36 - Hentikan Curiga

346 111 7
                                    

Devin saja bilang itu Aunia.

Yang kutelepon tadi mengatakan, "Au."

Berarti yang sekarang bersamaku ini Aunia? Benar-benar Aunia? Jujur aku bersyukur, tetapi aku ragu. Takut jatuh lagi setelah diangkat tinggi-tinggi.

Devin langsung menekan bahuku. "Bro, mana Raffael?"

"Hadir! Sini Dep!" Kulihat Raffael menariknya masuk ke bagian belakang. Jelas, dari sini ketahuan mereka yang dj belakang menguping.

Kutatap Aunia yang memerhatikan Devin dengan kesal, seperti memilki dendam kesumat. "Kenapa Au?" tanyaku.

"Kenapa anak itu bisa ada di sini?"

"Kamu ingat dia?"

"Ingat. Dia nyebelin, ngeri, iseng, untung sekarang jadi adek kelas," kata Aunia sambil menggenggam tanganku. Masih.

"Loh, dia bukan sahabat kamu dulu? Di SD, kan?" tanyaku.

Aunia melepaskan tautan tangannya padaku dan berkata dengan nada meninggi, "Sahabat? Aku nggak pernah anggap dia sahabat. Dulu mungkin, kita cuman temen biasa. Dia aja yang anggap beda. Udahlah, nggak usah bahas dia. Jengkel, dateng-dateng main tuduh."

Aku mulai merasa tidak enak hingga refleks menggaruk tengkuk. "Ehm, oke. Berarti ini Aunia ya?"

"Kok kamu ikutan ragu juga, sih?"

"Namanya juga ragu," balasku.

"Apa yang kamu raguin?"

Aku menggeleng. "Nggak pa-pa. Nggak ada kok. Aman. Udah, kamu kalau risih di sini. Kamu boleh kok, balik ke rumah aja temanin mama."

Aunia mendengus lalu menyilang tangan di depan dada. Dengan sedikit mengangkat dagu dia pergi ke belakang. "Aku mau ajak Dzikav aja."

Lucu.

Manis.

Eh sadar, Baza! Fokus!

Iya fokus. Aku kembali duduk di singgasana dan kebetulan seorang pemuda masuk, meminta untuk difotokan.

Tetapi, tiba-tiba Devin datang merusuhiku lagi sambil berbisik, "Lo udah nyoba cek merek HP-nya?"

Aku menyuruhnya pergi dulu sampai pekerjaanku selesai. Aku ke belakang, sedangkan Tzaka, Raffael, Rangga, dan Devin keluar.

Berjam-jam aku dan Tzaka selesaikan pekerjaan hingga tepat jam sepuluh malam. Studio foto itu akhirnya kututup. Sementara tiga laki-laki yang datang sejak awal menunggu di luar sambil membahas sesuatu yang tidak kuketahui.

Aku keluar dari studio bersama Tzaka dan menguncinya. Kutemukan mereka sedang duduk di atas motor masing-masing.

"Kak, suka editan posternya, mantep. Jago nih," puji Raffael padaku sambil mengacungkan jempolnya.

Aku mengangguk. "Makasih. Jadi, kalian masih di sini tujuannya apa ya?"

"Kak, ikut jadi tim film pendek kami. Mau?" tawar si laki-laki berkacamata.

Siapa namanya? Ah ya, Rangga.

Aku mengangguk karena tak tega membiarkan mereka menunggu terlalu lama sejak tadi. "Boleh, tunggu aja informasi dari saya."

"Yes!" Raffael langsung menyalimiku diikuti yang lainnya. "Kami pulang dulu, kak. Kalau butuh bantuan untuk bongkar 'sesuatu' panggil kami juga nggak pa-pa."

Mereka kembali ke motornya kecuali Devin. Hanya tersisa dia. Aku melihatnya seperti melihat pribadi Haryan. Tak beda jauh.

"Coba tanyain si Aunia. Boleh nggak HP-nya dipinjam? Kalau dia mau berarti dia nggak ada yang disembunyikan," sarannya lalu pergi meninggalkan halaman rumahku juga.

Aku pun kembali ke rumah dengan pikiran yang terbang ke mana-mana dan menemukan Aunia sedang membaca majalah di ruang tamu.

"Loh, kamu dari tadi di sini?" Langkahku terhenti bertepatan keluarnya pertanyaan itu, takutnya dia mendengar percakapan aku dan para laki-laki tadi. Semoga saja tidak.

Aunia meletakkan majalahnya, lalu tersenyum. "Dama, aku sayang kamu. Jangan mikir aneh-aneh ya seputar aku. Udah, percaya aku, jangan mereka," tandasnya sebelum memberiku ponsel dan pergi ke lantai dua.

Oh, berarti dia memang mendengarnya tadi.

Kubuka ponsel cepat-cepat. Tak dikunci. Kontaknya hanya kontakku, ibuku, dan kontak Dzikav. Galeri juga tak memiliki foto, aplikasi hanya What's App.

Ada dua dugaan. Pertama Aunia pernah merestart ponselnya kembali ke aturan pabrik atau memang dia sengaja mengatur seperti ini karena sudah curiga di awal aku akan mengeceknya.

Kalau soal merek, sama seperti dulu.

"Kalau kamu pikir aku Aulia, terserah. Aku sudah males untuk ngeyakinin kamu," ujar Aulia menyembulkan kepala dari balik dinding dengan raut wajah kecewa.

Aku merasa bersalah.

"Au!" Kupanggil dia. Aku yakin dia berhenti di balik sana untuk mendengarnya. Jadi aku melanjutkan kalimatku juga, "Aku percaya."

Make Myself Happy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang