Langkahnya gontai. Jarak dari rumah ke tempat saat ini ia berdiri hanya tinggal sepuluh langkah. Pikirannya masih terbebani oleh sebuah pertanyaan, apakah Gia akan baik-baik saja di sana?
Ia sama sekali tak tau tentang sesuatu yang mengganggu putrinya selain dari apa yang pernah ia lakukan.
Tiba di depan pintu, ia tak langsung mengetuk. Ia ragu akan memberi jawaban apa untuk sebuah harapan yang istrinya harapkan. Jawaban jujur akan membuatnya hancur, sedang kalau ia berbohong, ia yakin rasanya takkan berbeda, bahkan mungkin bisa jauh lebih berbahaya dampaknya. Ia tak ingin istrinya bersedih.
Pak Badrun duduk di depan rumah. Ia mengurungkan niatnya untuk mengetuk. Ia ingin sejenak melamun bersama ketenangan yang ia dapat, walau jiwanya justru semakin tegang.
Pak Badrun menatap halaman kecil di depan rumah. Ia berharap tak ada yang lewat di jalan tepat di depannya, dan harapannya terkabul, oleh pikirannya yang telah kosong. Bahkan beberapa orang lewat menyapa, ia tak mempedulikannya. Pak Badrun benar-benar dalam tekanan. Semakin ia mencari jawaban, semakin ia merasakan penderitaan. Tanpa sadar air matanya mengalir. Suara lirih mulai terdengar hingga seseorang tersadar bahwa orang yang ditunggu telah datang membawa harapan.
Ia membuka pintu perlahan, menyaksikan sebuah tanda menakutkan, tapi ia telah teguh untuk meyakinkan bahwa perjuangan memang tak akan sesuai yang diharapkan. Tanda itu semakin yakin ketika ia berjalan mendekat. Ia bisa menyimpulkan bahwa hasil pencarian tak sesuai dengan harapan. Pak Badrun tak menyadari bahwa tangisnya menjadi kejujuran tak terbantahkan. Saat ini ia telah tak mungkin lagi untuk berbohong. Pak Badrun menoleh, ia sadar istrinya telah berada di sana, yang tengah menyaksikannya kembali membawa kegagalan.
"Maafkan bapak, bu."
Bu Sari menghampiri. Belaian lembut pada punggung pak badrun menjadi jawaban bahwa ia telah termaafkan, namun rasa bersalahnya justru semakin menjadi. Ia memeluk, menguatkan diri. Ia ingat bahwa masih memiliki satu harapan esok nanti.
Tak ingin aib itu menjadi tontonan warga, bu Sari mengajak suaminya masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah, mereka bebas melakukan apa saja sebagai luapan kekesalan terhadap masalah yang tak kunjung selesai. Dengan catatan tak sampai mengganggu tetangga.
Bu Sari menyuruh suaminya untuk beristirahat. Ia tau bahwa suaminya sangat lelah. Tak hanya fisik, tapi juga batinnya.
****
"Sejuk, ya, Gi?"
Gia mengangguk. Ia telah melupakan rasa sakitnya. Tempat penginapan yang masih berada di dataran tinggi membuatnya betah.
"Ras, nanti pas pulang, kamu jangan bilang sama orang tua aku kalau aku jatuh, ya."
"Loh, emangnya kenapa, Gi? Mereka kan harus tau apa yang udah terjadi sama kamu."
"Aku gak mau bikin mereka khawatir, Ras. Lagian juga aku gak kenapa-kenapa, kan?"
"Iya sih, tapi..."
Laras tak melanjutkan kalimatnya. Genggaman tangan Gia membuatnya mengerti dan percaya bahwa ia baik-baik saja. Laras memeluk Gia. Sejujurnya ia merasa tak tega dengan apa yang dialami sahabatnya, untuk itu ia berjanji pada diri sendiri, bahwa ia akan selalu ada untuknya.
Waktu liburan masih cukup lama. Gia rindu dengan keluarganya. Terlebih ia berangkat tak pamit dengan sang ayah.
"Gi, kita keluar, yuk. Lihat-lihat sekeliling tempat ini."
"Emang dibolehin, ras?"
"Boleh, selama kita gak keluar dari area penginapan."
Gia setuju. Ia pergi keluar bersama Laras.
Kamar yang ditempati Gia dan Laras tak hanya ditempati mereka berdua. Dalam satu kamar, ditempati beberapa orang siswa.
Mereka keluar, berjalan melalui lorong menuju pintu utama. Di sepanjang lorong, ada beberapa siswa lainnya yang lebih menikmati momen liburan dengan mengobrol saja. Beberapa dari mereka tak nyaman dengan suasana dingin di daerah pegunungan.
