"Gue yakin itu Aunia," tutur Tisya ketika dia sampai di ujung balkon.
"Hm?" Serempak semuanya berdeham dengan alis menaut, aku pun juga.
"Tisya ... lo yakin?" tanya Haryan yang duduk di atas meja. Dia sampai harus memperbaiki posisi bersilanya, karena hampir terjatuh.
Posisi kami kali ini sedang berada di ujung gedung jurusan Akuntansi hanya untuk membahas Aunia. Ya ampun, sekarang semua teman baikku jadi menyelupkan diri ke masalah ini. Padahal, menurutku ini bukan masalah. Aku bisa mengatasinya tanpa berpikir berlebihan.
Sebagai respons aku manggut-manggut saja lalu bertos dengan Tisya. "Bener, kan, yang gue bilang?"
Tisya berkacak pinggang. "Karakteristik cewek itu pas bareng Baja atau sampai sekarang masih sama. Dari gerak-gerik, mimik, sampai pandangan mata juga nggak meragukan."
"Tuh!" sahutku lagi, merasa yang paling benar, sudah.
"Ah masa sih, mau liat!" Raja berjingkrak. "Pokoknya gue harus liat Aunia itu gimana!"
Aldo langsung bertanya, "Emang tu cewek suka warna ungu juga Ja?"
Duh, makin banyak nanti pertanyaannya.
"Iya, selalu suka. Kopernya yang dulu juga masih warna ungu," jawabku.
Haryan mendesah kasar. "Emang si cewek itu nggak ngapa-ngapain semalem Tis?"
"Ya jelas enggak lah Haryan!" Tisya meninggikan nada bicaranya. Sesekali dia mendorong bahu Haryan karena kesal. "Emang dia mau ngapain coba? Bunuh gue gitu? Atau apa? Nggak ada. Kalian tau sendiri, kan, kalau telinga gue tajem banget saking tajemnya bunyi dikit pun gue terbangun?"
Semua terdiam.
Hanya ada bunyi jangkrik yang terdegar di kepala.
Siapa juga yang pernah tidur bersama Tisya di antara kami? Tolonglah!
"Ah, pokoknya itu jelas si Aunia. Udahlah, biarkan Baja ngerasain apa yang dia kangenin selama ini. Apa susahnya, sih?" Baru kali ini merasa omongan Tisya amat benar. "Baja itu wajar aja langsung terima Aunia. Yah, kita semua tau kalau penyebab Baja sempat gitu, ya gara-gara cewek itu. Nggak menutup kemungkinan juga kalau si Baja jadi langsung terima kehadiran dia lagi."
"Tapi, masa si Baja langsung terima aja gitu? Lo nggak sakit hati Ja?" Aldo terus bertanya.
"Gue sakit hati di awal, kaget, nggak nyangka kalau dia bakal balik. Gue juga benci. Tapi Aunia sudah jelasin sendiri, kalau dia punya kembaran licik selama ini. Ya udah, buat apa benci? Dia balik ke sini juga butuh perjuangan."
Raja memegang pundakku. "Ya sudah bro, gue dukung gimanapun keputusan lo."
"Nah gitu dong, thanks Ja."
Haryan melongo.
Aldo merangkulku. "Gue juga, jelas."
Haryan makin melongo. "Elah, tumben kalian pada husnudzon?!"
"Lo perlu diruqyah supaya enggak suudzon terus," jawab Tisya yang membuat semuanya tertawa.
"Gue nggak niat suudzon sih, tapi semua ini bikin gue susah percaya dan pengin hati-hati aja bawaannya." Haryan kini berdiri di antara kami.
"Nanti kita ke rumah Baja deh buat pastikan itu Aunia," kata Aldo.
"Iya setuju. Kita berdua udah dari kelas sepuluh sekelas sama anak itu. Kita juga tahu karakternya gimana," tambah Raja dengan semangat, "pokoknya kalau Tisya udah bilang itu Aunia berarti kita punya satu suara."
Walaupun kali ini teman-temanku menjadi ikut campur, aku sedikit senang. Itu menandakan bahwa mereka memang peduli dan tak membiarkan aku larut begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Make Myself Happy
Short Story[Sequel of Make You Happy] Baza berharap dapat melupakan Aunia dan melakukan segala hal yang membuatnya bahagia. Tetapi, bagaimana jika ternyata hal yang membuatnya bahagia tanpa mengingat beban adalah kehadiran Aunia? Di malam itu, Aunia datang den...