Part 20 : Penganten Wurung

774 72 6
                                    

Di desaku, ada semacam adat atau tradisi, dimana setiap ada warganya yang ingin mengadakan acara hajatan, wajib menyediakan sesajen berupa panjang ilang yang nantinya akan diletakkan di tempat tempat yang dianggap keramat di sekitaran desa, lalu dibacakan doa doa oleh orang yang dituakan di desa.

Panjang ilang sendiri merupakan wadah yang terbuat dari janur kuning (daun kelapa yang masih muda) yang dianyam membentuk semacam keranjang kecil, yang nantinya akan diisi dengan berbagai macam sesajen.

Tradisi ini telah dipercaya secara turun temurun. Dan hampir semua warga di desaku menghormati dan melaksanakannya. Tak ada yang berani melanggar tradisi itu, kecuali satu orang, dan itu berakibat sangat fatal.

Pak Harjo namanya. Sebenarnya beliau ini bukanlah warga asli desa Kedhung Jati, melainkan pendatang dari daerah lain. Suatu saat beliau berniat untuk menggelar pesta pernikahan anak perempuannya. Pesta yang rencananya akan digelar secara meriah dan besar besaran, mengingat Pak Harjo ini termasuk keluarga yang terpandang di desaku.

Jauh jauh hari sebeluh hari H, segala sesuatu yang berhubungan dengan rencana pesta itu telah dipersiapkan. Para warga tanpa dimintapun segera berbondong bondong datang untuk membantu. Memang semangat kegotongroyongan di desaku masih sangat tinggi. Disaat ada warga yang kerepotan, maka warga yang lain akan segera datang membantu tanpa diminta.

Lingkungan sekitar rumah Pak Harjo dibersihkan. Hiasan hiasan  telah terpasang. Meja dan kursi tamupun telah dipersiapkan. Dapur darurat juga telah dibangun, termasuk tratak atau tenda besar sederhana yang terbuat dari bambu dan beratap terpal mulai didirikan. Para warga perempuan juga tak mau ketinggalan. Mereka mulai sibuk memasak untuk semua warga yang bekerja.

Melihat kesungguhan warga dalam bekerja, sepertinya semua rencana akan berjalan lancar. Sampai pada dua hari sebelum hari H, terjadi sedikit perselisihan pendapat antara tuan rumah dan para warga. Tetua desa yang mengingatkan tentang tradisi panjang ilang ini, nampaknya berbeda pendapat dengan sang tuan rumah. Ya, Pak Harjo merasa keberaran, bahkan menolak untuk membuat sesajen panjang ilang. Katanya hal seperti itu tidak sesuai dengan kepercayaannya.

Suasana menjadi sedikit tegang. Para tetua desa mencoba memberi pengertian. Namun Pak Harjo tetap kukuh dengan pendiriannya. Akhirnya, meski sedikit kecewa, warga memilih untuk mengalah.

"Biarkan saja, kalau memang seperti itu keinginannya. Toh kita sudah berusaha mengingatkan. Kita berharap saja, semoga nanti tak sampai terjadi hal hal yang tak kita inginkan," kata Mbah Mo, salah seorang tetua di desaku, mencoba menenangkan warga yang sedikit tersulut emosi.

Namun sepertinya harapan tak sesuai dengan kenyataan. Belum selesai Mbah Mo bicara, mendadak cuaca yang awalnya cerah dan panas karena memang sedang musim kemarau, berubah seketika. Mendung hitam pekat bergulung dari arah selatan, berarak perlahan mendekati desa Kedhung Jati. Angin bertiup kencang, menerbangkan debu debu dan dedaunan kering yang berserakan di jalanan. Lalu seperti ditumpahkan dari langit, hujan deraspun mengguyur, diiringi oleh kilanan petir dan suara guntur yang saling bersahut sahutan serta angin yang bertiup sangat kencang. Warga yang sedang asyik bekerjapun panik dan berlarian mencari tempat perlindungan.

"Ini pasti pertanda buruk!" bisik salah seorang warga.

"Iya. Tak biasanya hujan datang tiba tiba di musim kemarau seperti ini!" sahut warga yang lain.

"Pasti ini teguran dari dhanyang Tegal Salahan!"

"Bisa gawat nih, kita juga bisa kena getahnya!"

Suara derasnya hujan dan desau angin kencang seolah menenggelamkan bisik bisik para warga. Sampai tiba tiba ...

"Blluuaarrrr ...!!! Juegllaaaaarrrr ...!!!" kilatan petir disertai suara dentuman guntur menyambar sebatang pohon akasia yang tumbuh di depan rumah itu, membuat orang orang berjingkat kaget.

"Kkkrrraaakkkkk ....!!! Brruuussshhhh ...!!!"

Kembali orang orang berlarian menyelamatkan diri, saat angin kencang menumbangkan pohon akasia besar itu. Pohon dengan diameter hampir tigapuluh centimeter itu roboh menimpa tratak yang hampir selesai mereka bangun. Tratak itupun ikut roboh berantakan. Beruntung orang orang yang berteduh dibawahnya masih sempat berlari menyelamatkan diri, hingga musibah itu tak sampai menimbulkan korban jiwa.

"Ini pertanda buruk!" desis Mbah Mo pelan.

***

Sehari sebelum hari H, semua persiapan untuk menggelar pesta telah siap. Tratak yang kemarin roboh sudah dibangun kembali. Pohon yang tumbang itu juga sudah disingkirkan. Meja dan kursi tamu telah tersusun rapi, berderet dibawah naungan tratak yang dihiasi banyak untaian janur kuning. Bahkan kursi pelaminanpun sudah siap di tempatnya. Tinggal menunggu kehadiran hadiran sang raja dan ratu sehari yang akan bersanding di atasnya.

Malam harinya, warga kembali berkumpul di rumah Pak Harjo, untuk menemani sang tuan rumah tirakatan. Berdoa bersama memohon kepada sang pencipta, agar diberikan kelancaran dalam  acara pernikahan nanti, dan dijauhkan dari segala macam gangguan dan halangan.

Selesai pembacaan doa yang dipimpin oleh Pak Modin, dilanjutkan dengan makan bersama sambil bercengkerama. Rasa sukacita dirasakan oleh segenap warga yang hadir disitu, tanpa menyadari bahwa malapetaka sedang mengintai mereka.

Saat warga sedang asyik bercengkerama sambil menikmati hidangan yang telah disediakan oleh si tuan rumah, tiba tiba terdengar suara gaduh dari ruangan dalam, tepatnya dari arah kamar calon mempelai perempuan.

Usut punya usut, ternyata Mbak Yuni, anak perempuan Pak Harjo yang juga adalah calon mempelai perempuan, menghilang dari dalam kamarnya. Padahal saat itu ia sedang dipingit, tak boleh keluar sama sekali dari dalam kamarnya.

Bu Harjo bersama anak bungsunya yang juga tak lain adalah adik dari Mbak Yuni sudah mencarinya kesana kemari, tapi sosok Mbak Yuni tak diketemukan juga.

Akhirnya para wargapun berinisiatif untuk membantu mencari. Mereka menyebar ke segenap penjuru desa, sambil membunyikan kentongan. Semakin malam, semakin banyak yang datang untuk ikut mencari. Kebun, pekarangan, ladang, bahkan sampai ke sawah sawah yang letaknya agak jauh dari desapun mereka jelajahi. Namun hingga waktu shubuh hampir menjelang, sosok Mbak Yuni ini belum juga diketemukan. Hingga akhirnya, saat fajar menyingsing di ufuk timur, Mbak Yuni ini diketemukan oleh salah seorang warga yang hendak buang air besar ke kali Salahan.

Perempuan muda itu diketemukan tengah terduduk diam diatas buk yang ada di jalan Tegal Salahan. Sedikit aneh sebenarnya, karena menurut orang orang mencarinya, sudah beberapa kali mereka melewati buk itu, namun tak melihat keberadaan Mbak Yuni.

Kondisi perempuan itu saat ditemukan benar benar sangat mengenaskan. Ia terduduk diam di atas buk dengan tubuh telanjang bulat, tanpa ada sehelai benangpun yang menutupi tubuhnya. Saat ditanyai, perempuan itu hanya diam. Jangankan menjawab, menolehpun ia tidak. Hanya sesekali ia tersenyum dan tertawa tawa sendirian, lalu tiba tiba menangis tanpa sebab. Mbak Yuni jadi gila! Demikian desas desus menyebar dengan sangat cepatnya.

Melihat kondisi Mbak Yuni yang seperti itu, mau tak mau acara pesta pernikahanpun terpaksa harus ditunda. Tak peduli dengan undangan yang telah disebar, tak peduli dengan semua persiapan yang telah matang, bahkan tak peduli dengan keluarga besar calon besan yang tiba tiba pamit untuk pulang. Yang ada dalam pikiran Pak Harjo kala itu hanyalah kondisi sang anak yang sangat mengkhawatirkan.

Segala macam cara telah ditempuh oleh keluarga Pak Harjo untuk menyembuhkan anak perempuannya itu. Orang pintar, dukun, paranormal, kyai, sampai psikiater, semua pernah didatangi, bahkan konon katanya Mbak Yuni pernah dibawa berobat ke ibukota, namun hasilnya tetap nihil.

Rencana pernikahan yang telah dipersiapkan dengan matang itupun akhirnya terpaksa dibatalkan. Pihak dari calon mempelai laki laki yang membatalkannya. Jelas mereka tak menginginkan calon menantu yang mengalami gangguan jiwa. Lengkaplah sudah penderitaan yang dialami oleh keluarga Pak Harjo. Keluarga yang sangat terpandang itu merasa sangat terhina, hingga akhirnya memutuskan untuk pindah dari desaku. Semua sawah, ladang, dan rumahnya dijual, lalu pindah entah kemana.

Sampai saat ini, aku sendiri masih belum paham, kenapa peristiwa itu bisa terjadi. Apakah benar karena Pak Harjo yang tak bersedia memasang sesajen panjang ilang, atau ada faktor lain yang menjadi penyebabnya. Yang jelas, mungkin pepatah lama itu perlu kita ingat kembali, bahwa dimana bumi dipijak, maka disitulah langit harus dijunjung.

*****

Horor Story : Angkernya Tegal SalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang