Part 19 : Gedebog Pisang Itu Ternyata ....

783 64 5
                                    

Malam itu, Kang Sukri dan Lik Mukri mendapat jatah giliran lep (mengairi sawah). Di saat musim kemarau begini, kegiatan lep memang digilir, untuk mencegah terjadinya perebutan air diantara para petani.

Air memang sangat berharga bagi para petani, terutama di saat musim kemarau. Banyak dari mereka yang memilih untuk tidak menggarap sawahnya, membiarkannya mengering dan terbengkalai karena tidak adanya air. Terutama yang letak sawahnya jauh dari kalen (saluran irigasi).

Yang sawahnya dekat dengan kalen, sedikit masih beruntung. Mereka masih bisa menggarap sawahnya, meski harus dengan bersusah payah karena sulitnya mendapatkan air. Dan karena sulitnya untuk mendapatkan air inilah terkadang  sering rerjadi keributan antar para petani karena rebutan air. Karena itulah akhirnya kegiatan lep ini dijatah dan digilir setiap musim kemarau tiba.

Jam sebelas malam, Kang Sukri dan Lik Mukri telah sampai di dam (bendungan) kali Bagor. Dari dam inilah air sungai dialirkan ke kalen, untuk selanjutnya nanti dialirkan ke sawah sawah milik warga.

"Wah, pantesan saja air di kalen ngalirnya kecil banget, lha wong mampet begini," gerutu Lik Mukri sambil menyorotkan senternya ke arah pintu air yang mengalirkan air dari kali ke kalen. Sampah dedaunan dan rerumputan kering nampak tersangkut dan menyumbat mulut pintu air tersebut.

"Sepertinya ini harus dibersihkan Lik," Kang Sukri ikut melongok ke bawah.

"Itu aku juga tau," sahut Lik Mukri. "Ya sudah, kamu yang turun, biar aku terangi dari sini."

"Harus nyemplung ya Lik?" tanya Kang Sukri sedikit ragu. Membayangkan dinginnya air sungai membuatnya bergidik.

"Ya iyalah, gimana mau membersihkannya kalau ndak nyemplung," kata Lik Mukri.

"Tapi ..., dingin Lik. Dan kayaknya lumayan dalam airnya," Kang Sukri kembali melongok ke bawah.pusaran air yang berputar putar deras membuat nyalinya sedikit ciut. Kang Sukri memang sedikit penakut orangnya. Melihat pusaran air yang berputar putar deras itu mengingatkannya pada cerita hantu air yang dulu sering diceritakan oleh kakeknya.

"Halah! Kamu ini lho, sudah tua bangka gitu kok masih takut sama dingin. Apa harus aku yang turun?" kata Lik Mukri sedikit kesal.

Kang Sukripun tak bisa membantah lagi. Ia memang lebih muda daripada Lik Mukri, karena ia memang keponakan dari laki laki itu. Jadi mau tak mau ia harus mengikuti perintah dari sang paman.

"Buka saja pakaianmu itu biar ndak basah," kata Lik Mukri lagi.

Lagi lagi Kang Sukri hanya bisa menuruti perintah sang paman. Ia celingak celinguk sebentar sebelum membuka seluruh pakaian yang dikenakannya. Biar bagaimanapun tempat ini sangat terbuka. Bisa berabe kalau ada yang melihat ia telanjang bulat di tengah malam buta begini.

"Sudah, ndak bakalan ada yang ngintip," seru Lik Mukri yang melihat sang keponakan sedikit khawatir. "Palingan juga dhemit yang ngintip di tengah malam begini."

"Wedhus!" umpat Kang Sukri dalam hati. "Sudah tau aku penakut, lha kok malah ngomongin soal dhemit segala."

Kang Sukri segera melepas semua pakaiannya, lalu terjun ke dalam kedhung. Benar saja, air di dalam kedhung itu sangatlah dalam. Kini hanya kepala Kang Sukri yang nampak timbul tenggelam dipermainkan arus air sungai yang agak deras itu.

Tanpa menghiraukan air sungai yang sedingin es, Kang Sukri dengan cekatan segera berenang mendekat ke pintu air, lalu dengan cekatan ia menyingkirkan sampah dan dedaunan yang menyumbat mulut pintu air itu. Dari atas dam Lik Mukri meneranginya dengan lampu senter.

Horor Story : Angkernya Tegal SalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang