31 - Simpulan Terang

350 122 5
                                    

Aku membaringkan diri di sofa ruang tamu rumah Haryan. Lengan kananku kugunakan untuk menutup wajah.

"Kalau lo udah tau itu bukan Aunia dari awal, kenapa lo terima aja?!" Haryan menegurku lagi. "Tuh, kan, dugaan gue bener kalau si Aunia itu memang udah meninggal. Terus si Aulia ini nyamar jadi Aunia, playing victim, dan tukar posisi biar bisa dapet hati lo Ja!"

Aku berdeham. "Iya, gue akuin dugaan lo bener."

"Mending tu cewek kalau masih utuh. Kalau udah pernah berzina sama si cowok yang namanya Faldy itu gimana? Lo mau nanggung Ja?" Haryan masih mengoceh.

Aku berdeham.

Rasanya sakit ketika jiwa dan raga harus mengakui bahwa Aunia sudah meninggal.

"Lo mau?!" Haryan mendesah berat. "Haih, sinting ni orang!"

"Haryan jangan judge Baja terus dong, ih!" Tisya membelaku kali ini. "Baja itu lagi sedih karena harus ngakuin sekali lagi Aunia itu udah meninggal."

"Kenapa lo nggak menghindar aja, sih, Ja di malam itu? Daripada sakit lagi, kan, ujung-ujungnya begini." Haryan kini duduk tepat dibawah sofa yang kutiduri.

Aku menarik napas, lalu membuangnya perlahan. Aku menegakkan tubuh untuk duduk di sofa sekarang. "Jawabannya simpel, gue kangen Aunia."

Kulihat Tisya langsung membungkam Haryan. "Ceritain aja Ja, keluarin."

"Kalian tau sendiri kalau gue suka kumat ngingat Aunia segitunya. Pas ada orang beneran datang ke rumah gue sebagai Aunia, mau nggak mau gue welcome aja." Aku mengusap rambutku ke belakang. "Memang bodoh si, bucin banget. Balik lagi ke kalimat awal, gue kangen Aunia. Udah gitu aja. Siapapun yang muncul asal itu mirip Aunia ya alam bawah sadar gue nerima. Mau seribet dan sekasar apapun kalian sadarin, gue nggak bisa."

Haryan menunjukkan ekspresinya yang tak suka dengan sikapku ini.

"Gue bahkan ... hampir siap terima Aulia atau siapapun itu. Asal sikapnya kayak Aunia, ketawanya, selera humornya. Gue siap aja terima siapapun Aunia yang ada di rumah gue itu," jelasku, "tapi itu gue di hari-hari sebelum hari ini."

Tisya mendekat. "Lo udah nyadar ada yang beda ya?"

Aku mengangguk. "Beda banget. Gue juga jadi curiga kayak yang Haryan bilang."

Haryan yang semula membuang muka itu menatapku lagi.

"Semalam gue temukan dia keliling di rumah. Dia pintar. Dia tau posisi CCTV. Dia juga tau daerah mana yang harus dihindarin. Dia juga pintar ngarang alasan. Aktingnya mantep, jangan ditanya. Dia udah persiapkan semua ini dari lama. Dia bahkan tau cara Aunia ngomong ke gue, nama panggilan gue di Aunia, bahkan tanggal jadian. Ada banyak yang nggak bisa dijawab sama dia, dia bilang alasannya lupa. Disitu kesalahannya," jelasku.

"Jadi, apa rencana lo sekarang?"

"Nggak tau."

"Lo mau biarin Aulia itu nguasain rumah lo? Kalau kabur gimana?" Seperti biasa, Haryan selalu berpikir lima belas langkah di depan.

Aku memperbaiki posisi duduk. "Dia datang ke sini bawa pengaruh positif juga. Gue seakan sembuh dari rasa kangen Aunia. Lebih lega, sebutannya. Habis ini, dia mau tinggalin gue pun nggak pa-pa. Atau, gue jebak dia supaya dia diusir paksa sama orang tua gue meskipun dia mirip Aunia pun, gue terima aja. Gue udah ... bisa bahagia."

Tisya menunjukkan wajah senangnya. "Makin sayang Baja."

"Jadi lo mau apa nih sekarang?" Haryan bersedekap. "Suruh ngusir apa suruh tinggal?"

"Usir."

"Bagus!" Haryan mengajakku bertos ria. "Gini kek dari kemarin-kemarin! Biar lo nggak direndahin terus sama Aunia dan bayangan keseribu dia."

Tisya tiba-tiba mengangkat tangan. "Eh eh, bentar. Gue mau tanya. Kok gue rasa Aulia itu mirip banget ya sama Aunia? Lo bisa temuin perbedaannya di mana Ja?"

"Senyumannya," jawabku.

Senyuman Aulia terlihat palsu sepintar apapun dia menutupinya.

Selalu ada rasa bersalah yang tampak dari wajahnya.

"Tapi kayaknya gue perlu dengerin pendapat Devin, temen SD Aunia, sama Adista, temen kelas sepuluhnya Aunia," tandasku sebelum bangkit lalu pergi ke tempat perjanjian yang kubicarakan tepat sepulang sekolah. "Soal perkiraan gue itu masih mengganjal sebenarnya. Perlu dipastikan lagi."

Haryan hanya melihatku kepergianku dengan pasrah kali ini. Mungkin dia lelah sebagai penyadar realita utama.

Make Myself Happy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang