Short Story Kedhung Jati 1 : Selasa Kliwon (Bag. 5)

517 48 6
                                    

Rabu pagi. Tepat jam tujuh, ijab qabul antara Mas Yatno dan Mbak Yatmipun akhirnya dilaksanakan. Sepasang anak manusia itu mengikat janji suci dihadapan jenazah sang ayah. Suasana yang mengharu biru mewarnai prosesi pernikahan sederhana ini. Hampir semua yang hadir tak kuasa untuk membendung air mata. Airmata bahagia atas pernikahan mereka, sekaligus airmata duka atas kepergian Mbah Madi.

Siangnya, jenazah Mbah Madi akhirnya diberangkatkan ke pemakaman. Kembali derai air mata mengiringi kepergian almarhum menuju ke tempat peristirahatan terakhirnya. Cuaca sedikit mendung, namun Alhamdulillah, sampai upacara pemakaman selesai hujan tak jua turun. Upacara pemakamanpun berjalan lancar nyaris tanpa kendala. Hanya ada sedikit kehebohan saat jenazah mulai diturunkan ke liang lahat. Kedatangan Mas Yatmo, anak sulung almarhum yang telah sekian lama memutus hubungan kekeluargaan dengan keluarga almarhum yang lain, tiba tiba datang. Semua yang hadir merasa lega. Si anak yang hilang, kini telah kembali ke pangkuan, meski dalam suasana yang kurang menyenangkan.

Sore menjelang. Sebagian besar warga yang hadir satu persatu mulai meninggalkan area pemakaman. Tinggal beberapa warga yang bertugas menyiapkan tenda yang tinggal, karena masih ada pekerjaan yang harus segera mereka selesaikan.

Suasana makam yang biasanya sunyi kini menjadi sedikit ramai oleh kehadiran orang orang itu. Apalagi ditambah dengan kedatangan beberapa warga Tarumas yang akan memasang batu nisan pesanan mereka kemarin itu.

"Masang tendanya disebelah mana Mbah?" Tanya Mas Toni kepada salah satu warga, sambil membersihkan batang bambu yang baru saja mereka tebang dari salah satu kebun milik warga.

"Dijalan saja Ton. Lebih enak. Tempatnya rata, dan kalau hujan aman dari genangan air. Toh jalan ini jarang banget dilewatin orang. Jadi nggak bakalan ngganggu juga" usul Teguh.

"Jangan," sela Mbah Mo. "Kata Pak Modin masang tendanya harus dekat sama makam almarhum."

"Berarti harus ditengah tengah pemakaman dong Mbah? Apa nggak ribet, banyak batu nisan begitu? Lagian tanahnya juga nggak rata. Kalau hujan pasti banyak air yang menggenang." Tanya Mas Yudi.

"Ya nggak papa lah ribet dikit. Kan kita bikin tenda buat jagain makam, bukan buat jagain jalan," jawab Mbah Mo asal.

"Ah, simbah ini. Dari jalan sini juga pasti kelihatan kok makamnya. Tinggal pasang lampu yang agak terang kan beres," kata Mas Teguh.

"Gini lho cah bagus," Mbah Mo menghentikan sejenak kesibukannya, lalu menatap ke arah Mas Teguh. "Tak bilangin ya. Kita jagain makam itu, bukan cuma sekedar dilihatin doang. Tapi juga harus benar benar dijaga dari segala macam makhluk yang berusaha untuk merusaknya," jelas Mbah Mo.

"Maksudnya gimana Mbah? Aku kok masih kurang paham," tanya Mas Teguh lagi.

"Ya intinya kita harus menjaga agar jangan sampai ada makhluk apapun yang mendekati makam Mbah Madi sampai tujuh hari kedepan. Makhluk apapun, itu berarti bukan hanya sebatas manusia saja. Tapi juga hewan, binatang, atau makhluk makhluk lainnya. Karena itulah, ini tenda harus didirikan sedekat mungkin dengan makam Mbah Madi, agar kalau ada sesuatu yang mendekat, entah itu tikus, kucing, kecoa, bahkan kutu atau tengu sekalipun, bisa gampang kita lihat dan segera kita usir," jelas Mbah Mo lagi.

"Wah, sampai segitunya ya Mbah, sampai hewan sekecil kutu sama tengu saja harus kita usir. Memangnya tengu bisa bongkar makam juga Mbah?" Tanya Mas Yudi dengan nada sedikit bercanda.

"Halah! Kalian ini lho, Kalau dibilangin orang tua kok pasti sukanya malah ngeledek. Sudah, ndak usah banyak nanya. Cepetan kerjanya, biar cepet selesai. Sudah sore lho ini!" Sadar bahwa dirinya dijadikan bahan ledakan, laki laki tua itu segera menghardik ketiga pemuda yang sudah seperti layaknya sahabat seumuran dengan dirinya itu.

Horor Story : Angkernya Tegal SalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang