Malam itu Kang Darso dan Kang Bejob baru saja pulang dari desa Kedhungsono. Mereka baru saja menghadiri acara melek'an di rumah salah satu warga yang istrinya baru saja melahirkan.
Di kampungku, dan daeeah daerah sekitarnya juga, ada tradisi melek'an yang dilakukan setiap ada warga yang melahirkan. Selama lima malam berturut turut warga akan berkumpul di rumah orang yang habis melahirkan, dan menemani tuan rumah begadang sampai pagi.
Jadi tak heran kalau setiap ada orang yang melahirkan, rumahnya akan selalu terlihat ramai di setiap malam. Kehidupan masyarakat desa memang masih kental dengan sikap kegotongroyongannya. Namun sayangnya, tradisi melek'an ini kadang dimanfaatkan untuk ajang perjudian oleh warga yang doyan judi. Dengan dalih untuk menahan rasa kantuk, mereka iseng iseng bermain judi kartu, dengan menggunakan taruhan uang tentunya.
Hal itu sudah menjadi kebiasaan. Saat itu perjudian memang belum sepenuhnya dilarang seperti sekarang. Sebagian uang taruhan dari perjudian itu akan disishkan untuk si tuan rumah. Jadi secara tidak langsung si tuan rumah juga mendapatkan keuntungan, meski harus menyediakan berbagai macam hidangan makanan dan minuman untuk para warga yang hadir di rumahnya.
Yang namanya perjudian, sudah pasti akan ada yang kalah dan yang menang. Bagi yang bernasib baik, mereka bisa pulang dengan kantong penuh uang. Sedangkan yang kalah, terpaksa harus menyudahi permainan dan pulang dengan kantong kosong, ditambah dengan omelan dari sang istri saat sampai di rumah.
Seperti Kang Darso dan Kang Bejo yang malam itu bernasib kurang baik. Baru jam dua malam, uang di kantong mereka sudah ludes dijadikan taruhan. Terpaksa mereka harus menyudahi permainan dan pulang dengan kantong kosong. Padahal mereka berdua dikenal sebagai penjudi ulung. Bisa dibilang mereka pantang pulang sebelum pagi menjelang.
"Apes Jo, ludes semua uangku buat taruhan tadi. Sepeserpun ndak ada yang tersisa," gerutu Kang Darso sambil berjalan tersaruk saruk menahan kantuk.
"Sama Kang, aku juga. Tinggal sisa dua ribu perak nih uang di kantongku. Memang harinya lagi apes kali Kang," sahut Kang Bejo sambil menyorotkan lampu senternya kian kemari, menerangi jalanan berbatu yang mereka lewati.
"Sebenarnya ini hari bagus lho Jo. Selasa Kliwon kan hari wetonku. Biasanya di hari weton begini aku selalu menang lho kalau main. Aku curiga si Parjo itu bermain curang. Masak setiap dua atau tiga putaran selalu dia yang menang."
"Hehehe, sampeyan dapat lawan berat malam ini Kang. Si Parjo itu memang terkenal sulit untuk dikalahkan. Main kalau sudah lawan dia, siap siap saja pulang dengan kantong kosong."
"Aku juga heran Jo, kok bisa ya dia itu selalu menang tiap main kartu. Padahal kan permainan kartu itu cuma untung untungan saja. Mangkanya aku curiga kalau dia itu main curang."
"Bisa jadi Kang. Pernah ada yang bilang kalau si Parjo ini setiap main kartu selalu bawa teman. Jadi temannya ini ia jadikan mata mata, mengawasi kartu kartu yang dipegang oleh lawannya, terus ngasih kode gitu sama si Parjo itu, ngasih tau kartu kartu yang dimiliki oleh lawan lawannya."
"Semprul! Pantesan saja dia selalu menang. Tau begitu tadi aku ndak mau lawan dia."
"Hehehe, kan sudah dilotre Kang, mana bisa kita pilih pilih lawan," Kang Bejo terkekeh.
"Iya juga sih. Tapi aku pernah dengar juga lho, ada yang bilang kalau si Parjo itu punya pegangan," Kang Darso berhenti sebentar untuk menyalakan rokok tingwenya.
"Pegangan gimana maksudnya Kang?"
"Ya pegangan, semacam jimat gitu, biar dia selalu menang tiap main kartu. Kabarnya dia pernah datang ke orang pintar buat dapat pegangan itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Horor Story : Angkernya Tegal Salahan
HorrorKumpulan kisah horor dan misteri yang dialami oleh para narasumber di sebuah wilayah yang dipercaya sebagai sarangnya para dedhemit. Cerita ini sebelumnya sudah pernah saya tulis di platform Kaskus dengan judul yang sama. #1 basedontruestory