Part 26 : Rumah Baru Untuk Dewi

720 59 3
                                    

Hari masih pagi. Baru sekitar jam sembilanan. Namun teriknya matahari musim kemarau terasa begitu menyengat kulit. Mbah Kromo yang sejak tadi nampak sibuk mencangkul di ladangnya, menghentikan sejenak kesibukannya. Disekanya peluh yang membanjir di pelipisnya, lalu dengan langkah sedikit gontai, laki laki tua itu menghampiri gubuk kecil yang berada di tengah tengah ladangnya.

Setelah menenggak air teh dari dalam ceret yang menjadi bekalnya, mBah Kromo duduk diatas tonggak kayu yang ada disamping gubuknya itu. Caping anyaman bambu yang tadi ia gunakan untuk melindungi kepalanya dari sengatan sinar mentari, kini berubah fungsi menjadi kipas.

Sambil mengibas ngibaskan caping itu didepan wajahnya, mata tua mBah Kromo menatap ke arah pohon Sengon besar yang tumbuh tak jauh dari tempatnya beristirahat itu. Sudah dari beberapa minggu yang lalu ia berniat untuk menebang pohon itu. Namun sampai hari ini, niat itu belum kesampaian juga. Ia sudah terlalu tua untuk menebang pohon sebesar itu seorang diri.

"Maannn...!!! Panas lho! Sini dulu! Ngopi ngopi dulu sini!" setengah berteriak mBah Kromo lalu memanggil Kang Sarman yang juga sedang sibuk mencangkul di ladangnya, tak jauh dari ladang milik mBah Kromo.

"Nggih mBah! Sebentar!" jawab Kang Sarman, juga dengan setengah berteriak. Laki laki itu segera meletakkan cangkulnya, lalu dengan lincah berjalan diantara bongkahan bongkahan tanah yang telah selesai ia cangkul, menuju ke arah gubuk milik mBah Kromo.

"Sangu kopi to mBah?" tanya Kang Sarman begitu sampai di gubuk itu. Ia melepas capingnya, lalu ikut duduk di sebelah mBah Kromo.

"Ndak! Ini cuma bawa teh pahit sama singkong rebus," mBah Kromo meletakkan ceret dan rantang berisi beberapa potong singkong rebus di dekat Kang Sarman.

"Oalah, begitu kok tadi nawarinya kopi," Kang Sarman terkekeh, setelah menenggak teh pahit langsung dari ceretnya.

"Hehehe, kan biar pantes kalau didenger orang. Ndak lucu to kalau teriak teriak manggil orang cuma mau nawarin teh pahit," mBah Kromo ikut terkekeh, memamerkan giginya yang tinggal dua biji.

"Hahaha, bisa saja simbah ini," Kang Sarman mencomot sepotong singkong rebus dari dalam rantang, lalu mengunyahnya dengan sangat rakus. "Panas banget hari ini ya mBah, padahal hari belum terlalu siang."

"Ya namanya juga lagi musim kemarau Man, kalau ndak mau panas ya dirumah saja sana, kelon sama bojomu," canda mBah Kromo sambil ikut mencomot singkong rebus dan mengunyahnya pelan.

"Hahaha, simbah ini lho, sudah tua kok sukanya becanda begitu."

"Biar awet tua Man! Kata orang bercanda itu bisa memperpanjang umur. Oh ya, gimana ladangmu Man? Sudah selesai kau cangkul semua?"

"Tinggal sedikit lagi mBah, paling dua atau tiga hari lagi selesai," Kang Sarman mengeluarkan slepen dari dalam kantong celana komprangnya, lalu mulai sibuk melinting tembakau.

"Berarti dua tiga hari lagi kamu sudah ndak sibuk to?" mBah Kromo ikut melinting tembakau milik Kang Sarman.

"Ya begitulah mBah. Lagi musim kemarau ini. Paling sibuk nyari rumput buat makan kambing kambingku," Kang Sarman menyulut ujung rokok tingwenya, lalu menghisapnya dalam dalam. Asap putih mengepul keluar dari kedua lubang hidung laki laki itu. "Memangnya kenapa to mBah, kok pakai nanya sibuk apa enggak segala?"

"Gini lho Man," mBah Kromo juga menyalakan ujung rokok tingwenya. Aku mau minta tolong sama kamu, buat nebang itu lho, pohon sengon itu. Kamu bisa ndak?"

Kalau cuma sekedar nebang pohon sih, itu urusan kecil mBah," Kang Sarman menghembuskan asap rokok tingwenya kuat kuat. "Tapi kenapa memangnya, kok mau ditebang mBah?"

Horor Story : Angkernya Tegal SalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang