Part 6 : Dikeloni Wewe Gombel

1K 83 1
                                    

Masa sehabis panen padi, ada pemandangan yang tak biasa di desaku. Saat malam hari, ditengah area persawahan yang telah selesai dipanen akan terlihat  banyak cahaya terang berkeliaran. Bukan cahaya kunang kunang atau hantu yang bergentayangan, tapi cahaya lampu petromaks milik para pencari belut.

Ya, ada tradisi mencari belut di malam hari setelah panen padi di desaku. Kami biasa menyebutnya nyuluh. Mencari belut dengan cara seperti ini sangatlah mudah. Cukup dengan bermodalkan lampu petromaks sebagai penerangan, ember atau semacamnya untuk wadah belut yang telah berhasil ditangkap, dan alat untuk menangkap si belut itu sendiri. Biasanya kami menggunakan tang, sabit, atau gergaji besi bekas.

Uniknya, mencari belut dengan cara nyuluh ini hanya bisa dilakukan saat malam hari. Karena hanya di saat malam harilah para belut ini akan keluar dari sarangnya untuk mencari makan. Nah, saat si belut ini sedang asyik mencari makan, menjadi kesempatan untuk para pencari belut menangkapnya, dijepit dengan menggunakan tang atau dibacok menggunakan gergaji besi bekas, lalu dimasukkan kedalam ember.

Populasi belut di area persawahan di desaku memang masih lumayan banyak. Jika bernasib baik, sekali nyuluh orang bisa mendapatkan empat sampai lima kilogram belut. Lumayan, bisa dijual ke pasar untuk menambah penghasilan, atau dimasak sendiri sebagai teman lauk makan. Rasa daging belut ini sangatlah enak. Aku sendiri sangat suka makan daging belut, jadi tak heran kalau aku juga sering melakukan kegiatan nyuluh ini.

Nah, bicara soal nyuluh, dulu pernah ada kejadian aneh yang berhubungan dengan kegiatan nyuluh ini, yang dialami oleh salah satu warga desa tetangga.

Sebut saja namanya Mas Parno. Beliau ini warga desa Ngantiyan, desa yang bersebelahan dengan desaku. Kejadiannya sendiri lagi lagi masih terjadi di area Tegal Salahan yang terkenal angker itu.

Mas Parno ini memang terkenal paling jago dalam hal mencari belut. Sekali nyuluh bisa dipastikan ember yang dibawanya akan penuh dengan belut. Dia seolah olah tahu dimana tempat tempat yang banyak belutnya. Dan dia selalu sendirian kalau pergi nyuluh, tidak seperti orang kebanyakan yang berombongan dua atau tiga orang gitu.

Seperti malam itu, Mas Parto berangkat nyuluh sendirian. Gerimis yang turun rintik rintik sejak sore tadi tak dihiraukannya. Malah bagus, pikirnya. Karena disaat cuaca gerimis begini biasanya akan lebih banyak lagi belut belut yang keluar dari sarangnya untuk mencari makan. Dan tentu saja tidak akan banyak saingan, karena tidak semua orang rela berhujan hujanan hanya untuk sekedar mendapatkan belut.

Namun sepertinya malam itu nasib Mas Parno sedang kurang bagus. Sudah hampir satu jam ia menyusuri setiap pematang sawah di sekitaran desanya, namun baru beberapa ekor belut yang didapatkannya. Itu juga belutnya kecil kecil.

Ah, mungkin di lokasi ini sudah terlalu sering disuluh orang, jadi belutnya sudah tak banyak lagi, begitu batin Mas Parno. Iapun memutuskan untuk pindah lokasi, dari sawah yang ada di desanya menyeberangi sungai ke arah barat dan berpindah ke persawahan yang ada di sebelah timur desaku.

Namun di sawah yang itupun, hasil yang didapat Mas Parno masih kurang memuaskan. Lagi lagi hanya beberapa ekor belut kecil kecil yang berhasil ia tangkap. Mas Parno tak mau menyerah. Pantang baginya kalau harus pulang tanpa ember yang penuh dengan belut.

Tiba tiba Mas Parno teringat dengan area peesawahan yang ada di Tegal Salahan. Disitu terkenal paling banyak belutnya, karena memang sawahnya dikenal paling subur, dan tak banyak yang berani nyuluh di tempat yang terkenal angker itu.

Dengan semangat empat lima Mas Parnopun terus melangkah, menyusuri pematang sawah menuju ke arah selatan, area Tegal Salahan. Dan benar saja, belum sampai setengah jam Mas Parno nyuluh disitu, ember yang dibawanya sudah hampir penuh.

Sedang asyik asyiknya Mas Parno memanen belut, tanpa sengaja matanya tertuju ke arah kali kecil yang berada tak jauh dari tempatnya nyuluh. Mas Parno tercekat. Di sana, di tengah tengah kali kecil itu, nampak seseorang sedang mandi. Seorang perempuan. Siapa perempuan yang berani mandi malam malam begini? Di tempat angker pula. Mana cuaca sedang gerimis kayak gini. Heran Mas Parno.

Namun rasa herannya segera berganti dengan rasa penasaran.
Entah setan mana yang merasuki hati Mas Parno. Melihat pemandangan yang mengasyikkan itu, maka timbulah niat buruknya. Betapa tidak, Mas Parno laki laki normal, disuguhi pemandangan perempuan mandi telanjang bulat di tengah cuaca dingin dan sepi begini, iman siapa yang tak akan goyah.

Pelan pelan Mas Parno meletakkan ember dan lampu petromaks yang dibawanya, lalu mengendap endap mendekati perempuan itu. Wah, rejeki nomplok nih, batin Mas Parno. Dari balik semak semak, Mas Parto bisa melihat dengan jelas sosok perempuan itu. Cantik, dengan rambut panjang dan kulit putih mulus serta body yang aduhai, benar benar membuat Mas Parno kehilangan akal sehatnya.

Ia tak ingat lagi bahwa saat itu ia berada di tempat yang angker. Ia tak ingat lagi dengan belut belut di sawah yang menunggunya untuk ditangkap. Ia tak ingat lagi dengan anak istrinya di rumah. Bahkan ia tak ingat lagi dengan Tuhan yang setiap hari ia sembah.

Entah bagaimana awalnya, Mas Parno dan perempuan itu telah berpindah lokasi ke balik semak semak yang ada di pinggir kali itu. Dan, terjadilah apa yang seharusnya tak boleh terjadi.

Gerimis yang sejak tadi melanda, reda dengan tiba tiba. Angin yang semula semilirpun seolah berhenti bertiup. Suasana semakin sunyi. Hanya terdengar suara kasrak kusruk dari balik semak semak, yang sesekali diiringi suara desahan dan erangan lirih. Sampai pada akhirnya ....

"WHUAAAAASSSSSSYYYYYUUUUUU ...!!!" teriakan Mas Parno memecah kesunyian malam, disusul dengan tubuhnya yang terlempar dari balik semak semak. Tanpa baju, tanpa celana, dan tanpa berpikir panjang lagi Mas Parno melompat dan berlari secepat kilat menuju ke arah desaku. Sementara dari balik semak semak terdengar suara tawa mengikik, disusul dengan munculnya sosok nenek nenek berwajah seram memamerkan payudara besarnya yang menggelantung sampai hampir menyentuh tanah.

Sambil berteriak teriak seperti orang kesetanan, Mas Parno terus berlari menaiki tanjakan jalan Salahan menuju ke desaku. Tanpa memperdulikan kakinya yang telanjang tanpa sendal, tanpa memperdulikan tubuhnya yang terbuka tanpa baju dan celana, bahkan tanpa memperdulikan lambang kelelakiannya yang bebas berayun ayun di bagian bawah tubuhnya, Mas Parno terus berlari.

Sampai pada akhirnya pelarian Mas Parno terhenti oleh beberapa bapak bapak yang sedang bertugas ronda di desaku. Awalnya sempat dikira orang gila, mengingat kondisi Mas Parno yang berlarian dengan keadaan telanjang bulat begitu. Namun saat salah seorang bapak bapak itu mengarahkan senternya ke arah wajah Mas Parno, barulah mereka mengenal siapa laki laki itu sebenarnya.

Akhirnya Mas Parno dibawa ke poskamling, diberi minum dan dipinjami sarung milik salah seorang peronda, lalu diantar pulang. Sambil berjalan tanpa malu malu Mas Parnopun menceritakan kejadian yang baru saja menimpanya, membuat bapak bapak yang mengantarnya tak bisa menahan tawa. Mentertawakan kesialan yang menimpa Mas Parno.

*****

Horor Story : Angkernya Tegal SalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang