13. Sebab

473 41 2
                                    

"Pak, bisa minta tolong antar saya ke alamat ini?"

Pak ustaz menunjukkan sebuah alamat yang tertera pada layar ponselnya pada seorang tukang ojek yang menawarinya tumpangan. Tukang ojek itu melihat sekilas, lalu dengan yakin untuk memilih pergi.

"Loh, kenapa mereka? Apa ada yang salah dengan tempat itu?"

Pak ustaz tak habis pikir, kenapa semua menolak untuk mengantar mereka ke tempat yang menjadi tujuannya. Ia tak bisa membayangkan, seandainya pak Badrun harus pergi seorang diri.

"Ini aneh, pak. Beberapa tukang ojek yang kita temui, semua menolak untuk mengantar kita ke sana, apa bapak tak salah mendapat alamat itu?"

Pak Badrun merasakan hal yang sama. Ia terdiam sejenak. Berusaha mengingat tentang bagaimana ia mendapatkan alamat itu. Ia khawatir telah ada yang ia lewati sehingga ia keliru membawa alamat itu.

"Saya yakin, saya tidak salah menerima alamat itu. Itu pemberian dari orang yang waktu itu menolong saya."

Pak Ustaz tak mempunyai pilihan. Ia akan tetap meyakini dan percaya bahwa itu adalah alamat yang benar.

Mereka kembali melanjutkan berjalan kaki. Beberapa kali mereka ditawari untuk naik ojek dari tukang ojek yang melihat mereka berjalan, namun ketika ustaz itu menunjukkan alamat yang ia tuju, tawaran mereka sirna tanpa alasan.

Hari telah beranjak siang. Jam telah menunjukkan lebih dari pukul dua belas siang. Tanpa terasa, mereka telah berjalan cukup lama dan jauh dari terminal pemberhentian. Ustaz itu mengajak pak Badrun untuk singgah ke sebuah mushala yang tak jauh dari sana. Tak lama berselang, azan berkumandang. Mereka beribadah berjamaah seraya melepas lelah. Selesai shalat berjamaah, mereka tak langsung melanjutkan perjalanan.

"Maaf, apa kalian ini bukan orang sini?"

Mereka dikagetkan oleh seseorang mengenakan peci putih serta baju gamis berwarna senada. Mereka ingat, bahwa orang itu adalah orang yang menjadi imam shalat berjamaah tadi.

"Eh, iya, pak. Kami sedang ingin berkunjung, tapi kami belum menemukan alamat yang kami cari."

Pak ustaz menjelaskan maksud kedatangannya kemari secara singkat.

"Boleh saya tau alamatnya?"

Tanpa ragu, ustaz itu menunjukkannya pada orang asing dihadapannya. Ia heran, kenapa orang tersebut menunjukkan ekspresi berbeda dari orang-orang sebelumnya.

"Kalau tidak keberatan, kalian boleh ikut saya. Saya akan mengantar kalian ke alamat itu."

Bagai mendapat angin segar. Tanpa ragu, mereka langsung menerima tawaran itu. Orang yang memberi bantuan itu telah berusia hampir senja. Rambut serta janggutnya telah hampir memutih sepenuhnya.

"Kalian masih kuat jalan, kan?"

"Masih, memangnya kenapa, pak?"

"Saya akan mengantar kalian ke alamat itu hanya dengan berjalan saja."

"Tidak apa-apa, pak. Kami siap!"

Kali ini, pertanyaan orang itu dijawab oleh pak Badrun dengan tegas, setelah beberapa waktu tadi ia lebih memilih menjadi pendengar yang baik.

Orang itu tersenyum. Tak ingin membuang waktu, mereka segera berangkat. Jalan yang akan mereka tempuh harus melalui jalan setapak tanpa aspal. Pak Badrun dan ustaz itu tak menyangka bahwa mereka harus bersusah payah untuk sampai ke tempat tujuan. Sebenarnya, ustaz itu masih merasa kelelahan, namun ia melihat raut wajah pak Badrun yang dipenuhi tekad. Ia merasa tak tega jika harus mengulur waktu walau hanya sekadar untuk beristirahat.

Sejak dari mushala hingga saat ini, ustaz itu merasakan keanehan. Ia memperhatikan bahwa langkah orang yang akan menunjukkan jalan begitu cepat, tak cocok dengan usia yang ia lihat.

Keringat bercucuran, lelah mereka rasa seperti telah berolah raga. Saat ini, mereka tengah berdiri di depan sebuah rumah sederhana. Rumah yang bertetangga dengan alam terbuka. Tak ada satupun rumah di sekitarnya. Satu-satunya rumah yang paling dekat berjarak sekitar lima kilometer jauhnya. Sejenak mengatur napas, laki-laki tua yang membawa mereka langsung mengajaknya masuk. Ia masih sama seperti sebelumnya. Selalu tersenyum ramah berkharisma, bahkan tak sedikitpun menceriminkan rasa lelah setelah berjalan begitu jauhnya.

Orang tua itu duduk bersila pada rumah yang baru saja ia masuki. Ia duduk menghadap pintu masuk rumah tersebut, seakan dialah sang tuan rumahnya. Ustaz dan pak Badrun merasa heran dengan sikap orang tua tersebut. Mereka sempat berpikir bahwa orang yang membawanya adalah orang yang memiliki gangguan jiwa.

"Silahkan duduk."

Merasa dipermainkan, ustaz dan pak Badrun  menatap satu sama lain.

"Maaf, sebenarnya bapak ini siapa?"

Laki-laki tua itu tersenyum, lalu berkata...

"Saya orang yang kalian cari."

Mereka berdua seakan tak percaya. Orang yang sejak tadi mereka cari ternyata ada di depan mata, namun mereka tak begitu saja percaya ucapannya.

"Apa kami harus percaya ucapanmu?"

"Kalian datang kemari karena kakakku telah tiada, bukan?"

Pak Badrun mengangguk, ia mengerti apa yang dikatakan oleh laki-laki tua itu.

"Sayang sekali, dia mati saat menghadapinya."

Terpancar raut sedih darinya, mengingat kejadian buruk yang belum lama terjadi. Pak Badrun menatap dengan ekspresi berbeda. Ada kalimat terakhir yang memaksanya untuk bertanya.

"Menghadapinya? Maksudnya?"

"Dia mati karena menghadapi musuhmu saat ini!.

****

Beberapa hari ini, Ares tak mendapat kabar dari Gia. Dari yang ia tau, hari ini Gia tengah menikmati liburannya di tempat yang jauh dari rumah. Ia tak berani untuk menghubunginya lebih dulu. Satu-satunya yang ia lakukan hanya memantaunya melalui jejaring sosial pribadi yang ada pada gawainya. Dari informasi itu dapat terlihat kapan terakhir kalinya Gia mengaktifkannya, dan itu terjadi sekitar dua hari yang lalu.

Ares sedang tak memiliki jadwal kegiatan yang padat. Satu-satunya yang rutin ia lakukan adalah latihan, namun itu pun dilakukan selama seminggu sekali saja, setelahnya ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal tak berguna lainnya. Ares sudah mulai bisa melupakan kekasih yang telah pergi bersama kenangan buruknya. Ia telah belajar melakukan sesuatu yang paling berat di dunia, yaitu ikhlas. Ia tengah mencoba mempertimbangkan membuka pintu hati demi masa depannya sendiri.

****

Matanya terus menatap dua orang wanita yang duduk terhalang beberapa kursi didepannya. Selama bebeapa waktu lalu, ia tak lagi bertegur sapa. Ia sadar, kesalahannya terlalu besar untuk dilupakan begitu saja. Untuk itu, ia menjauh darinya. Tak mengapa baginya jika Gia menjauh, asalkan ia telah dimaafkan. Hal itulah yang membuatnya tersiksa.

Ia tak bisa melakukan apa-apa, selain hanya berusaha menjaganya semampu yang ia bisa. Salah satunya dengan cara seperti saat ini. Seharusnya ia duduk di tempat duduk berbeda dari Gia, namun seorang teman ternyata mau untuk membantunya, hingga akhirnya ia bisa mengawasi Gia dalam satu mobil yang sama. Penampilannya harus menyesuaikan diri dengan apa yang biasa dikenakan oleh temannya, agar panitia atau guru yang mengawasi mereka tak curiga. Tak nyaman memang, tapi inilah yang hanya bisa ia lakukan.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang