Namanya Kang Tarno. Dia ini adalah tetanggaku. Pekerjaannya, selain sebagai petani juga nyambi berjualan bakso keliling. Kang Tarno memang dikenal sebagai sosok yang rajin dan ulet dalam bekerja.
Ia berjualan dari semenjak siang hingga larut malam, berkeliling dari satu desa ke desa yang lainnya. Berbeda dengan penjual bakso keliling yang kebanyakan menggunakan gerobak dorong, Kang Tarno ini berjualan dengan menggunakan rombong yang dipikul. Bukan tanpa sebab. Letak desaku yang berada di kaki perbukitan dengan jalanan yang rata rata masih berbatu dan juga naik turun, membuat sedikit kesulitan kalau harus berjualan bakso keliling dengan menggunakan gerobak.
Seperti biasanya, hari itu jam sepuluh pagi Kang Tarno sudah siap untuk berangkat berjualan. Sambil mengucap Basmallah, dipikulnya rombong bakso yang lumayan berat itu. Ia menyusuri setiap jalanan desa sambil sesekali memukul mukul mangkok baksonya dengan menggunakan sendok.
"Ting...ting...ting...!" demikian suara sendok beradu dengan mangkok yang sudah menjadi ciri khas dari bakso Kang Tarno. Bisa dipastikan saat suara itu terdengar, maka tak lama lagi pasti Kang Tarno bakalan lewat.
Selain terkenal enak, bakso Kang Tarno ini juga sangat murah. Satu mangkoknya hanya ia hargai seribu limaratus perak. Harga yang pantas untuk semangkok bakso yang sedap di masa itu. Tak heran kalau jualan beliau sangat laris.
Kami anak anak desa juga sangat menyukai bakso Kang Tarno. Untuk anak anak seperti kami, Kang Tarno tak pernah mematok harga. Berapapun kami membeli, selalu ia layani dengan ramah. Kadang cukup dengan uang seratus atau duaratus perak, kami sudah menikmati satu atau dua bola bakso yang ditusuk dengan lidi lalu diolesi kecap dan saos. Terasa sangat lezat dinikmati sambil berjalan pulang dari sekolah.
Namun hari itu sepertinya bukan hari keberuntungan bagi Kang Tarno. Berkeliling desa dari semenjak jam sepuluh pagi hingga jam dua siang, baru tiga mangkok bakso yang berhasil ia jual. Kang Tarno tak patah semangat. Ia memutuskan untuk melanjutkan jualannya ke desa sebelah.
Panas terik dan keringat yang bercucuran tak ia pedulikan. Sambil memikul rombong baksonya ia berjalan ke arah utara, menuju ke desa Tarumas. Alhamdulillah, di desa itu ia berhasil menjual lima mangkok bakso.
Sejenak Kang Tarno beristirahat di poskamling yang ada di sudut perempatan jalan. Sambil menikmati sebatang rokok tingwenya, sesekali Kang Tarno kembali memukul mukul mangkoknya dengan sendok, berusaha menarik perhatian para pembeli.
Habis rokok tingwe sebatang. Namun belum juga ada pembeli yang datang. Kang Tarnopun kembali memikul rombong baksonya, berjalan ke arah barat menyusuri jalan raya beraspal menuju ke arah barat, lalu saat sampai di sebuah perempatan berbelok ke selatan, menuju ke desa Patrolan.
Matahari telah hinggap di punggung bukit Asem di sebelah barat sana, saat Kang Tarno tiba di desa Patrolan. Beberapa mangkok bakso kembali berhasil ia jual. Saat adzan maghrib berkumandang, Kang Tarno singgah di sebuah warung kopi di pinggir jalan. Lima belas mangkok bakso telah berhasil ia jual, jadi Kang Tarno merasa pantas untuk sedikit memanjakan dirinya dengan secangkir kopi hitam kesukaannya.
Selepas Maghrib, Kang Tarno kembali melanjutkan jualannya. Kali ini ia menuju ke arah selatan, ke desa Mojoretno. Namun, di desa ini sangat sepi. Hanya beberapa mangkok bakso yang berhasil ia jual.
Kang Tarno tak patah semangat. Ia mengubah arah langkahnya ke arah timur. Desa Kedhungsono menjadi harapan terakhirnya. Biasanya saat malam hari banyak pemuda pemuda desa yang nongkrong di poskamling desa itu. Mereka adalah langganan tetap Kang Tarno.
Namun harapan tinggal harapan, tak sesuai dengan kenyataan. Sampai di desa itu keadaan juga tak kalah sepi. Tak ada seorangpun yang nongkrong di poskamling. Kang Tarno menurunkan rombong baksonya, lalu duduk di bangku kayu panjang yang ada di poskamling itu. Untuk mengusir rasa sepinya, Kang Tarno menyalakan radio kecil yang memang selalu ia bawa saat berjualan. Siaran wayang kulit menemani laki laki itu menikmati rokok tingwenya. Sesekali ia bersenandung, mengikuti alunan suara sinden yang menembangkan gendhing gendhing jawa dari radio kecilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Horor Story : Angkernya Tegal Salahan
HorrorKumpulan kisah horor dan misteri yang dialami oleh para narasumber di sebuah wilayah yang dipercaya sebagai sarangnya para dedhemit. Cerita ini sebelumnya sudah pernah saya tulis di platform Kaskus dengan judul yang sama. #1 basedontruestory