Mbah Madi meninggal dunia. Warga desa Kedhung Jati pun dibuat gempar karenanya.
Tak ada yang aneh sebenarnya dengan meninggalnya Mbah Madi ini, karena selain beliau memang sudah tua, juga sudah lama sakit sakitan. Namun, ia meninggal tepat di hari Selasa Kliwon, itu yang membuat warga jadi gempar.
Di desa Kedhung Jati dan sekitarnya, ada kepercayaan bahwasanya orang yang meninggal tepat pada hari Selasa Kliwon, makamnya harus dijaga selama tujuh hari tujuh malam.
Bukan tanpa sebab sampai ada kepercayaan seperti itu. Menurut mitos, bagian bagian tertentu dari jenazah orang yang meninggal pada hari Selasa Kliwon, (tali pocong atau kain kafannya gitu kalau nggak salah), bisa dijadikan semacam jimat atau apa lah gitu, penulis sendiri kurang paham. Karena itulah maka setiap ada orang yang meninggal pada hari Selasa Kliwon, makamnya harus dijaga, agar terhindar dari tangan tangan usil orang orang tak bertanggung jawab atau yang lebih dikenal dengan maling kuburan.
Soal benar atau tidaknya mitos itu, penulis sendiri tidak tau pasti. Namun memang pernah beberapa kali terjadi kasus pembongkaran makam secara paksa oleh orang orang tak bertanggung jawab di desa tempat penulis tinggal ini. Karena itulah tradisi menjaga makam pada orang yang meninggal pada hari Selasa Kliwon ini masih berlangsung sampai sekarang. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, hal itu sudah menjadi semacam kewajiban bagi seluruh warga desa.
Kembali ke kisah Mbah Madi. Beliau meninggal sekitar jam sebelas siang. Kentongan tanda ada orang yang meninggalpun segera ditabuh oleh Pak Bayan. Semua wargapun segera berduyun duyun datang ke rumah almarhum. Semangat kegotongroyongan memang masih sangat kental di desa itu. Setiap ada warga yang sedang kesusahan atau butuh batuan, maka tanpa dimintapun warga yang lain akan segera datang untuk membantu.
Pak Modin yang tugasnya memang mengurus setiap ada warga yang meninggal atau warga yang mau menikah segera berdiskusi dengan pak RT, pak Bayan, dan salah satu perwakilan dari pihak keluarga almarhum. Sementara warga yang lain mulai sibuk membantu mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mengurus jenazah.
"Mau langsung dimakamkan atau diinapkan dulu Pak?" Pak Modin membuka percakapan.
"Anu Pak, sepertinya mau diinapkan dulu. Selain sudah sore juga menunggu anak anaknya yang tinggal di kota," jawab Lik Darpo, salah seorang kerabat yang mewakili pihak keluarga almarhum.
"Lalu rencananya mau dimakamkan dimana Lik?" tanya Pak Modin lagi.
"Di pemakaman desa Pak, bersebelahan dengan makam kedua orang tua almarhum," jawab Lik Darpo lagi. "Tapi sebelumnya, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan sebagai perwakilan dari keluarga Almarhum."
"Oh, iya Lik, sampaikan saja semuanya, kalau memang ada wasiat atau pesan pesan dari keluarga almarhum, biar semuanya terang dan jelas," Pak Bayan ikut menimpali.
"Emmm, jadi begini bapak bapak semuanya. Yang pertama, soal almarhum yang meninggal tepat di hari Selasa Kliwon ini. Bapak bapak semua pasti sudah tau kan adat di desa ini tentang orang yang meninggal di hari Selasa Kliwon?" kata Lik Darpo dengan sedikit ragu.
"Oh, kalau soal itu, tenang saja Lik. Semua sudah saya pikirkan. Bukan begitu Pak RT?" Pak Bayan menoleh ke arah Pak RT.
"Iya Pak. Soal itu biar saya yang mengurusnya. Nanti biar saya yang mengatur jadwal jaga untuk para warga. Cuma yang menjadi masalah, berhubung sekarang sedang musim hujan, jadi mungkin kita butuh terpal atau tenda untuk bernaung orang orang yang berjaga di makam nanti," jelas Pak RT.
"Bagus. Jadi masalah ini kita anggap sudah teratasi. Soal tenda, nanti bisa pakai tenda milik Karang Taruna. Bisa kan Yud?" Pak Bayan menoleh ke arah Mas Yudi, ketua Karang Taruna desa Kedhung Jati yang juga ikut berdiskusi.
"Beres Pak, soal tenda serahkan saja sama saya. Nanti biar saya kerahkan anak anak untuk menyiapkannya. Kalau perlu biar sekalian dipasang nanti," jawab Mas Yudi.
"Nah! Yang begini saya suka. Anak muda memang harus selalu siap dan tanggap kalau ada masalah," puji Pak Bayan.
"Lalu yang kedua Pak," Lik Darpo melanjutkan. "Ini soal si Yatmi, anak bungsu almarhum yang sudah berencana untuk menikah dengan si Yanto itu. Berhubung semua rencana dan persiapan sudah matang, kalau bisa pihak keluarga minta agar ijab qabul segera saja dilaksanakan sebelum jenazah dimakamkan. Kalau bisa hari ini juga, di hadapan jenazah almarhum."
"Ah, soal itu ya," Pak Modin menghela nafas. "Saya paham. Dan kebetulan juga beberapa hari yang lalu Yanto dan Yatmi memang sudah menemui saya, bermaksud untuk mengurus segala sesuatu yang diperlukan untuk pernikahan mereka. Dan kebetulan juga, semua berkas berkas yang diperlukan juga sudah saya siapkan. Jadi, mungkin permintaan dari keluarga almarhum ini bisa saja kita laksanakan nanti setelah jenazah selesai dimandikan dan disholatkan. Tentunya juga setelah ada persetujuan dari pihak keluarga Yanto."
"Syukurlah kalau begitu Pak," kata Lik Darpo lega. "Dan satu lagi Pak. Soal si Yatmo, anak sulung almarhum itu. Di saat seperti ini, sikap anak itu sepertinya masih juga ndak berubah."
Suasana hening sejenak. Semua tahu siapa yang dimaksud oleh Lik Darpo tersebut. Yatmo, anak sulung almarhum yang tinggal di desa lain itu, memang sudah lama hubungannya dengan keluarga ini agak kurang baik. Entah karena apa, yang jelas, meski cuma tinggal di desa sebelah, namun sudah cukup lama antara anak dan orang tua itu tak saling mengunjungi.
"Kalau soal itu, kami mungkin tak bisa banyak membantu Lik, karena soal itu sudah termasuk urusan pribadi keluarga. Kita doakan saja, semoga Yatmo bisa sedikit terbuka pintu hatinya, dan berkenan untuk menemui sang bapak untuk terakhir kalinya," ujar Pak Bayan akhirnya, dengan suara pelan.
"Ya sudah kalau begitu. Untuk mempersingkat waktu, saya akan segera mulai memandikan jenazah dan mengkafaninya. Pak Bayan, tolong siapkan segala sesuatunya untuk ijab qabul Yanto dan Yatmi nanti. Sementara Pak RT, tolong bagi tugas untuk warga, siapa siapa saja yang harus menggali liang lahat, menyiapkan tenda, dan lain sebagainya. Kamu Yudi, kerahkan anak anak Karang Taruna untuk membantu Pak RT." Pak Modin membagi tugas, dan rapat sederhana itupun bubar. Semua sibuk dengan tugas masing masing.
Sepertinya, hari itu akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan bagi warga desa Kedhung Jati. Juga untuk tujuh hari kedepan, karena mereka harus menjaga makam selama sepekan penuh.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Horor Story : Angkernya Tegal Salahan
HorrorKumpulan kisah horor dan misteri yang dialami oleh para narasumber di sebuah wilayah yang dipercaya sebagai sarangnya para dedhemit. Cerita ini sebelumnya sudah pernah saya tulis di platform Kaskus dengan judul yang sama. #1 basedontruestory