Suasana diluarpun sama. Mereka menikmati waktu istirahat sebelum melanjutkan perjalanan esok hari. Gia dan Laras mulai berjalan mengelilingi taman penginapan. Terdapat sebuah jalan yang akan menuntun mereka untuk meihat semuanya. Jalan itu sengaja dibuat memang dengan tujuan agar para pengunjung bisa lebih nyaman ketika berada di dalam kamar atau area penginapan. Terdapat juga beberapa bangku kecil terletak tepat di bawah pohon rindang. Mereka terpisah. Laras sedang melihat-lihat bunga dan beberapa hiasan taman yang menurutnya indah. Sesekali ia mengalihkan pandangan pada Gia yang sedang melakukan hal yang sama dengannya. Tak berapa lama, terlihat oleh Laras, bahwa orang yang menolong Gia menghampiri. Laras lega, ia tak perlu khawatir lagi dengan keadaan Gia, karena ia percaya bahwa orang itu akan menjaganya. Laras menjauh, memberi mereka ruang untuk bicara.
****
Tok tok tok.
Suara ketukan terdengar beberapa kali. Bu Sari keluar, seraya menghapus sisa air mata yang masih berlinang.
"Sebentar."
Ia meninggalkan sang suami untuk melihat siapa tamu yang datang. Dari ruang tamu, bu sari memperhatikan. Sang tamu terlihat dari balik kaca jendela yang mulai kusam. Pakaiannya hitam, dan hanya terlihat bagian punggungnya saja. Penampilan seperti itu membuat bu Sari berpikir keras. Ia berusaha mengingat apakah selama ini ia mempunyai hutang? Ia merasa tak pernah meminjam uang, terlebih pada bank keliling yang setiap hari menawarkan pinjaman. Bu Sari mendekati pintu. Walau bagaimanapun, ia tak mau membuat tamunya menunggu.
"Maaf, cari siapa, ya?"
Bu Sari menyambut tamu yang sedang berdiri membelakanginya. Tamu itu berbalik, lalu menyalami bu Sari. Ia menunjukkan rasa sopan, seperti apa yang selalu ia lakukan. Untuk sesaat, bu Sari terperangah. Ia tak menyangkan bahwa penampilan tak mencerminkan apa yang ada dalam diri orang dihadapannya.
"Eh, kamu temennya Gia, kan?"
Ares mengangguk. Ia tersenyum.
"Iya, bu. Kirain ibu lupa sama aku."
Bu Sari membalas senyum itu. Rasa sedihnya ia tutupi. Berharap orang lain tak mengetahui aib yang sedang keluarganya tanggung saat ini.
"Enggak, ibu masih inget. Biarpun rambut ibu udah mulai memutih, tapi ingatan ibu masih bagus. Mari, nak, masuk."
Ares masuk dengan sungkan. Ia datang hanya untuk mencari kabar. Tapi ia tak tau harus memulainya dari mana.
"Tunggu sebebtar, ya. Ibu buatkan minum dulu."
"Bu, maaf, aku gak lama, kok. Gak usah repot-repot. Aku cuma pengin nanya aja."
Bu Sari mengurungkan niatnya. Ares yang sempat duduk, kini harus berdiri kembali agar demi tak merepotkan bu Sari.
"Nanya apa? Apa ada masalah penting?"
Bu Sari batal membuat hidangan untuk tamunya, karena tamu itu lebih dulu menolaknya.
"Enggak, kok, bu. Aku cuma mau nanya tentang Gia."
"Loh, kenapa sama anak ibu? Apa terjadi sesuatu sama dia?"
Bu Sari kaget. Ia mengira bahwa tamunya datang dengan membawa kabar buruk dari anak semata wayangnya. Cukuplah kabar buruk itu hanya datang dari suami tercinta.
"Bukan, bu. Aku cuma mau nanya keberadaan Gia, soalnya tadi aku ke sekolahnya, katanya semua siswa lagi pada liburan, tapi aku gak nanya-nanya lagi mereka liburan ke mana, jadi aku nanya sama ibu aja."
"Oh, itu Gia lagi ke..."
Suara gawai sederhana milik bu Sari berbunyi, dengan terpaksa memotong informasi yang akan Ares dapatkan saat ini.
"Maaf, ibu angkat telefon dulu, ya."
Ares mempersilahkan. Bu Sari menjauh, namun suaranya masih bisa Ares dengar.
"Iya, halo."
Bu Sari menerima panggilan, hanya untuk sesaat, sebelum akhirnya ia berteriak.
"Apa?"
Gawai dalam genggaman tangan bu Sari terjatuh, bersama orang yang menggenggamnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/218405144-288-k361027.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)
HorrorSejak kejadian itu, hidupnya memang telah berubah, namun semua perlahan menjadi biasa karena telah terbiasa.