6. Keputusan.

721 49 2
                                    

"Bu, tadi aku udah bilang sama wali kelasku."

Gia menyempatkan diri atau mungkin mencoba berani untuk mengatakan hal itu. Ia memang ingin sekali pergi, tapi rasa sayangnya pada ke dua orang tua lebih besar dari keinginannya. Bu Sari dan pak Badrun menghentikan sejenak kegiatannya, mereka mengerti apa yang Gia maksud, tapi mereka telah memiliki rencana.

"Nak, kamu harus tetap ikut, Ibu sama Bapak sudah menyiapkan semuanya."

"Bu, aku gak apa-apa, kok, kan itu cuma acara jalan-jalan doang, dan wali kelas aku juga udah ngasih izin. Lagian sayang uangnya."

"Iya, tapi ibu sama bapak sudah punya rezeki buat kamu, jadi kamu harus tetep ikut."

Gia tak bisa menolak. Ia memang ingin sekali untuk ikut acara itu, dan sekarang keinginannya terwujud. Aneh, Gia tak merasa senang dengan kabar gembira yang ia rasa. Harusnya ia bisa tersenyum, bahkan tertawa, tapi nyatanya, senyum dibalik wajah kedua orang tuanya menimbulkan tanda tanya. Gia kembali ke kamarnya masih dengan tanda tanya. Selama ini kedua orang tuanya tak pernah memaksa apa yang menjadi keinginannya, mereka lebih sering mengarahkan Gia kalau memang keinginannya tak begitu dipahami oleh mereka, tapi kali ini, Gia merasa dipaksa harus pergi.

Semilir angin berembus melewati celah jendela kamar, dengan lembut menyapa Gia yang tengah duduk di tepi ranjang. Malam belum terlalu larut, ia tak merasa takut. Gia telah terbiasa dengan kemampuan atau beban yang ia pikul saat ini. Ia menoleh, lalu dengan santai berjalan menuju ke arah jendela di mana ia telah lupa menutup tirainya. Di balik jendela itu ia menyadari sesuatu, namun ia telah terbiasa untuk pura-pura tidak tau. Tepat sebelum terpisah oleh tirai itu, pandangan mereka sempat bertemu dan Gia meraasakan sesuatu yang begitu berbeda, untuk pertama kalinya setelah sekian lama tak pernah mengalaminya, Gia merasa merinding. Bulu-bulu halus di sekitar lehernya berdiri, ia merasakan takut luar biasa. Sorot mata itu berbeda dari biasanya, dan Gia menyadari bahwa sosok itu sedang marah.

Gia berbalik, kemudian dengan cepat berjaalan kembali ke atas ranjang untuk bersembunyi di balik selimut tipisnya. Ia tau bahwa selimut itu takkan mampu melindungi, tapi setidaknya ia tak melihat tatapan itu lagi.

Gia meraih ponsel di atas meja tanpa melihat, hanya bagian tangannya saja yang keluar dari selimut persembunyiannya. Tangan itu telah tau betul lokasi keberadaan kamar yang ukurannya tak seberapa, cukup dengan beberapa kali meraba, ia telah berhasil menemukannya. Gia menarik benda itu untuk menemaninya bersembunyi. Sentuhan jarinya mulai lincah merangkai beberapa kata sehingga menjadi sebuah kalimat tanya sederhana.

"Ras, udah tidur belum?"

Pesan telah terkirim, namun centang satu membuat Gia tak merasa puas. Ia kecewa karena seharusnya kabar kembira itu mungkin saja bisa membuatnya lupa dengan rasa takut yang ia rasa. Perasaan itu hanya singgah beberapa saat setelah Gia tak mengetahui bahwa tanda itu telah berubah berwarna biru.

"Belum, Gi, kenapa?"

Gia membacanya, ia senang kabar gembira itu akan sampai pada Laras. Jemarinya kembali lincah untuk merangkai kata, namun kali ini tanpa sebuah tanda tanya.

"Kayaknya aku jadi ikut, Ras."

Kalimat itu berakhir dengan sebuah emoji tertawa, dan tak butuh waktu lama, dari layar ponselnya terlihat Laras sedang membalas pesannya.

"Akhirnya, kita bisa jalan bareng."

Laras mengakhiri pesan itu juga dengan tertawa, tulisan tawa yang jarang sekali ia gunakan. Gia tak terbiasa dengan tawa itu. Gia tak membalasnya, tapi pesan dari Laras kembali masuk, namun dengan format berbeda. Laras tak menggunakan tulisan dan memilih mengirimkan pesan suara. Gia memutar pesan itu namun ia tak mendengar suara apa-apa. Gia mengencangkan suara dari ponselnya karena khawatir Laras merekam suaranya terlalu kecil, namun tetap tak ada suara, padahal pesan itu masih terlihat berjalan memutar suaranya. Mendapati usahanya gagal, Gia tak menyerah, ia mendekatkan ponsel ke telinganya berharap bisa mendengar pesan itu, dan usahanya berhasil.

"Hihihihihihi..."

Gia melempar ponsel dalam genggamannya setelah suara itu begitu keras dan jelas terdengar ditelinganya. Rasa takut kembali menyerang, ia tak mengerti mengapa Laras mengirimkan pesan seperti itu padanya. Butuh beberapa waktu hingga Gia bisa menguasai diri lalu kembali mengambil ponsel yang ia lempar tadi, tentunya setelah ia merasa yakin bahwa semua baik-baik saja. Dari jauh ponsel itu terlihat menyala. Gia mendekat perlahan untuk memastikan bahwa tak ada yang aneh lagi pada ponselnya. Dari layar itu, Gia melihat sebuah nama tertera, dan orang di seberang sana sedang berusaha menghubunginya.

Gia mengambil ponsel itu. Namun ia tak segera menjawab panggilan itu, hatinya masih ragu, namun perlahan jarinya menyentuh layar itu.

"Gi, lama banget diangkatnya."

Gia tersenyum melihat pada layarnya terpampang jelas wajah Laras yang sedang berada di dalam kamarnya. Gia tau ruangan itu, ia beberapa kali pernah berada di sana.

"Iya, maaf, Ras."

Hanya kata itu yang mampu Gia ucapkan, sebagai rasa syukur atas keadaan yang sepertinya telah benar-benar baik-baik saja.

"Jadi beneran kamu bisa ikut, kan, Gi?"

Laras antusias dengan pertanyaannya, ia pun senang dengan jawaban yang Gia beri walau itu hanya sebatas anggukan saja. Rasa senang Laras hanya sesaat, suasana kamar Laras saat ini tengah terlihat gelap.

"Yah, Gi, malah mati lampu lagi."

Gia melihat ekspresi wajah Laras yang tak senang dengan keadaan sekarang.

"Sebentar, Gi, aku mau nyari senter dulu, ya."

Laras beranjak, Gia tak banyak bicara, namun matanya menangkap sesuatu yang aneh pada Laras.

"Ras."

Gia berteriak, berharap Laras yang belum terlaku jauh beranjak bisa mendengarnya, dan usahanya berhasil. Ia menoleh lalu kembali pada panggilan video yang masih berlangsung.

"Iya, kenapa, Gi?"

"Itu, punggung kamu, kenapa, Ras? Kok warnanya kayak yang merah?"

Laras berbalik, ia menunjukkan apa yang dimaksud oleh Gia, dan benar saja, noda merah jelas terlihat pada punggung Laras yang saat ini tengah mengenakan pakain berwarna cerah yang begitu kontras dengan warna merah tersebut.

"Oh, maksud kamu ini?"

Laras menunjukkan yang Gia maksud, seraya tersenyum dan menoleh hingga wajahnya lurus sejajar dengan punggungnya. Gia tersentak, wajahnya pucat, keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuh. Tangannya bergetar hebat hingga tak sanggup mematikan panggilan video tersebut. Sementara itu Laras tersenyum, senyumnya begitu terlihat menyenangkan bahkan hingga menyeringai.

"Hihihihihihi..."

"Aaaaahhh..."

Suasana seketika berubah menjadi gelap, bukan hanya ruangan kamarnya saja, tapi gelap itu menimpa beberapa komplek daerah tempat tinggalnya, bahkan matanya sendiri. Sebelum gelap benar-benar menguasai, Gia masih sempat mendengar pintu kamarnya dibuka dengan keras.

"Gia."

Suara itu menjadi sebuah penutup sebelum ia tak sadarkan diri. Pak Badrun bergegas mengambil sebotol minyak kayu putih dari dalam kamarnya sendiri, cara itulah yang hanya mereka tau untuk menyadarkan kembali orang yang hilang kesadaran. Bu Sari mengecek hidung Gia dengan jemarinya, ia masih merasakan hembusan napas di sana, dalam keadaan panik itu setidaknya ia masih sedikit merasa lega.

Seolah mengerti dengan keadaan genting keluarga itu, aliran listrik kembali menyala.

"Pak, kali ini sepertinya kita tak boleh gagal lagi. Ibu takut Gia kenapa-kenapa."

Pak Badrun mengangguk, ia pun merasakan apa yang istrinya rasakan saat ini, yaitu rasa takut.

"Apapun yang terjadi, bapak akan mencari orang itu, ibu hanya harus memastikan bahwa Gia tak tau apa-apa tentang ini."

Bu Sari tak bereaksi, ia lebih memilih untuk menunggui Gia seraya memastikan bahwa anak semata wayangnya masih baik-baik saja.

KEMBALI (MATI SURI) (Eps. 2.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang