini?"
Gia tersadar, dan mendapati dirinya tak berada di tempat seharusnya. Ia berada di tempat yang indah, namun ia tak menginginkannya. Suasananya begitu sepi. Danau berwarna merah jingga, dedaunan kuning teduh, semilir angin sejuk membuai untuk ia nikmati. Semua tak terlihat seperti sebuah kenyataan yang sebenarnya. Matanya berkeliling, mencari sesuatu yang mungkin masih bisa ia sebut normal, dan ia menemukannya. Dari jauh, terlihat seseorang sedang berdiri menatap danau di depannya. Rambutnya panjang, ia tak seperti seseorang yang hidup di jaman seperti saat ini. Pakaiannya berbeda. Gia mendekat. Dalam hati, ia ingin bertanya bahkan mungkin meminta pertolongan agar ia bisa kembali. Semakin dekat, Gia mencium wangi luar biasa yang begitu memanjakan indera penciumannya. Wangi yang tak pernah ia cium sebelumnya. Rasa penasaran ia singkirkan, memberanikan diri bertanya agar bisa pulang.
"Maaf, apa aku boleh nanya sesuatu?"
Menyadari bahwa ia tak sendiri, wanita itu menoleh. Gia tak menyangka bahwa ia akan begitu mengagumi wanita yang baru saja ia lihat kesempurnaannya. Wanita itu tersenyum.
"Akhirnya, kamu kembali."
****
Gia menatap kebisingan disekitarnya. Ia tak merasa takut berada di tengah hingar-bingar sekelompok orang bermoshing ria, senyumnya jelas menggambarkan perasaan senang, aman dan nyaman. Sementara sahabatnya, beberapa kali memperhatikan suasana sekitar yang asing untuknya. Ngeri, melihat pemuda dengan gambar memenuhi kedua lengannya yang mereka sebut seni.
"Gi, kamu gak salah ngajak aku ke sini?"
Gia menoleh menatapnya, ia tersenyum.
"Kan kamu sendiri yang pengen ikut, padahal aku udah ngasih tau kalau aku mau pergi ke acara band."
Laras cemberut, namun pandangan Gia teralihkan melihat sosok vokalis band yang kini sedang menunjukkan performanya di atas panggung. Ia menggeram, suaranya kian memecah kegilaan orang-orang dihadapannya, namun Gia tersenyum, baginya, apa yang ia lihat saat ini begitu menyenangkan. Suasana baru, juga rasa yang tak lagi sama. Gia yang hanya seorang siswi biasa, mampu meluluhkan laki-laki yang dikenalnya tanpa sengaja.
"Oke, itu baru lagu pembuka, tapi kalian luar biasa, gila. Lagu berikutnya kalian harus lebih brutal dari ini, oke, tapi sebelum itu, kalian harus tetap ingat, jaga diri, kita di sini sama-sama menikmati, jangan saling baku hantam, karena kalau kayak gitu, itu tandanya kalian kampungan."
Suara geraman kembali menjadi pembuka sebuah lagu. Seperti yang telah diucapkan sang vokalis, beberapa penonton yang sebelumnya hanya terlihat duduk atau berdiri di sekitar panggung, kini mulai maju untuk menjawab tantangan. Tak pelak, suasana riuh tak terkendali membuat Laras semakin ciut nyali.
"Gi, munduran, yuk, lihatnya dari samping aja."
Laras merengek, ia khawatir terjadi keributan di tengah orang-orang yang terlihat seperti sedang baku hantam tersebut. Gia mengalah, ia mengikuti keinginan Laras untuk sedikit menjauh.
Belum sempat mereka menjauh, keributan telah terjadi, memaksa beberapa orang dari mereka yang berada di antar keributan ikut melerai atau menengahi, walau harus dengan cara memukuli keduanya. Melihat suasana sedikit diluar kendali, sang vokalis menghentikan lagu.
"Waduh, baru aja tadi gua bilangin, ini malah kejadian. Mau lanjut gak nih? Ini baru lagu ke dua, loh."
Sukses mengendalikan suasana, sang vokalis kembali menggeram dengan suara ghrowl rendah khas suara musik death metal. Suasana yang mampu dinikmati kembali memacu mereka untuk bermoshing ria.
"Gi, aku gak habis pikir, kok kamu mau sih ke tempat kayak gini, gak takut apa?"
Suara Laras yang cukup kencang nyatanya tak mampu didengar jelas oleh Gia. Dari samping panggung, mereka berdiri terlalu dekat dengan speaker. Sejak lagu dimulai kembali, Laras terpaksa menutup kedua telinganya dengan jari, agar bisingnya tak semakin menyiksa.
"Apa, Ras?"
Laras tak ingin memperpanjang obrolannya, ia lebih memilih menggelengkan kepala pertanda tak ingin melanjutkan niat semula. Wajahnya masih muram, bibirnya sedikit maju, ia merasa sangat tak nyaman berada di sana.
Lagu kedua telah selesai. Untuk sejenak, Laras bisa sedikit lega.
"Ras, dia kemana, ya?"
Pandangan Gia menatap ke arah panggung, namun ia tak menemukan apa yang ia cari. Mendapati Gia bertingkah tak biasa, Laras mengarahkan pandangan pada panggung yang tak menunjukkan keberadaan orang yang Gia maksud.
"Gak tau, aku gak merhatiin, Gi."
Belum sempat menimpali apa yang dikatakan sahabatnya, Gia dikagetkan dengan tepukan pada pundaknya. Gia menoleh, ia tersenyum pada laki-laki yang juga tersenyum kepadanya.
"Ini, Gia?"
Lagi-laki itu bertanya dengan sopan, seperti tak sesuai dengan tampilan yang ia kenakan hari itu. Tindik di telinga, beberapa tatto di tangan, pakaian hitam, juga kalung dengan sebuah kertas yang bertuliskan sebuah nama pekerjaan sebagai identitas.
"Iya, betul."
Gia menjawab seperlunya, sementara Laras beringsut, ia berdiri dibalik tubuh Gia yang sedikit lebih tinggi darinya.
"Ditunggu sama Ares di atas, katanya ngelihatnya dari atas panggung aja, biar gak berisik."
Akhirnya Gia mengerti, ternyata Ares menghilang dari pandangannya untuk meminta tolong pada salah satu panitia agar menjemput dirinya dan Laras untuk naik ke atas panggung. Gia setuju, ia mengikuti orang itu, ia senang bisa melihat Ares lebih dekat lagi.
Ares menyambut Gia dan Laras dengan senyum tulus, senyum yang sebelumnya telah hilang cukup lama.
"Nunggunya di sini aja, biar gak terlalu berisik."
Gia mengangguk, tak ingin menelantarkan penggemar terlalu lama, Ares kembali ke depan panggung untuk membawakan lagu berikutnya.
"Dari tadi kek, Gi, di sini, enak gak terlalu berisik, udah gitu gak ngeri lihat mereka yang pada joget lagi."
"Kan gak enak, Ras, kita kan bukan yang punya acara."
"Loh, emang dia gak tau kalau kamu ke sini?"
"Enggak, aku gak ngasih tau, soalnya tadinya aku gak janji bisa ke sini apa enggak, tapi pas kamu bilang mau nemenin, aku buruan ke sini. Untung pas banget dia baru naik panggung."
Laras langsung memasang muka menyebalkannya, dalam hati, ia tak percaya bahwa sahabatnya bisa bertingkah tak seperti biasanya. Ternyata apa yang Laras rasakan akhir-akhir ini benar adanya, ada perubahan dalam diri Gia, memang tak terlalu mencolok, namun cukup untuk membuatnya mengerti bahwa saat ini Gia sedang jatuh cinta. Memang terlalu cepat untuk menyimpulkan, namun Laras cukup tau semua kebiasaan-kebiasaan sahabatnya, dan hanya perasaan seperti itulah yang mampu merubah kebiasaan seseorang. Namun hati kecilnya merasa senang, ia tak pernah melihat Gia sebahagia seperti saat ini, terutama setelah kejadian mati suri yang ia alami, yang membuat hidupnya tak karuan, namun kejadian itu justru membawanya pada kejadian yang ia lihat saat ini.
Mungkin beberapa kejadian tak diharapkan terasa begitu menyakitkan, namun ungkapan bahwa selalu ada hikmah dari setiap kejadian memang benar adanya, tergantung dari sudut mana kita memandang, Gia, Laras atau sesosok menyeramkan yang sejak tadi memperhatikan dari kejauhan.
Wajahnya rusak, salah satu bola matanya pecah hingga keluar dan mengeluarkan darah dari kelopak matanya. Darah itu semakin banyak mengalir, sesuai dengan rintihan pilu yang selalu ia senandungkan seraya menatap laki-laki yang bersuara seperti setan, yang kini telah bisa kembali menata hati, mengganti apa yang sebelumnya telah mati. Tangis itu perlahan berubah menjadi amarah, melihat dua orang wanita yang baru saja naik ke atas panggung begitu disambut dengan senyum tulus, senyum yang seharusnya hanya untuk dirinya saja.
"Aku akan kembali..."
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)
HorrorSejak kejadian itu, hidupnya memang telah berubah, namun semua perlahan menjadi biasa karena telah terbiasa.