Part 21 : Bayi Sundel Bolong

772 66 3
                                    

Jam sembilan malam. Belum terlalu larut memang. Tapi suasana desa Kedhung Jati sudah mulai sepi. Sudah menjadi kebiasaan bagi para warganya, begitu matahari terbenam di ufuk barat, mereka lebih memilih untuk beristirahat di rumah masing masing setelah lelah seharian bekerja di sawah atau di ladang mereka.

Demikian juga halnya dengan Kang Bejo. Laki laki itu nampak duduk santai bersandar di kursi rotan ruang tamu rumahnya. Alunan gendhing gendhing jawa yang mengalun dari radio transistor di hadapannya, menemaninya menikmati kopi hitam kental dan tokok tingwe kesukaannya. Sedangkan Yu Darmi istrinya, masih nampak sibuk melipat baju baju yang tadi siang dicucinya.

"Sudah jam sembilan, kok acara wayang kulitnya belum dimulai ya? Apa penyiar radionya ketiduran?" gumam Kang Bejo sambil memutar mutar tombol tunning di radio transistor kesayangannya.

"Sampeyan itu lho Pak, kok radioooo saja yang diurusi! Apa ndak bosen setiap malam dengerin wayang kulit terus! Mbok ya sekali kali gantian istrinya ini yang diperhatiin!" gerutu Yu Darmi sambil memasukkan baju baju yang telah selesai ia lipat ke dalam lemari.

"Soal ngurusi istri itu kan gampang. Lagipula masih sore begini, anakmu juga belum tidur," sahut Kang Bejo sambil tangannya sibuk melinting tembakau.

"Halah, sampeyan ini memang paling bisa ngelesnya," Yu Darmi menghampiri sang suami dan duduk di sebelahnya. "Mau nambah lagi kopinya?"

"Ndak usah Bune, lha ini saja masih banyak kok," Kang Bejo menyeruput sedikit kopinya, lalu meletakkan kembali cangkirnya ke atas meja. "Kalau masih ada tolong ambilkan saja singkong goreng yang kamu bikin tadi sore itu."

"Oalah pakne pakne, lha wong singkong goreng sudah sampeyan habiskan gitu lho, kok masih dicariin," kata Yu Darmi.

"Hehehe, iya to? Lupa aku. Tak kirain masih ada," Kang Bejo terkekeh, lalu menyulut rokok lintingannya. Asap tembakau segera mengepul memenuhi ruangan itu.

"Makanya, rokoknya itu dikurangi. Masih muda kok sudah pelupa gitu. Jangan jangan nanti juga lupa kalau sudah punya istri," gerutu Yu Darmi.

"Ya endaklah, kalau sama istri ya ndak bakalan lupa, masa sama istri cantik gini bisa lupa," goda Kang Bejo sambil mencubit hidung sang istri, membuat wajah perempuan itu merona merah.

"Gombal!" seru Yu Darmi sambil menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami. Kang Bejo hanya tersenyum, sambil membelai lembut rambut sang istri. Sejenak suasana menjadi hening. Hanya suara alunan gendhing gendhing jawa yang mengalun lirih dari radio transistor tua di atas meja.

"Eh, kang, sampeyan denger ndak?" tiba tiba Yu Darmi kembali menegakkan kepalanya.

"Denger apa to?" Kang Bejo ikut menajamkan indera pendengarannya.

"Kecilkan dulu suara radio sampeyan itu," seru Yu Darmi. Kang Bejopun menurut. Ia memutar tombol volume di radio tuanya.

"Tuh, denger ndak? Kayak suara bayi lagi nangis," kata Yu Darmi lagi.

"Halah, paling juga anaknya Sardi tuh yang lagi rewel. Biasa kan, kalau malem suka nangis minta netek," gerutu Kang Bejo yang merasa keasyikannya terganggu, lalu kembali mengeraskan volume radionya.

"Dengar dulu pakne," Yu Darmi gantian memutar rombol volume di radio. "Tuh, lain gitu kok suara tangisnya. Bukan bayinya Sardi sepertinya. Kalaupun itu bayinya Sardi, itu bukan suara tangis minta netek Pak. Mbok coba sampeyan lihat dulu. Jangan jangan bayinya Sardi itu sakit atau bagaimana gitu."

"Iya iya," Kang Bejopun segera beranjak bangun, lalu keluar rumah setelah terlebih dahulu membetulkan lipatan kain sarungnya. Tak lupa ia membawa lampu senter untuk penerangan. Pelan Kang Bejo melangkah menuju ke rumah Kang Sardi yang letaknya bersebelahan dengan rumahnya itu.

Horor Story : Angkernya Tegal SalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang