19. Belum Saatnya.

443 37 2
                                    

Melaju dengan kecepatan tinggi. Keahlian serta pengalaman membuktikan bahwa ia akan berguna disaat darurat seperti saat ini. Ustaz yang duduk di samping sang supir telah terlihat fokus menatap jalan. Dalam hati ia tak henti menyebut nama sang maha kuasa. Mobil yang ia naiki seakan telah membuatnya lebih dekat pada pangkuannya. Urat leher menegang, keringat bercucuran. Dinginnya pendingin dari dalam mobil tak mampu membuatnya nyaman. Sesekali ia merasa rileks saat mobil dihadang oleh pintu tol yang menghubungkan satu jalan dengan jalan lainnya. Namun itu hanya beberapa saat, karena setelahnya mobil kembali melaju kencang.

Pak Badrun dan bu Sari tampak terlihat tenang. Mereka duduk di barisan ke dua dari depan. Tak ada sedikitpun rasa takut yang wajah mereka pancarkan. Air mata dari sudut mata wajah yang mulai menua itu tersamarkan. Tak terhitung banyaknya doa yang mereka panjatkan selama dalam perjalalanan. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain pasrah dan berserah pada kekuatan sang pencipta. Mereka lelah, namun tak menyerah. Bukti bahwa orang tua akan melakukan apa saja demi buah hatinya tak perlu mereka buktikan, karena saat ini tengah mereka lakukan.

****

"Ki, kenapa kita ke sini?"

Ki Saleh terdiam. Ia sendiri belum mengerti tentang alasan kenapa ia diberi petunjuk untuk datang ke tempat ini.

"Aku sendiri tidak tau, tapi tempat ini sepertinya akan membawa kita pada sesuatu yang buruk."

Ares menoleh. Ia menatap sebuah pohon dengan ukuran cukup besar di sekitar perempatan. Pertemuan dari empat jalan itu mengarah pada tujuan masing-masing, dan salah satunya adalah ke sekolah tempat Gia menimba ilmu.

Tempat itu memiliki banyak kenangan, salah satunya adalah ketika ia hampir saja menabrak seorang gadis SMA yang kemudian ia kenal dengan nama Gia. Di balik cerita pertemuan itu, terdapat kisah berakhirnya hubungan Ares dengan seorang wanita tanpa ia inginkan.

Angin kecil berlalu. Menerpa apa yang berada di sekitar tempat itu. Ares merasa tempat itu terasa lebih menakutkan, padahal ia terbiasa melewatinya dikala siang.

Angin perlahan berubah kencang. Beberapa daun kering serta debu beterbangan. Mata Ares dan ki Saleh menyipit, berusaha melindungi diri dari debu yang sepertinya mengancam keberadaan mereka. Mereka tak melihat bahwa awan gelap mulai datang. Terpaan angin semakin dingin menyerang. Dari arah tempat angin itu datang, sebersit cahaya nampak samar terlihat. Mereka kompak mendongak, dan melihat kegelapan itu datang. Mereka bisa memastikan kebenaran dari apa yang mereka lihat dengan mudah, karena rambat cahaya dibaliknya menegaskan kedatangannya. Gemuruh mulai mengiringi, bersamaan dengan rambat cahaya yang semakin sering terlihat.

"Ki, sebaiknya kita pergi dari sini."

Ares mengajak ki Saleh untuk berlindung. Ia memperkirakan bahwa sebentar lagi suasana akan menjadi lebih buruk.

"Baiklah, sepertinya saat ini bukan waktu yang tepat."

Ares tak menanggapi. Ia lebih memilih untuk segera mengajaknya menepi. Ares belum mengetahui tentang apa yang akan mereka lakukan di sana. Pesan dari ustaz itu hanya sebatas untuk menjaga dan menemani selama mereka pergi.

Mereka menepi di depan sebuah toko tak jauh dari sana. Tempat itu telah lama tutup, tapi tempat duduk di depannya masih sering digunakan para tukang ojek online untuk menunggu penumpang ketika siang hari, dan malamnya sering digunakan sebagai tempat nongkrong atau berkumpulnya anak muda atau para remaja tanggung. Bahkan hingga digunakan untuk anak-anak dari beberapa sekolah merencanakan tawuran yang pada akhirnya hingga sampai pernah menimbulkan korban yang berasal dari sekolah tempat Gia menimba ilmu.

Titik demi titik air mulai turun dan tak perlu menunggu lama hingga kegelapan meluapkan kesedihan. Seketika, debu serta dedaunan yang sebelumnya beterbangan kini tersapu bersih dari jalanan dan membawanya pada jalur yang bermuara ke tempat yang lebih besar. Mereka bersatu di sana, menjadi lebih kuat, bahkan untuk melawan manusia yang semakin tak memberi mereka tempat. Alam bisa seketika murka, namun manusia justru semakin tak peka.

Hujan tak memberi mereka pilihan. Di tempat itu, yang mereka tunggu hanyalah keadaan. Ketika semua telah menjadi lebih baik, maka dengan segera ki Saleh akan melakukan apa yang telah ada dalam pikiran. Rencana itu tercipta begitu saja, tak lama setelah ia mengamati beberapa tempat dan keadaan di sekitar tempat itu. Firasatnya mengatakan bahwa salah satu tempat itu akan memberinya sesuatu tentang jalan yang harus ia pilih.

Ia tak mengajak Ares bicara, begitu juga sebaliknya. Atap toko yang hanya terbuat dari asbes begitu berisik diterpa hujaman air hujan secara bergantian. Mereka merenung dalam diam, dengan jalan yang tak pernah sama namun bermuara pada satu tujuan yang sama.

Ares memikirkan keberadaan Gia, sementara ki Saleh memikirkan keselamatan pak Badrun dan yang lainnya yang berada satu mobil dalam perjalanan.

"Semoga mereka baik-baik saja."

****

Beberapa jam telah berlalu. Mobil kini tak mampu melaju seperti sebelumnya. Kemacetan menuju gerbang terakhir tak terelakan. Pak Badrun menegang. Ia tak sabar untuk bisa segera melewati jalan itu. Ia merasa aneh, karena waktu yang telah menunjukkan lewat tengah malam seharusnya tak banyak kendaraan yang berlalu lalang. Berbeda dengan pak Badrun, sang Ustaz yang duduk di depan, di samping sang supir yang masih berusaha untuk tetap fokus pada jalan yang akan ia lewati justru terlihat tenang. Napasnya mulai teratur, serta urat di lehernya mulai melemas.

"Pak, bu, lebih baik kalian beristirahat, biar nanti kalau sampai tempat tujuan nanti saya bangunkan."

Pak Badrun menoleh.

"Dalam keadaan seperti ini, saya tak bisa tidur."

"Sebaiknya dipaksakan, pak, karena nanti di sana, kalian akan lebih butuh banyak tenaga. Mumpung jalanan masih sepi."

"Sepi? Lalu apa yang dari tadi lewat di samping kiri kanan mobil ini?"

Mendengar petanyaan pak Badrun, sang Ustaz menoleh, namun ia tak sendiri, rupanya bu Sari pun melakukan hal yang sama, bahkan sang sopir pun sempat sekilas melihat pak badrun dari kaca spion mobil yang berada di depannya.

"Pak, dari tadi jalanan sepi."

Pak Badrun menoleh. Ia merasa tak terima dengan pendapat sang istri.

"Lah, bukannya kita melambat gara-gara macet akibat banyak mobil yang lewat?"

"Istighfar, pak. Tolong pejamkan mata untuk sesaat, terus pastikan kalau bapak tidak salah lihat." ujar sang Ustaz.

Pak Badrun mulai ragu dengan keyakinannya. Ia mengikuti saran dari Ustaz tersebut. Perlahan, suara-suara berisik dari pendengarannya menghilang. Ia merasa tak mendengar suara lain selain kendaraan yang dinaikinya. Pak Badrun membuka mata dan ia mendapati kegelapan menyelimuti mobil yang ia naiki. Pak Badrun menelan ludah, wajahnya mulai pucat. Beberapa kejadian aneh harus ia alami dalam waktu singkat. Beruntung ia tak sendiri, dan masih banyak orang yang peduli akan keadaan keluarganya.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang