Part 7 : Watu Jaran

1K 79 0
                                    

Masih ingat dengan batu besar yang ada di ladang garapan bapakku, yang penghuninya dulu pernah merasuki Alya anaknya Mbak Yatmi? Nah, cerita ini masih berhubungan dengan batu tersebut.

Jadi batu besar itu letaknya di tepi ladang Lik Parmin, ladang yang digarap oleh bapakku, dan berbatasan langsung dengan ladang milik Lik Parman. Lik Parman ini adalah kakak kandung dari Lik Parmin. Jadi mereka berdua ini adalah saudara kakak beradik.

Namun, meski bersaudara, keduanya memiliki sifat yang sangat berbeda. Lik Parmin sedikit kalem dan nggak banyak omong. Sedangkan Lik Parman sebaliknya.

Keberadaan batu besar di perbatasan ladang mereka itu juga sudah lama menjadi permasalahan diantara mereka berdua, mengingat sebagian batu itu berada di ladang Lik Parmin, dan sebagian lagi berada di ladang Lik Parman.

Keberadaan batu itu dianggap menganggu oleh Lik Parman. Jadi beliau berniat untuk memecah batu itu, agar bekasnya bisa ditanami dengan tanaman yang bermanfaat dan bisa menghasilkan. Selain itu pecahan pecahan batu itu nantinya juga bisa dijual untuk dijadikan bahan bangunan.

Tapi Lik Parmin tak pernah mengizinkan, mengingat bahwa batu itu dikenal angker dan ada penghuninya. Ia tak akan pernah bisa melupakan kejadian yang dulu hampir merenggut nyawa Alya cucunya. Hal inilah yang membuat hubungan kedua saudara kakak beradik itu menjadi sedikit renggang.

Dan entah bagaimana awalnya, meski Lik Parmin tak pernah mengizinkan, Lik Parman nekat memecah batu itu. Dengan peralatan yang sederhana, hanya berupa palu besar dan pahat khusus untuk memecah batu, Lik Parman mulai memecah batu itu. Sedikit demi sedikit, bongkahan batu yang telah berhasil ia pecah ia kumpulkan di sudut ladangnya.

Aku masih ingat, saat itu sedang musim menanam kacang tanah. Ladang Lik Parman sudah selesai ditanami. Sedang Ladang Lik Parmin yang digarap bapakku baru mulai ditanami. Kami sibuk bekerja menanam kacang tanah di ladang garapan bapakku, sedang Lik Parman sibuk memecah batu besar itu. Entah sampai berapa hari nantinya batu sebesar itu akan selesai dipecah dengan peralatan yang serba sedehana seperti itu. Apalagi batu itu adalah jenis batu hitam yang terkenal sangat keras.

Sambil bekerja, Lik Parmin dan bapakku asyik mengobrol. Soal apalagi yang diomongin kalau bukan soal Lik Parman yang nekat memecah batu itu. Dan seperti biasa, aku yang ikut membantu bapak bekerja, mulai menguping pembicaraan mereka.

"Ora Min, kakangmu ki po ra wedi nek kesambet, kok wani wanine mecel'i watu kuwi," (enggak Min, kakakmu itu apa nggak takut kesambet, kok berani beraninya memecah batu itu?) demikian bapakku memulai pembicaraan.

"Alah mboh Kang, sakjane yo wes bola bali tak elingke, lha ning dhasare wong ndableg. Yo wes ben, di jarke wae. Mengko nek ana apa apane ben disangga dhewe," (Alah, nggak tau Kang. Sebenarnya juga sudah berkali kali aku ingatkan, tapi dasarnya orang keras kepala. Biarkan saja. Nanti kalau ada apa apanya biar ditanggung sendiri akibatnya), sahut Lik Parmin dengan nada kesal.

Dari pagi sampai siang menjelang, aku perhatikan baru beberapa pecahan batu  yang berhasil Lik Parman kumpulkan. Sampai tiba waktunya makan siang, emakku datang mengantarkan makanan. Kamipun menghentikan kesibukan kami sejenak, dan berteduh di gubuk yang ada di tengah ladang. Tak lupa Lik Parmin memanggil kakaknya itu untuk diajak makan siang bersama. Namun Lik Parman menolak, dan malah asyik melanjutkan pekerjaannya. Biar cepat selesai katanya.

"Coba lihat Kang, sudah waktu bedhug (tengah hari) begini, disuruh istirahat saja kok nggak mau. Apa nggak ndableg itu namanya," gerutu Lik Parmin sambil mencuci tangannya.

"Lha iya to, padahal kan ora ilok to, pamali, bedhug bedhug begini kok nekat kerja. Nggak istirahat dulu barang sejenak," sahut bapakku.

Belum juga selesai bapakku bicara, tiba tiba terdengar suara teriakan Lik Parman, yang disusul dengan suara tubuhnya yang terlempar dari atas batu beaar itu dan jatuh di semak semak.

"Aduuuhhh ...!!! Ampuuunnn ...!!!"
"Gussrrrraaakkk ...!!!"

Kamipun kaget, panik meninggalkan makan siang kami yang belum sempat kami sentuh, dan berlari menuju ke arah Lik Parman yang sudah terkapar di tengah rumpun semak semak.

"Oalah Kang Kang, gimana ceritanya to, kok sampai bisa jatuh begini?! Makanya kalau ada orang ngomong itu di dengerin! Bedug bedug disuruh istirahat saja kok nggak mau. Jadinya begini kan!" Lik Parmin mengomel panjang pendek sambil berusaha membantu kakaknya itu berdiri.

Lik Parman meringis menahan sakit. Dari mulut dan kedua lubang hidungnya nampak darah kental mengalir keluar.

"Aduuuhhh Miinnn, sakit Min! Dadaku sesak banget. Rasanya panas kayak dibakar," rintih Lik Parman sambil mendekap dadanya.

"Coba sini aku lihat," bapakku mencoba ikut membantu mendudukkan Lik Parman di bawah pohon akasia, lalu membuka bajunya.

"Duh Gustiiii!!!" seru bapak, saat dilihatnya ada luka lebam selebar telur angsa di dada sebelah kiri Lik Parman. "Ini tadi kenapa to, kok bisa sampai jatuh begini?"

"Aku dipengkal jaran Kang," (Aku disepak kuda Kang), sahut Lik Parman masih sambil meringis ringis menahan sakit.

"Jaran?! Jaran opo? Aneh aneh wae. Ra enek jaran neng kene," (Kuda?! Kuda apa? Aneh aneh saja! Nggak ada kuda disini) bapak dan Lik Parmin celingak celinguk kebingungan. Di desaku memang sama sekali tak ada yang memiliki kuda. Bahkan aku sendiri sama sekali belum pernah melihat seperti apa hewan bernama kuda ini, kecuali di gambar yang ada di buku pelajaran sekolahku.

"Embuh Kang! Nggak tau! Tadi lagi asyik asyiknya aku bekerja, tiba tiba ada kuda yang datang dan langsung menyepakku sampai terlempar dan jatuh. Kudanya besar sekali Kang, punya sayap dan bisa terbang!" Lik Parman menjelaskan dengan nafas yang megap megap.

"Wah, ndak beres ini Min! Yo wis, kamu panggil Pak Modin saja Min. Aku tak kerumah Pak Hadi. Harus cepet cepet dibawa ke rimah sakit ini." ujar bapakku.

Akhirnya Lik Parminpun segera bergegas menjemput Pak Modin, sedang bapakku ke rumah Pak Hadi, satu satunya orang yang memiliki mobil di desaku.

Beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya kondisi Lik Parman mulai membaik dan diizinkan pulang. Namun ia tak benar bemar sembuh seratus persen. Kadang nafasnya masih tersengal sengal kalau bekerja terlalu berat. Juga sering batuk batuk berkepanjangan, dan setiap batuk selalu disertai dengan keluarnya darah kental dari mulut dan kedua lubang hidungnya.

Berkali kali masuk rumah sakit, namun kondisinya tak kunjung membaik juga. Bahkan sudah berkali kali memanggil orang pintar segala, tapi hasilnya juga tetap nihil. Sampai beberapa bulan kemudian, Lik Parmanpun akhirnya meninggal.

Sampai detik ini, saat cerita ini aku tulis, batu besar itu masih ada, dengan bekas bekas pahatan yang dibuat oleh Lik Parman. Bongkahan bongkahan batu yang sudah berhasil ia kumpulkan di sudut ladangnyapun juga masih ada. Tetap teronggok disana tanpa ada seorangpun yang berani mengganggu atau mengambilnya. Dan sejak kejadian itu, orang orang menyebut batu besar itu dengan sebutan "Watu Jaran", yang artinya Batu Kuda.

*****

Horor Story : Angkernya Tegal SalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang