Musim kemarau panjang, merupakan musim paceklik bagi para petani. Begitu juga dengan yang dirasakan oleh warga desa Kedhung Jati, yang sebagian besar warganya adalah petani.
Tak ada lagi yang bisa diharapkan di musim paceklik ini. Yang punya ternak mulai menjual ternaknya. Pohon pohon yang tumbuh di kebun atau diladangpun tak luput menjadi korban. Yang kira kira sudah besar dan laku untuk dijual, mulai ditebang dan dijadikan uang.
Yang masih punya simpanan beras atau gabah mulai mengiritnya. Nasi tiwul menjadi pilihan. Umbi umbian yang masih tersisa di ladang dan sekiranya bisa dimakanpun menjadi buruan.
Yang sama sekali tak memiliki simpanan, mau tak mau harus menjadi korban lintah darat. Surat tanah atau barang berharga lainnya dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman uang dari rentenir yang haus darah, dengan bunga yang sangat mencekik leher.
Kehidupan di desa yang semula adem ayem mulai terusik. Keributan keributan kecil dalam keluarga mulai sering terjadi. Kadang hanya karena masalah sepele bisa menyulut terjadinya perang baratayuda. Memang, kalau sudah menyangkut urusan perut, akal sehatpun kadang bisa menjadi hilang.
Seperti yang terjadi pada keluarga Kang Darso pagi itu. Yu Marni, istrinya, mengomel panjang pendek di dapur sambil sibuk di depan tungku. Hanya ada beberapa potong umbi singkong yang bisa direbusnya untuk menyambung hidup sehari ini. Entah besok mereka masih bisa makan atau tidak.
"Dadi wong lanang ki mbok yo sing sumbut! Ora isuk isuk mung ongkang ongkang karo udud klepas klepus koyo sepur kompeni! Mikir! Bayaran sekolah anak'e 'rung dibayar! Beras entek! Gaplek entek! Sembarang kalir entek! Opo kelakon mangan watu tenan sesuk nek sampeyan terus terusan koyo mengkono pak!" pedas dan menusuk kata kata Yu Marni, membuat Kang Darso terbatuk, tersesak asap rokok tingwenya.
"Yo sabar to bune, arep kepiye maneh. Jane usaha yo wes ora kurang. Lha ning piye, arep nenandur yo ra iso, wong larang banyu. Arep buruh yo buruh opo, wong sawah sawah yo podho garing. Ra enek wong mburuhne. Kamangka isaku yo mung buruh macul," kang Darso menjawab kalem. Ia tahu betul perangai sang istri. Jika emosi ditanggapi dengan emosi, wah, bisa jadi perang besar. Bisa bisa panci dan penggorengan akan berterbangan di rumahnya.
"Sabar! Sabar! Sabar ra kenek dipangan Pak! Mbok yo metu metu kono lho, golek opo to opo sing kenek nggo nyambung urip. Ora mung kluntrak kluntruk koyo gombal amoh ngono!"
"Iyo, mengko tak metu," Kang Darso menyecap sisa teh tanpa gula di cangkir kalengnya. "Opo anu bune, sesuk wedhuse kae dilongi wae. Sesuk rak Kliwon to? Sing loro gowo nyang pasar, dijolke duit. Rak kenek nggo mbayar sekolahe Supri, turahane kenek nggo nempur beras."
"Sak karepmu Pak! Wedhus wedhusmu kuwi, nek arep mbok dol yo dol'en."
"Yo wes, aku tak menyang tegal ndisik, sopo ngerti nyandhung rejeki neng ndalan," Kang Darso mengambil arit dan caping yang tersangkut di dinding.
"Ora sarapan sik Pak? Ki lho sedhelok maneh mateng."
"Rak! Mengko wae. Wes wareg wetengku ngrungokne suaramu sak kesuk njeput," Kang Darso ngeloyor pergi, meninggalkan sang istri yang masih menggerutu tak jelas.
Supri yang menyaksikan drama kedua orang tuanya itu hanya bisa mendesah. Ingin rasanya ia ikut membantu meringankan beban orang tuanya. Tapi apa yang bisa dilakukan oleh anak usia sebelas tahun seperti dirinya? Ia justru merasa hanya menjadi beban bagi bapak dan simboknya itu.
***
Siang hari, sepulang sekolah Supri pamit untuk menggembalakan kambing kambingnya. Sambil mau mencari kayu bakar katanya. Supri memang dikenal sebagai anak yang rajin. Tanpa harus diperintah ia sudah tau apa yang harus dikerjakan untuk membantu kedua orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Horor Story : Angkernya Tegal Salahan
HorrorKumpulan kisah horor dan misteri yang dialami oleh para narasumber di sebuah wilayah yang dipercaya sebagai sarangnya para dedhemit. Cerita ini sebelumnya sudah pernah saya tulis di platform Kaskus dengan judul yang sama. #1 basedontruestory