Short Story Kedhung Jati 1 :Selasa Kliwon [Bag.2]

607 63 4
                                    

Hari semakin sore. Langit juga semakin gelap karena mendung yang berarak dari arah selatan. Pak Modinpun segera bersiap untuk memulai prosesi memandikan jenazah.

"Gimana, apa segala uba rampe (persyaratan)nya sudah siap semua?" Tanya Pak Modin.

"Sebentar lagi Pak, nunggu Toni dulu yang lagi ke kota kecamatan membeli kain kafan dan peti mati. Paling sebentar lagi nyampai," jawab salah seorang bapak yang sedang sibuk memasang tenda.

"Ya sudah. Sambil menunggu tolong tempat memandikanmya disiapkan dulu ya," ujar Pak Modin, yang segera diiyakan oleh beberapa warga. Mereka segera menyiapkan tempat untuk memandikan jenazah. Sementara itu Pak Bayan nampak mendekat ke arah Pak Modin dan membisikkan sesuatu ke telinganya.

"Hmmm, jadi seperti itu ya," Pak Modin nampak mengangguk anggukkan kepalanya. "Biar saya yang bicara dengannya Pak."

Pak Modin lalu masuk ke dalam rumah dan menghampiri seorang pemuda yang duduk di sisi jenazah. Ia membisikkan sesuatu ke telinga pemuda itu. Tak lama pemuda itu bangkit dan mengikuti langkah Pak Modin keluar. Mereka menuju ke sudut halaman yang agak sepi.

"Jadi bagaimana No? Apa orang tuamu ndak bisa dihubungi? Ini amanat dari orang yang sudah meninggal lho. Tapi aku juga ndak bisa maksa No, karena ini menyangkut masa depanmu bersama Yatmi," kata Pak Modin setengah berbisik.

"Saya ikut gimana baiknya saja Pak. Bapak dan emak masih di Jakarta, di tempat adik saya. Sudah saya hubungi sih, tapi ndak bisa langsung pulang. Paling lusa baru bisa. Tapi bapak sudah bilang kalau semua diserahkan sama Pak Modin, gimana baiknya gitu," Mas Yatno menjelaskan panjang lebar.

"Lha kamu sendiri gimana? Apa ndak papa kalau ijab qabul tanpa didampingi oleh bapak dan emakmu?" Tanya Pak Modin.

"Sebenarnya ya agak gimana gitu sih Pak. Tapi kata bapak saya, kalau memang itu sudah menjadi amanat dari almarhum, ya sebaiknya dilaksanakan saja. Bapak dan emak juga sudah merestui. Soal yang lain lain bisa nyusul nanti," jawab Mas Yatno.

"Ya sudah kalau begitu. Kalau semua memang sudah ikhlas dan merestui, kita laksanakan saja. Ajak Yatmi bersiap siap. Paling tidak kalian ganti baju lah dengan pakaian yang lebih pantas. Dan kalau ndak salah kamu masih punya Paklik (Paklik = Paman) kan? Apa tidak sebaiknya kita jemput Paklik-mu itu, biar bisa mewakili bapakmu?"

"Ah, iya. Saya sampai lupa Pak," Mas Yatno menepuk jidatnya.

"Ah, kamu ini lho! Punya Paklik kok sampai bisa lupa. Ya sudah, kamu siap siap sana. Soal Paklikmu biar aku nanti yang nyuruh anak anak untuk menjemputnya," kata Pak Modin.

Mas Yatno kembali masuk ke dalam rumah. Sementara Pak Modin kembali membaur dengan beberapa warga yang sedang menyiapkan tempat untuk memandikan jenazah. Ternyata Mas Toni sudah kembali dari kota dengan motor bututnya, diikuti oleh sebuah mobil pick up yang mengangkut peti mati dan batu nisan.

"Lho, kok pakai batu nisan segala to ini?" Tanya Mas Yudi heran.

"Itu pesanan warga Tarumas Yud. Sekalian dibawa tadi karena jalannya memang searah. Daripada bolak balik nanti," jawab Mas Toni sambil menyerahkan bungkusan berisi kain kafan dan segala tetek bengek keperluan yang dibelinya.

"Kamu tau rumahnya Pak Parto ndak Ton?" Tanya Pak Modin setelah menerima bungkusan itu.

"Pak Parto yang mana Pak?" Mas Toni balik bertanya.

"Pak Parto Pakliknya Yatno, yang tinggal di desa Jati Anom sana," jawab Pak Modin.

"Wah, ndak tau saya Pak. Kamu tau ndak Yud?" Mas Toni menoleh ke arah Mas Yudi.

"Aku juga ndak tau Ton. Tapi si Teguh tuh mungkin yang tau. Dia kan juga punya saudara yang tinggal di desa Jati Anom sana," jawab Mas Yudi.

"Ya sudah, coba panggil Teguh kesini," ujar Pak Modin. Mas Yudipun segera memanggil Mas Teguh dan menyuruhnya untuk menjemput Pak Parto ke desa Jati Anom.

Horor Story : Angkernya Tegal SalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang