Short Story Kedhung Jati 1 : Selasa Kliwon (Bag. 7)

449 51 4
                                    

"Gawat! Itu kan..., monyet!" Bisik Mas Toni.

"Bukan! Monyet ndak mungkin sebesar itu. Itu pasti gorila!" Bantah Mas Yudi.

"Ngawur! Gorila juga ndak mungkin sampai sebesar itu. Itu pasti king kong," Mas Teguh yang sudah merosot turun dari atas pohon juga ikut berbisik.

"King kong gundulmu itu! Disini mana ada King kong," Mas Yudi menoyor kepala Mas Teguh.

"Matikan senternya! Kita dekati makhluk itu diam diam! Sepertinya dia punya niat ndak baik! Ingat pesan Pak Modin, ndak ada yang boleh mendekati makam Mbah Madi meski itu hanya seekor binatang!" Kata Mas Toni tegas.

"Ngawur kamu! Nyari penyakit itu namanya! Aku ndak mau ah! Iya kalau itu monyet beneran, kalau monyet jadi jadian gimana?" Bantah Mas Teguh.

"Dasar penakut! Tugas kita disini kan memang menjaga makam Mbah Madi! Masa ada begituan kita mau diam saja? Kalau sampai ada apa apa nanti, kita juga yang disalahin," ujar Mas Toni.

"Kasih tau Mbah Mo saja! Kita kembali ke tenda dulu," usul Mas Yudi.

"Keburu kabur nanti makhluk itu."

"Terus gimana dong?"

"Kita dekati dulu aja diam diam. Kalau ternyata monyet beneran, kita ringkus saja, terus kita sate. Lumayan kan bisa buat makan malam."

"Kalau monyet jadi jadian gimana?"

"Ya kita kabur. Lapor sama Mbah Mo."

"Halah! Ujung ujungnya kabur juga!"

Perdebatan tanpa ujung itu tak membuahkan hasil. Namun toh akhirnya ketiga pemuda itu mengendap endap juga, mendekati makhluk hitam besar yang nampak duduk diam di belakang tenda itu.

Semakin dekat, semakin jelas sosok yang terlihat sangat mencurigakan itu. Memang seperti monyet. Hitam dan berbulu lebat. Namun ukurannya sangat besar luar biasa. Sangking besarnya, dalam posisi duduk saja bagian kepalanya hampir sama tinggi dengan atap tenda tempat mereka berjaga. Sayangnya, mereka belum bisa melihat seperti apa wajah sosok itu, karena mereka mendekatinya dari arah belakang. Hingga saat jarak mereka dari makhluk itu tinggal beberapa langkah lagi, tiba tiba...

"Krraakkk...!!!"

Entah siapa yang tanpa sengaja telah menginjak ranting kering. Ranting yang terinjak sampai patah itupun menimbulkan suara yang terdengar cukup jelas ditengah suasana malam yang begitu sunyi itu.

"Goblok! Kan sudah kubilang jangan berisik," Mas Yudi berbisik kesal.

"Ya maaf. Ndak sengaja aku," Mas Teguh nyengir.

"Ssssttttt...!!! Diam! Sepertinya makhluk itu mendengarnya."

Benar apa kata Mas Toni. Makhluk hitam tinggi besar itu perlahan menoleh ke arah mereka. Sontak ketiga pemuda itupun kaget bukan kepalang saat melihat wajah makhluk itu ternyata sama sekali tak ada mirip mirip ya dengan wajah monyet.

Wajah bengis dipenuhi bulu lebat, dengan mata melotot lebar selebar pantat baskom yang menyala kemerahan, hidung pesek melebar sebesar buah pepaya bangkok, serta mulut yang juga tak kalah lebar dihiasi sepasang taring yang berkilat tajam seukuran buah pisang ambon.

"As*! Genderuwo cuk! Kabur! Kabur!" Seru Mas Toni sambil lari tunggang langgang ke arah tenda, meninggalkan Mas Yudi dan Mas Teguh yang masih berdiri terpaku di tempatnya.

"Woy! Lari! Malah pada bengong! Mau kalian dikunyah sama genderuwo?!" Teriakan Mas Toni akhirnya sukses membuat Mas Yudi dan Mas Teguh tersadar. Kedua pemuda itupun bergegas lari menyusul Mas Toni. Sementara Mbah Mo dan Lik Mukri yang mendengar keributan itu segera keluar dari dalam tenda.

"Heh! Ada apa to? Kok pada teriak teriak kayak anak kecil gitu?" Hardik Mbah Mo sedikit kesal.

"Anu Mbah, ada gudel..., eh, gadul..., eh, bukan. Anu, grandong...., Halah! Genderuwo maksudku!" Jawab Mas Toni terbata.

"Hah?! Genderuwo? Dimana?" Tanya Lik Mukri sambil menyorotkan senternya ke segala arah.

"Itu, di sit..., eh, lho, kok ndak ada? Tadi disitu Lik, tepat dibelakang tenda," jawab Mas Yudi keheranan. Sosok yang tadi mereka lihat ternyata telah raib entah kemana.

"Halah! Kalian ini lho! Bikin ribut saja! Orang ndak ada apa apa gitu kok. Kalian salah lihat kali," ujar Lik Mukri.

"Beneran Lik! Sumpah dicium Marni kalau aku sampai bohong. Tadi itu...."

"Sebentar," Mbah Mo menyela ucapan Mas Teguh yang sampai membawa bawa nama Marni si kembang desa untuk meyakinkan Lik Mukri itu. Laki laki tua itu lalu melangkah kebelakang tenda, berjongkok sambil meraba raba permukaan tanah, lalu mencabut beberpa helai rumput dan mengendus endus helai rumput itu beberapa kali.

"Ngapain to Mbah? Kok malah jadi kayak kambing gitu, rumput dicium cium?" Tanya Mas Yudi.

"Wedhus! Orang tua kok disamakan sama kambing!" Sungut Mbah Mo. "Tadi memang ada sesuatu disini. Tapi bukan genderuwo. Aku tau betul seperti apa bau genderuwo itu."

"Memang bau genderuwo itu seperti apa Mbah?" Tanya Mas Teguh penasaran.

"Baunya ya sama seperti kamu itu. Prengus!" Mbah Mo terkekeh, sementara Mas Teguh yang jadi bahan ledekan hanya mencabik kesal.

"Lalu rumput yang Mbah cium itu, baunya seperti apa Mbah?" Tanya Mas Yudi.

"Ini baunya seperti...., eh, Sebentar," Mbah Mo kembali mengendus helai rumput di tangannya, lalu menatap ke arah ketiga pemuda di depannya satu persatu.

"Jangan bilang kalau salah satu diantara kalian ada yang mengompol Ya?" Mbah Mo mengarahkan senternya ke arah ketiga pemuda itu, lalu sorot senter itu berhenti tepat di bagian depan celana Mas Teguh.

"Eh, anu Mbah...., emmmm..., aku...," tergagap Mas Teguh saat semua mata kini tertuju ke arahnya.

"Oalah Teguh! Teguh! Nggilani! Wis gerang kok ngompolan!" (Menjijikkan! Sudah tua bangka kok masih suka ngompol) Seru mereka serempak sambil tertawa terbahak bahak. Memerah wajah Mas Teguh karena tak sanggup menahan rasa malu.

"Ya sudah. Buka saja celanamu, terus pakai nih sarungku. Tapi bersihkan dulu badanmu itu di blumbang sana! Biar sarungku ndak ikutan bau pesing" tak tega melihat Mas Teguh yang jadi bahan olok olokan, akhirnya Mbah Mo melepas sarungnya dan menyerahkannya kepada Mas Teguh.

"Temani ya, takut aku kalau ke blumbang sendirian," pinta Mas Teguh.

"Ya sudah, ayo aku temani," akhirnya, dengan ditemani oleh Mas Toni, Mas Teguhpun bergegas menuju ke arah blumbang  yang ada di dekat pohon jambu air tempat mereka melihat sosok makhluk yang dikira genderuwo tadi. Sementara Mbah Mo, Lik Mukri, serta Mas Yudi kembali masuk ke dalam tenda.

"Ini serius! Aku merasa memang ada sesuatu di tempat itu tadi, tapi bukan genderuwo seperti yang kalian kira," kata Mbah Mo setelah mereka duduk di dalam tenda.

"Kalau bukan genderuwo lalu apa Mbah? Aku jelas sekali bisa melihat wajahnya. Hitam penuh bulu, matanya merah melotot, dan punya sepasang taring yang sangat besar. Kalau bukan genderuwo lalu apa namanya?" Tanya Mas Yudi.

"Entahlah! Aku juga ndak tau apa namanya. Yang aku tau, itu makhluk suruhan seseorang, semacam prewangan atau piaraan gitu, yang sengaja disuruh untuk menakut nakuti kita yang jaga disini," jelas Mbah Mo.

"Wah, makin ndak beres kalau begini. Berarti benar sudah ada yang mengincar makam ini ya Mbah?" Tanya Lik Mukri.

"Bisa jadi," jawab Mbah Mo. "Besok, bilang sama Pak Modin, minta agar jumlah orang yang jaga ditambah lagi. Kita ndak boleh lengah kalau sudah seperti ini."

"Simbah saja yang bilang besok. Kan simbah yang rumahnya dekat sama rumah Pak Modin. Sama sekalian..."

"HUWAAAAAA...!!!" Belum selesai Lik Mukri bicara, tiba tiba mereka kembali dikejutkan oleh suara teriakan dari arah blumbang.

"Wedhus! Kenapa lagi anak anak itu!"

Bersambung

Horor Story : Angkernya Tegal SalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang