"Kenapa lagi kalian ini? Dan kenapa kamu sampai basah kuyup begitu?" Hardik Mbah Mo saat melihat Mas Toni dan Mas Teguh berlarian dari arah blumbang menuju ke tenda.
"Anu Mbah, aku kecemplung blumbang. Mau bersih bersih malah kepeleset ini tadi," jawab Mas Teguh tanpa rasa bersalah.
"Wes, ada ada saja kalian ini. Ya sudah, kamu pulang saja, ganti baju sana. Nanti malah masuk angin repot jadinya," gerutu Mbah Mo.
"Memangnya ndak papa Mbah kalau kami tinggal pulang?" Tanya Mas Toni.
"Lha memangnya kenapa? Aku kan ndak sepenakut kalian. Jaga sendirian juga ndak papa. Sudah, kalian pulang saja sana!" Jawab Mbah Mo.
Mas Teguhpun akhirnya pulang dengan diantar oleh Mas Toni. Otomatis kini tinggal tiga orang yang berjaga di makam itu. Mbah Mo, Lik Mukri, dan Mas Yudi. Ketiganya lalu melanjutkan obrolan mereka, membahas makhluk mirip genderuwo yang tadi dilihat oleh Mas Yudi cs.
"Sebenarnya tadi itu makhluk apa Mbah? Mbah bilang tadi bukan genderuwo?" Tanya Mas Yudi.
"Aku juga ndak tau namanya apa Yud, lha wong belum pernah kenalan," jawab Mbah Mo santai, sambil melinting tembakau.
"Lha terus kenapa Mbah bisa bilang kalau bukan genderuwo?" Tanya Lik Mukri sambil sibuk menuduh kopi.
"Aku kenal baunya. Makhluk itu dulu pernah bikin geger desa kita ini, sebelum akhirnya berhasil dijinakkan oleh orang pintar dari desa Ngantiyan sana, dan akhirnya dijadikan piaraan oleh orang itu," jawab Mbah Mo.
"Bikin geger gimana maksudnya Mbah? Dan siapa orang yang bisa menaklukkan makhluk itu?" Tanya Lik Mukri dan Mas Yudi, hampir bersamaan.
"Ya bikin geger. Gentayangan dan nakut nakutin warga. Konon katanya, makhluk itu piaraan seorang maling, yang sengaja dilepas buat nakuti nakutin warga, hingga warga tak berani keluar rumah dan si maling bebas melakukan aksinya."
"Wah, sampai segitunya ya Mbah, cuma mau maling saja kok sampai dibela belain bawa piaraan kayak gitu segala," ujar Mas Yudi.
"Jaman dulu itu jaman susah Yud. Jaman paceklik. Susah nyari makan. Bisa makan sehari sekali saja sudah beruntung. Makanya banyak maling berkeliaran karena sangking susahnya orang nyari makan. Mereka tak pandang bulu dalam melancarkan aksinya. Apa saja yang sekiranya bisa dijual atau dimakan, pasti mereka embat. Makanya jangan heran, kalau ada maling ketangkep dimasa itu, sudah pasti bakalan dijadikan perkedel sama warga yang kesal. Karena itu maling zaman dulu itu kebanyakan pada ngilmu, nyari pegangan atau prewangan sama orang orang pintar, biar aman saat sedang melancarkan aksinya," jelas Mbah Mo.
"Lalu, siapa orang pintar yang bisa menangkap dan menjinakkan makhluk itu Mbah?" Tanya Lik Mukri.
"Almarhum Mbah Ragil dari desa Ngantiyan sana," jawab Mbah Mo.
"Mbah Ragil? Mbah Ragil yang...." ucapan Lik Mukri tertahan oleh suara langkah kaki yang mendekat ke arah tenda. Ternyata Mas Yatmo yang datang. Anak sulung almarhum Mbah Madi itu memang sudah sejak kemarin selalu datang ke pemakaman untuk ikut menjaga makam bapaknya.
Entah apa yang membuat Mas Yatmo bisa berubah sedrastis itu. Dulu, semasa Mbah Madi masih hidup, ayah dan anak itu tak pernah akur, seperti anjing dengan kucing saja. Bahkan sudah semenjak lama mereka tak pernah saling tegur sapa ataupun saling mengunjungi. Padahal Mas Yatmo ini tinggalnya cuma di desa Ngantiyan, desa yang bersebelahan dengan desa Kedhung Jati. Tak terlalu jauh jaraknya, bisa ditempuh dengan berjalan kaki hanya dalam beberapa menit saja.
Dan sekarang, setelah bapaknya meninggal, justru Mas Yatmo jadi rajin ikut menjaga makam sang bapak. Mungkin ada sedikit rasa penyesalan di hati laki laki itu, atau karena sebab lain. Entahlah. Yang jelas, perubahan pada sikap Mas Yatmo ini sedikit menimbulkan rasa heran di hati warga, sekaligus perasaan lega, karena si anak yang selama ini dianggap durhaka itu telah menyadari kekeliruannya. Meski sedikit terlambat, tapi tak apa. Semoga arwah Mbah Madi di alam sana bisa melihat dan memaafkan kekeliruan sang anak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Horor Story : Angkernya Tegal Salahan
HorrorKumpulan kisah horor dan misteri yang dialami oleh para narasumber di sebuah wilayah yang dipercaya sebagai sarangnya para dedhemit. Cerita ini sebelumnya sudah pernah saya tulis di platform Kaskus dengan judul yang sama. #1 basedontruestory