Part 33: Departure

890 202 56
                                    

Media: Bolbbalgan4 — Lonely

×××

Pagi ini sama seperti pagi-pagi biasanya.

Matahari bersinar terang (baca: panas), jalnanan yang sibuk, udara yang tidak begitu sejuk, asap kendaraan mengepul dan jika beruntung dapat mendengar kicauan burung, yang bagi beberapa orang akan memperbaiki mood.

Di salah satu rumah di komplek perumahan elit, pagi yang biasa juga dirasakan penghuninya. Aktifitas pagi dirumah itu tidak begitu sibuk. Yang membedakan hanyalah, kepala keluarga yang biasa menyiapkan sarapan bersama asisten rumah tangganya kini bertambah dengan menantunya.

"Wooyoung mana, Nak?" Tanya Mama Wooyoung.

"Tadi baru siap-siap, Ma. Sebentar lagi kayaknya turun" Balas Aurel.

Satu minggu telah berlalu sejak pernikahannya. Keduanya —sebenarnya lebih pada Wooyoung— memutuskan untuk tinggal di rumah Wooyoung saja dari pada rumah Aurel.

"Mas, sarapan dulu" Kata Mama.

Wooyoung hanya mengiyakan saja. Laki-laki itu duduk di meja makan dan mulai menyantap nasi goreng dan gelas air mineral disamping piringnya. Ekspresi wajahnya selalu sama selama satu minggu terakhir, menatap datar tanpa ekspresi. Wooyoung juga tak banyak membuang suaranya. Hanya bicara seperlunya saja. Kontras dengan Wooyoung yang biasanya.

"Mama ke kamar dulu ya"

Aurel dan Wooyoung mengangguk. Aurel yang sedari tadi berdiri kini ganti duduk di samping Wooyoung.

"Kamu nanti pulang jam berapa?" Tanya Aurel.

Tanpa menoleh, Wooyoung menjawab. "Kaya biasanya"

Aurel mengangguk mengerti. "Mau aku bawain bekal nggak?"

"Nggak usah"

Aurel membulatkan bibirnya, tapi lalu berkata. "Nanti makan siangnya yang sehat ya, jangan junkfood"

Wooyoung hanya berdeham mengiyakan.

"Oh iya, nanti pas kamu pulang beliin donat kacang ya. Aku lagi pengen itu"

Lagi-lagi Wooyoung balas berdeham tanpa menoleh. Dan Aurel tak tahan lagi. Perempuan itu mulai merengek.

"Kenapa sih cuek banget? Kamu nggak kaya gini biasanya? Kamu banyak ngomong, kamu—"

"Nggak usah banyak omong. Mending lo makan" Wooyoung memotong.

Bibir Aurel mengerucut, masih sibuk merengek. "Wooyoungie..."

Sendok dan garpu yang ada di tangan Wooyoung terlepas kencang dari tangannya hingga menimbulkan dentingan keras dari benturan sendok dan garpu dengan piring. Aurel yang melihat itu sampai tersentak kaget. Suasana disekitarnya seketika berubah mencekam. Apalagi ditambah wajah Wooyoung yang berubah dingin menatap Aurel. Mata laki-laki itu berubah tajam mengalahkan pedang. Menusuk tepat di jantung perempuan yang ada di depannya.

"Lo boleh manggil gue apapun, asal jangan panggilan itu. Ngerti?!" Wooyoung menggeram tepat di depan wajah Aurel.

Laki-laki itu berdiri, meraih tasnya dan meninggalkan sarapannya serta Aurel yang masih kaget. Wooyoung tak peduli. Ia terus melangkah hingga memasuki mobilnya.

"Cuma ada satu orang yang boleh manggil gue kaya gitu. Dan orang itu bukan elo!" Lagi-lagi Wooyoung menggeram kesal.

Dengan mata tajam dan emosinya yang masih mendidih, Wooyoung melajukan mobil ke kantornya. Moodnya tidak pernah baik sejauh ini, dan Aurel justru menyiram minyak di api yang menyala.

Our Way: Jung WooyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang