Liburan caturwulan tiba. Saat saat yang paling menyenangkan bagiku. Seminggu penuh bisa bebas dari segala aktifitas sekolah yang membosankan. Seminggu penuh juga aku bisa bebas bermain seharian dengan teman temanku.
Kebetulan ada teman baru. Sebut saja namanya Iwan. Dia ini baru datang dari kota. Sengaja datang ke desa ini bersama kedua orang tuanya untuk liburan. Kebetulan kedua orang tuanya adalah warga asli Kedhungjati yang sudah lama merantau ke kota.
Namanya anak anak, meski baru kenal tapi kami cepat sekali menjadi akrab. Hampir setiap hari kami bermain bersama, karena rumah kakek si Iwan ini juga tak begitu jauh dari rumahku.
Sebagai anak yang lahir dan besar di kota, Iwan sangat senang saat kuajak bermain dan berjalan jalan keliling desa. Ia begitu takjub melihat pemandangan alam pedesaan yang menurutku biasa biasa saja itu.
Di hari ketiga liburan kami, Iwan dan kedua orang tuanya berjanji akan mengajakku ke tempat wisata yang berada di kota kabupaten. Tentu saja aku girang bukan kepalang. Sebagai anak desa, aku memang sangat jarang jalan jalan atau pergi ke tempat wisata seperti itu. Akupun tanpa pikir panjang segera mengiyakan ajakan itu. Kapan lagi bisa jalan jalan gratis dan naik mobil mewah milik orang tua Iwan.
Namun rencana tinggal rencana. Malam harinya ada kabar kalau ada salah satu warga yang meninggal. Mau tak mau rencana jalan jalan itupun tertunda. Tak apalah, toh masih ada hari esok ini.
Paginya, saat semua orang sibuk dirumah orang yang meninggal itu, Iwan datang ke rumahku. Saat tiba didepan pintu rumahku, ia sempat tertegun saat melihat ke arahku, lalu sekejap kemudian bertanya kepadaku.
"Eh, telingamu kenapa?" tanyanya heran.
"Kenapa memangnya?" aku balik bertanya.
"Itu, telingamu ada putih putihnya," jawab Iwan sambil menunjuk ke telingaku yang sebelah kiri.
"Oh, ini kapur sirih," jelasku.
"Kenapa telingamu bisa sampai terkena kapur sirih begitu?" tanya Iwan lagi.
"Kan semalam ada orang yang meninggal," jawabku lagi.
"Eh, apa hubungannya orang meninggal dengan kapur sirih yang ada di telingamu itu?" Iwan nampak semakin heran.
"Lho, kamu ndak tau to?"
"Tau apa?"
"Kalau ada orang yang meninggal kan telinga anak anak seumuran kita ini harus diolesi kapur sirih. Biar ndak kena sawan," jelasku.
Di desaku memang ada semacam tradisi atau kepercayaan yang seperti itu. Setiap ada warga desa yang meninggal, maka anak anak yang masih kecil, yang belum disunat, atau istilah sekarangnya belum akhil baliq, cuping telinganya akan diolesi dengan kapur sirih. Biar ndak kena sawan katanya. Menholesinya pun tidak asal asalan. Sambil mengolesi cuping telinga anak anaknya, para orang tua akan mengucap 'debog bosok galih asem. Debog bosoknya buat si A (nama orang yang meninggal), galih asemnya buat si B (nama si anak).'
Oh, jadi seperti itu," Iwan tampak manggut manggut mendengar penjelasanku.
"Iya," jawabku. "Kok telingamu ndak diolesin kapur sirih?"
"Aku ndak tau," jawab Iwan.
"Orang tuamu ndak ngolesin kapur sirih di telingamu?"
"Enggak tuh. Dari semalem bapak dan ibuku sibuk bantu bantu di rumah orang yang meninggal itu. Tadi saja mereka ndak tau kalau aku kesini. Apa kalau telingaku ndak diolesi kapur sirih aku nanti akan kena sawan?" tanya Iwan.
"Entahlah! Aku juga ndak tau," jawabku.
"Ya sudah kalau begitu. Ayo kita main," ajak Iwan.
"Nanti saja mainnya. Kita nunggu sampai orang yang meinggal itu diberangkatkan ke pemakaman dulu," tolakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Horor Story : Angkernya Tegal Salahan
HorrorKumpulan kisah horor dan misteri yang dialami oleh para narasumber di sebuah wilayah yang dipercaya sebagai sarangnya para dedhemit. Cerita ini sebelumnya sudah pernah saya tulis di platform Kaskus dengan judul yang sama. #1 basedontruestory