29. Sebelum Bahagia.

216 26 1
                                    

Langkahnya lunglai. Restu tak memiliki keceriaannya hari ini. Tak ada kejadian yang menurutnya aneh, bahkan semuanya terasa biasa saja. Riuh siswa yang membubarkan diri pada hari itu terasa sunyi baginya. Begitupun suara deru mesin motor yang kini berhenti tepat di sampingnya.

"Res, pulang bareng gua, yuk. Sekalian gua mampir. Soalnya lagi males pulang."

Ucapnya diiringi dengan senyum agar ia diizinkan Restu untuk ikut ke rumahnya. Toni salah satu teman baik Restu, namun mereka tak berada dalam satu kelas yang sama.

Restu mengizinkannya begitu saja. Toni terdiam, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Ia telah lama mengenal Restu, untuk itu ia bisa memahami apa yang terjadi.

"Res, tumben lu nggak kayak biasanya?"

Dalam perjalanan, Toni memberanikan diri untuk mulai menyelidiki. Mungkin saja ia bisa membantu atau mendengarkan masalah yang mungkin sedang dihadapi sahabatnya.

"Lah, emang gua biasanya kayak gimana?"

"Kan kalau gua mau ke tempat lu, kita harus ribut dulu, baru lu ngizinin."

"Gak tau, hari ini gua lagi gak mood ngapa-ngapain. Nanti juga lu di rumah jangan minta apa-apa."

"Iya, selama ini gua gak ngerepotin, kan? Paling minta makan doang ... dua piring tapi."

Restu tak menimpali. Toni semakin yakin bahwa sesuatu telah terjadi.

Perjalanan dari sekolah menuju rumah cukup jauh. Restu lebih banyak menghabiskan waktu dalam perjalanan dengan duduk melamun di jok belakang, sedangkan Toni berusaha untuk tetap fokus menyetir. Fokus Toni hilang. Matanya menangkap kegelapan. Dari jauh, kegelapan itu cukup pekat menodai langit cerah siang itu. Toni tak berreaksi. Ia masih berpikir positif tentang apa yang dilihatnya. Semakin dekat jarak dari tujuan yang ia tuju. Beberapa orang terdengar berteriak, bahkan mereka terlihat berkerumun menuju ke tempat yang sama.

"Res, ada apaan itu, ya? Kok rame bener?"

Restu yang sejak tadi melamun mulai memperhatikan ke arah yang dimaksud Toni. Deg, Restu tertegun. Pikirannya mulai kalut. Restu mencoba tak mempercayai pikirannya. Ia yakin bahwa semua baik-baik saja.

Didorong rasa penasaran, takut serta khawatir, Restu memilih untuk turun dari motor kemudian berlari menuju kerumunan.

"Eh, Res, tunggu!"

Toni refleks mengejar Restu menggunakan motornya. Jalanan sempit dengan kondisi permukaan yang tak mulus menyulitkannya untuk melaju cepat. Dari jauh, Toni melihat Restu tengah meronta. Ia dikekang oleh beberapa orang dewasa, sehingga tubuhnya tak sanggup untuk bergerak. Samar terdengar olehnya bahwa Restu menjerit.

"Ibu."

Kini Toni telah mengerti. Ia belum melihat apa yang telah terjadi, namun kejadian itu memberinya sebuah kesimpulan bahwa keadaan sedang tak baik-baik saja. Toni terdiam, ia tak mengerti harus melakukan apa. Ia hanya tahu bahwa Restu membutuhkan bantuan. Ia yang tak berada dalam kondisi Restu saat ini saja merasakan takut serta terpukul seperti saat ini. Bagaimana dengan Restu yang mengalaminya sendiri.

Jerit Restu beberapa kali terdengar, hingga ia tak sanggup lagi untuk memanggil namanya. Ia telah kehilangan tenaga atau mungkin telah merasa kehilangan semuanya.

Gelap mulai menyelimuti mata serta hati, hingga dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk melepaskan diri. Beberapa orang dewasa yang sejak tadi berusaha membuatnya tenang harus rela terpental begitu saja oleh dorongannya.

"Ibu!"

Restu berusaha lari pada kobaran api yang telah melahap habis seluruh bangunan rapuh itu. Sadar akan bahaya, kini tubuh Restu terpaksa ambruk. Kedua tangan itu menguncinya dengan kuat. Ia tak mengendurkan kunciannya selama Restu masih memberi perlawanan.

"Lepas! Lepasin gua!"

Toni tak berreaksi. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha untuk membuat Restu terbaring. Kondisi ini membuat Restu dan ia sendiri terluka, namun masih lebih baik dari pada Restu sahabatnya kehilangan nyawa.

Beberapa orang dewasa lainnya membantu Toni untuk mencegah Restu melakukan hal konyol seperti tadi. Sementara warga lainnya bergotong royong untuk segera memadamkan api. Harapan akan selalu ada, walaupun sangat tipis kemungkinannya bahwa orang dalam rumah itu masih bisa mereka selamatkan dengan segera.

****

Gerimis telah tiba. Ia terlambat datang hingga seseorang terlanjur kecewa.

Restu berdiri menatap langit gelap. Jauh di lubuk hatinya menjerit penuh tanda tanya. Celana kotor berbalut tanah merah pemakaman menjadi perpisahan antara kehidupan dan kematian. Ia tersenyum, masih menatap langit yang sama, gelap serta air hujan menyamarkan apa yang jatuh dari matanya.

Restu masih betah di sana. Langit gelap sepertinya telah mulai murka dan ingin segera mengusirnya dari sana. Petir sesekali menggelegar, namun Restu tak gentar. Ia masih meluapkan apa yang ia rasa bersama dunia yang menurutnya telah membuatnya kecewa.

Mata Restu perlahan terbuka. Ia menurunkan wajah yang sejak tadi menengadah mendah hujan menyamarkan air mata. Wajahnya tak lagi merasakan hujaman hujan yang mungkin berusaha menyadarkannya. Gelap telah berganti warna. Sebelumnya pekat menghitam kini menjadi merah menyala.

Kini, Restu menundukan wajah. Menatap peristirahatan terakhir satu-satunya orang yang memberinya segalanya.

Sentuhan di pundaknya meruntuhkan kekuatan yang beberapa saat lalu ia bangun demi sebuah pengakuan bahwa ia tegar menerima semuannya. Seseorang yang berdiri di belakang tak berkata atau bertanya apa-apa. Ia mengerti bahwa kehilangan akan memberi rasa sakit luar biasa. Toni, satu-satunya orang yang masih di sana. Ia merasa bahwa pergi disaat seperti ini bukanlah waktu yang tepat. Ia berusaha menunjukkan bahwa ia masih memiliki rasa peduli, agar Restu tak merasa sendiri.

"Mungkin lebih baik lu pulang, Res!"

Toni memberanikan diri memberi nasihat. Restu tak menanggapi. Ia justru perlahan terduduk lalu mendekatkan wajah pada nisan seraya mengungkapkan rasa sayangnya lewat sebuah ciuman.

"Aku pulang, Bu."

****

Menelusuri jalan basah untuk kembali pulang, namun Restu harus kini harus menyelesaikan masalah baru di balik kejadian buruk yang baru saja terjadi. Dalam hati ia bertanya, "aku harus pulang kemana?"

Beberapa orang tetangga dengan baik hati menawarkan memberinya tumpangan, namun yang ia pikirkan tak hanya sebatas itu. Ia harus melanjutkan hidup tanpa membebani siapa-siapa. Satu-satunya jalan yang bisa ia ambil hanyanya pergi. Pergi dari semua kehidupan yang membuatnya kecewa.

Pada akhirnya, Toni mengajak dan memaksanya untuk tinggal. Orang tua Toni bahkan dengan sukarela menawarkan sebuah kehidupan baru, setidaknya sampai Restu mampu berdiri pada kedua kakinya sendiri. Restu tak keberatan karena sepertinya jalan inilah yang terbaik untuk saat ini.

Berada pada fase hidup yang baru, Restu tak banyak bicara, sekalipun Toni selalu berusaha menghiburnya. Tak dipungkiri, Toni merasa kehilangan Restu walau ketika mereka bercengkerama, sesekali Restu menujunjukkan senyumannya.

Kebiasaan lama Restu perlahan terkikis. Ia menjadi lebih banyak diam dan memilih tak melakukan apa-apa, sampai pada akhirnya Toni benar-benar kehilangan sosok Restu yang sebenarnya.

Sepucuk kertas berisikan beberapa rangkai kalimat menjadi pertanda perpisahan mereka. Toni kecewa, namun ia tak bisa melakukan apa-apa. Ucapan terimakasih menjadi kata-kata terakhir dalam kertas yang ia baca.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang