"Mbah, ndongeng dong Mbah," celetuk salah seorang anak yang malam itu ikut nongkrong di poskamling. Kebetulan malam itu malam minggu, jadi anak anak bisa sedikit bebas keluyuran setelah selesai sholat isya' di mushalla.
"Ndongeng apa to Le, lha wong mau ronda kok malah disuruh ndongeng lho," sahut Mbah Mo yang kebetulan malam itu dapat jatah ronda malam.
"Ndongeng cerita setan saja Mbah, biar seru," seru anak yang lain.
"Halah, kamu ini lho, kecil kecil kok senengnya cerita setan. Ndak takut apa kalau malam malam gini denger cerita setan?" tanya Mbah Mo.
"Ndak papa Mbah, kan cuma cerita, bukan setan beneran."
"Iya Mbah, nanti tak bikinin jagung bakar deh kalau simbah mau cerita. Nih, saya bawa jagung banyak Mbah," rayu anak yang lainnya lagi sambil menunjukkan beberapa buah jagung muda dalam bungkusan kain sarungnya.
"Wah, dapat darimana kamu jagung ini? Jangan jangan dapat dari nyolong ya?" ledek Mbah Mo sambil terkekeh. Orang tua itu memang dikenal sangat dekat dengan anak anak. Hampir semua anak anak di desa Kedhung Jati ini sudah dianggap sebagai cucunya sendiri.
"Ya ndak lah Mbah, ini tadi saya metik di kebun bapak kok," jawab anak itu.
"Baguslah kalau begitu. Jangan suka nyolong ya, nanti bisa dikejar kejar thethek'an lho."
"Thethek'an itu apa Mbah? Hantu ya?"
"Iya, thethek'an itu hantu yang suka ngejar ngejar anak yang suka nyolong," tanpa sengaja Mbah Mo mulai terpancing untuk bercerita.
"Hantu thethek'an itu seperti apa Mbah?"
"Hantu thethek'an itu wujudnya seperti rangka tulang belulang manusia, terus kalau jalan bunyi 'klotak klotek, klotak klotek,' gitu, karena tulang tulangnya yang saling beradu. Karena kalau jalan bunyi begitu makanya diberi nama thethek'an."
"Simbah pernah ketemu sama hantu thethek'an?"
"Pernah dulu, waktu masih kecil."
"Gimana ceritanya Mbah?"
"Kalian mau dengar ceritanya?"
"Mau mau mau Mbah!"
"Nah, kalian bikin api unggun dulu. Nanti Mbah ceritain sambil bakar jagung."
"Yaaaaaaahhhhh ...!!!" seru anak anak hampir serempak. Namun tak urung mereka mulai sibuk mengumpulkan ranting ranting kering untuk membuat api unggun. Sebagian lagi sibuk menyeduh kopi untuk Mbah Mo.
"Jadi begini ceritanya," Mbah Mo mulai bercerita sambil duduk di depan api unggun. Anak anakpun serempak ikut duduk mengelilingi api unggun itu.
Saat itu Mbah Mo masih kecil. Ia biasa menggembala kambing bersama teman temannya di jalan Tegal Salahan. Kebetulan saat itu lagi musim mangga. Dan kebetulan juga di salah satu ladang milik warga ditanami banyak pohon mangga. Sebut saja ladang itu milik Pakdhe Diman.
Pakdhe Diman ini terkenal sebagai orang yang sangat pelit. Meski pohon mangganya banyak dan berbuah lebat, namun saat anak anak gembala ini meminta buah mangganya barang sebiji atau dua biji saja tak pernah dikasih. Bahkan ia sering marah marah dan mengusir anak anak gembala itu kalau mendekati ladangnya. Mungkin dikiranya mau mencuri buah mangga miliknya.
Karena sifatnya yang pelit dan galak kepada anak anak itulah yang membuat anak anak gembala ini sangat membenci Pakdhe Diman. Mereka merasa sakit hati karena sering dimarahi dan dituduh mau mencuri mangga. Hingga suatu malam Mbah Mo dan teman temannya berencana untuk benar benar mencuri buah mangga milik Pakdhe Diman ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Horor Story : Angkernya Tegal Salahan
HorrorKumpulan kisah horor dan misteri yang dialami oleh para narasumber di sebuah wilayah yang dipercaya sebagai sarangnya para dedhemit. Cerita ini sebelumnya sudah pernah saya tulis di platform Kaskus dengan judul yang sama. #1 basedontruestory