Part 11 : Ronda Malam Dan Macan Nggendhong Mayit

903 83 0
                                    

Lagi musim maling katanya. Di desa Patrolan ada seorang warga yang kehilangan dua ekor kambing sekaligus. Di desa Kedhungsono, dua orang kehilangan ayam  dan seorang lagi kehilangan sekarung gabah. Di Desa Ngantiyan, seorang warga kehilangan radio transistornya.

Di desa Kedhung Jati sendiri memang belum pernah ada kejadian. Namun warga tak mau kecolongan. Kegiatan ronda malam mulai digiatkan kembali. Semua warga mendapat jatah giliran ronda.

Malam itu, yang mendapat jatah ronda adalah Mbah Mo, Mbah Kromo, Lik Dikin  Kang Bejo, Lik Sukri, dan Kang Marno.

Jam delapan malam, keenam orang itu sudah berkumpul di poskamling yang berada di tengah tengah desa. Sambil menikmati kopi panas dan singkong bakar yang baru diangkat dari perapian, mereka asyik ngobrol ngalor ngidul.

"Eh, Mbah, orang Kedhungsono yang kemarin meninggal itu katanya meninggalnya ndak wajar ya?" Lik Dikin membuka obrolan sambil meniup niup sepotong singkong bakar yang masih mengepulkan asap di tangannya.

"Hush, kamu kalau ngomong jangan sembarangan Kin, orang meninggal kok ndak wajar itu gimana. Meninggal ya meninggal, mati, habis jatah hidupnya di dunia ini," jawab Mbah Kromo.

"Tapi bener lho Mbah," Kang Bejo yang sedang asyik membolak balik singkong di atas perapian ikut nimbrung. "Katanya orang itu meninggal karena dijadikan tumbal pesugihan oleh juragannya."

"Bener itu," timpal Kang Marno. "Orang ndak sakit ndak apa kok, tiba tiba mati gitu aja. Pulang kerja sampai rumah tidur tiduran, lha kok bablas ndak bangun bangun lagi."

"Halah, omongan orang ndak jelas kok dipercaya!" Mbah Mo menukas sambil melinting tembakau. "Kamu punya bukti po, kalau orang itu matinya dijadikan tumbal?"

"Tetangganya sendiri yang cerita Mbah," kata Lik Sukri. "Katanya beberapa hari sebelum orang itu meninggal, sama juragannya sempet dikasih uang banyak banget gitu. Sama dibeliin baju yang bagus bagus juga."

"Lha terus hubungannya apa? Kan malah bagus to, orang sudah baik hati ngasih duit dan pakaian bagus, lha kok malah dituduh yang macem macem," Mbah Kromo asyik memutar mutar tombol radio transistornya, mencari siaran wayang kulit.

"Katanya nih ya, juragannya itu memang miara pesugihan Mbah. Makanya bisnis jual beli gabahnya bisa maju pesat gitu. Nah, tiap tahun, juragannya itu harus ngasih tumbal buat pesugihannya itu. Orang yang sudah diincar, biasanya akan di baik baikin. Dikasih uang banyak atau barang barang bagus dan mahal gitu Mbah," Lik Dikin menjelaskan panjang lebar.

"Iya. Kemaren juga aku melihat iring iringan orang yang mengantar jenazahnya ke kuburan," Kang Bejo melemparkan singkong bakar yang telah matang ke dalam poskamling, yang segera disambut oleh Lik Dikin. "Orang yang menggotong peti matinya kayaknya sangat keberatan gitu. Terus ada juga yang bilang kalau rombongan itu diikuti macan loreng. Macannya gedhe banget, segedhe kebo katanya. Tapi ndak semua orang bisa lihat macan itu."

"Kalian ini lho, orang sudah mati kok digosipin. Nanti orangnya bangun dan ndatengin kalian, baru tau rasa," Mbah Mo menyulut rokok tingwenya, lalu menghisapnya dalam dalam.

"Ah, simbah ini, kok malah nakut nakutin lho. Mana ada orang sudah mati kok bisa bangun lagi," Lik Sukri merapatkan kain sarung yang dipakainya.

"Aku malah kasihan sama anak anak dan istrinya. Anak anaknya masih kecil kecil. Istrinya juga masih muda, cantik lagi," ujar Kang Bejo.

"Iya, istrinya cantik banget lho. Sayang aku sudah punya istri. Coba kalau belum," kata Lik Dikin.

"Kalau belum kenapa memangnya?" goda Lik Sukri.

"Hehehe, bisa lah tak rumat janda baru itu," Kang Bejo terkekeh.

"Edan kamu! Kalau aku nggak bakalan mau. Biar cantik juga, anaknya sekandang gitu. Bisa bangkrut aku."

Horor Story : Angkernya Tegal SalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang