33. Cara Berbeda

200 24 2
                                    

"Jadi seperti itu. Ini masalah rumit. Dalam beberapa kasus serupa, masalah ini sama sekali tak memiliki jalan keluar."

Pak Badrun seketika terluka. Namun ia tak sendiri. Sang istri lebih dulu berada dalam dekapannya. Ia membenamkan wajah, tak lupa dengan isak tangis penyesalan tak berguna. Ki Saleh tak ingin menjelaskan semua yang ia tahu. Ia mengerti, karena semakin mereka tahu, semakin mereka merasa menderita. Sementara itu, Ares tak ingin memberikan pendapatnya. Masalah ini di luar logikanya. Ia hanya berusaha membantu apa yang ia bisa. Pengalaman masa lalunya mungkin takkan berguna. Lagipula, ia telah bertekad mengubur cerita lama, menggantinya dengan hidup sebagai manusia biasa.

Ares beranjak. Ki Saleh mengikutinya. Menyisakan pasangan suami istri larut dalam duka. Memberi mereka kesempatan untuk melepaskan beban yang sengaja mereka lakukan.

Di luar ruangan. Ares menyandarkan punggung pada dinding lorong penginapan. Cerita masa lalu merek yang ia dengar, membuatnya bernostalgia.

Teringat dengan sosok ibu yang telah menyempurnakan hidupnya. Ares tersenyum. Ia rindu pada sosok yang telah tiada. Api telah melahap semua yang ia miliki, termasuk sang ibu. Kejadian itu belum lama berlalu. Masih terlalu sakit untuk diingat, namun tak mudah untuk dilupakan. Beberapa tahun tak mampu menghapuskan kenangan. Semua orang yang ia sayang terlalu cepat pergi. Bahkan orang tua kandungnya pun pergi, dengan lebih dulu menitipkannya pada panti. Ia tak mengerti, bagaimana bisa ia ditinggalkan begitu saja tanpa mendapat penjelasan. Ia sempat merasa bersyukur. Kasih sayang yang seharusnya ia dapat dari orang tua, ia hanya mendapatkan itu dari sang ibu. Sebelum api melenyapkan semua yang ia miliki.

"Apa kamu lelah?" Ki Saleh membawanya kembali dari lamunan. Ares menoleh. Ia tersenyum namun tak banyak berkata.

"Sebenarnya, saya penasaran. Apa yang sebenarnya kamu miliki, sampai sesuatu hal yang buruk dan keberuntungan terkadang bisa datang bersama."

Raut wajahnya berubah. Ares menatap Ki Saleh. Ia tak mengerti, kenapa ia tiba-tiba berkata seperti itu.

"Apa maksud Ki Saleh?"

Ki Saleh tersenyum. Ia menundukkan wajah.

"Sudah berapa banyak wanita yang pernah dekat sama kamu?"

Setelah menundukan wajah, kini tatapannya mulai tajam menatap Ares.

"Ki, aku nggak ngerti apa yang Ki Saleh maksud, tapi kalau yang dimaksud itu teman, waktu sekolah, aku emang punya beberapa temen yang emang deket."

Jika diingat, Ares memang beberapa kali pernah merasa dekat, atau mungkin didekati oleh lawan jenisnya. Namun yang tak ia mengerti, apa maksud dari yang mereka bicarakan saat ini.

Pembicaraan terhenti. Suara musik mulai mengalun. Tak ingin mengganggu, Ares segera menjawabnya.

"Halo."

"Res, kabar kamu gimana? Apa semuanya baik-baik aja? Apa masalah udah beres?"

Beberapa pertanyaan sekaligus ia terima. Ares tak langsung menjawabnya. Ia tak sadar, bahwa seulas senyum mulai terasa berbeda. Beruntung baginya, karena orang lain tak melihatnya.

"Aku baik-baik aja. Semua masih terkendali, tapi masalahnya belum beres. Mungkin butuh beberapa waktu lagi."

"Oh, gitu. Ya udah, yang penting semua baik-baik aja."

"Iya. Oh, ya...maaf, mungkin mobil kamu bakal lama baliknya."

"Nggak apa-apa. Jangan mikirin itu, yang penting kamu harus mastiin kalau kamu bisa pulang."

"Iya, aku pasti pulang."

Pembicaraan tak berlangsung lama. Ares ingin melanjutkan kembali masalah tadi. Ia berharap tak mendapat sebuah teka-teki. Cukuplah apa yang saat ini ia hadapi.

"Besok, mereka harus pulang, dan lebih baik untuk menunggu di rumah saja. Kalau berkenan, kamu harus ikut dengan saya. Kita harus sesegera mungkin menyelesaikannya. Sebelum semuanya terlambat."

Arah pembicaraan berubah. Ares mengerti apa yang diucapkannya.

"Apa kita cuma berangkat berdua, Ki?"

Ki Saleh mengangguk.

"Tidak. Saya harus ikut! Saya ingin memastikan keselamatan putri saya sendiri." Pak Badrun menolak tegas. Ia harus terlibat dengan mereka yang ingin membantu menyelesaikan masalahnya.

****

"Jika kau bersedia, maka kau akan tetap di sini. Ini adalah milikmu. Surga bagi siapa saja orang yang terpilih."

Berdiri memperhatikan detail ruangan mewah. Matanya tak berhenti untuk merasa takjub. Tak pernah ia temui sebuah karya manusia seperti apa yang ia lihat saat ini.

"Tapi, ini di mana?"

"Ini adalah rumahmu!"

Sosok itu tersenyum. Gia luluh. Percaya dengan ucapannya begitu saja.

"Tapi..."

"Silahkan, kau bebas untuk melakukan apapun yang kau mau."

****

Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Waktu telah menunjukkan pukul tiga dini hari. Mimpi buruk mengganggu waktu istirahatnya. Ia bangkit, untuk membuat secangkir kopi. Untuk sesaat, niat itu urung ia lakukan. Matanya menatap keadaan dalam kamar penginapan.

"Kemana dia?"

Tak mendapati seseorang di sana. Ia beranjak keluar dari kamar. Cahaya remang lorong menyambut. Sunyi menemani. Ia menatap ke segala arah. Mencari sosok yang telah pergi.

Suara hewan malam samar terdengar, memcah hampa yang ia rasa. Hutan di sekitar penginapan memberi nuansa berbeda. Terutama ketika malam tiba.

Langkah bergema. Padahal ia telah berusaha agar pijakannya tak bersuara. Ia memerhatikan suasana. Benar-benar telah mati. Seolah tak pernah ada kehidupan di tempat ini.

Melewati kamar sebelah. Langkahnya terhenti. Ia mengamati. Mencoba menajamkan pendengaran. Tak ada yang terjadi. Mungkin sang penghuni telah mengistirahatkan diri.

Langkah dilanjutkan. Area depan menjadi tujuan. Semakin dekat, semakin ia mendengar suara seseorang.

"Ah, rupanya di sini."

Dua orang menyambutnya. Menghentikan obrolan mereka tentang keadaan saat ini. Tanpa dipersilahkan, ia langsung bergabung.

"Mau bikin kopi, Mas?"

"Hhhmm, boleh, pak."

Salah satu dari mereka pergi untuk membuat kopi. Sekuriti itu senang. Ada yang menemaninya bertugas malam ini, bahkan hingga hari menjelang pagi.

"Kenapa Ki Saleh ada di sini?"

"Saya tidak bisa tidur, jadi saya kemari. Untungnya sekuriti itu mau berbaik hati menemani orang tua ini. Kamu sendiri?"

Ares tak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia terdiam. Merangkai mimpi dalam ingatan, hingga menjadi cerita dalam satu kejadian.

"Aku mimpi buruk, Ki. Lebih tepatnya mimpi aneh."

"Mimpi seperti apa?"

"Saya melihat gadis yang kita cari. Ia sedang berada di suatu tempat indah, tapi saya nggak yakin kalau tempat itu ada di dunia. Ia terlihat bahagia dan baik-baik saja. Apa mungkin itu sebuah pesan?"

Ki Saleh menghela napas. Ia memberi masa untuk dirinya sendiri agar ia bisa berpikir, kemudian mengerti dan memberi arti dari mimpi itu.

"Mungkin memang seperti itu, tapi kamu harus ingat, tempat manusia itu adalah dunia nyata. Jika ia tak ingin kembali, bisa jadi telah terjadi sesuatu yang tak kita mengerti."

Ares tak mengerti dengan bagian akhir kalimat yang Ki Saleh maksud.

"Apa yang tak dimengerti oleh manusia, Ki?"

"Hati! Selama apapun kau mengenal seseorang, kau takkan benar-benar mengerti apa yang telah dirasakannya."

Secangkir kopi yang datang menghentikan pembicaraan berat mereka.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang