38 - Terlalu Identik

394 125 8
                                    

Rasa yang lama kembali.

Rasa kehilangan Aunia itu memang selalu kembali, tetapi tak sepenuhnya memenuhi pikiran dan perasaan diri.

Aku kembali merasakan diri Baza yang lama. Diri Baza ketika kehilangan Aunia dan mendengar fakta dari mulut orang lain.

Aku sudah percaya dengan seseorang yang di rumahku. Percaya bahwa dia adalah Aunia dan mau menyingkirkan segala dugaan teman-teman yang ada.

Namun ketika dugaan lama terbukti benar bahwa itu bukan Aunia, aku menyesal juga tak mendengarkan kata hati dan dengan bodohnya membiarkan diri dibodohi orang lagi. Yah, walau dugaan lamaku tak sepenuhnya benar.

Itu Auria, bukan Aulia.

Aulia yang sekarang pergi bersamaku ke rumahku sendiri, untuk menyergap Auria langsung. Aulia kubonceng menuju rumah.

Begitu motorku masuk ke pekarangan rumah. Aku lantas membuka pintu rumah, lupa salam, dan bertanya pada Dzikav.

"Auria mana?!"

"Auria? Kak Aunia?" Adikku itu berdiri dengan alisnya yang bertaut. "Kak Dama kenapa?"

"Mama mana?" tanyaku lagi.

"Di belakang." Aku langsung berjalan ke halaman belakang untuk bertemu dengan ibu. Pasti sedang bersama Au ... ah, siapa, sih itu?!

Siapa yang harus kupercaya sekarang?

"Ma!" Aku menemukan ibuku sedang menyiram tanaman dan benar, beliau bersama gadis aneh pembohong itu.

Aku menarik tangan Auria. "Ada orang yang mau ketemu lo."

"Eh sakit Dama, kok kamu kasar?" keluhnya ketika aku menariknya cepat-cepat menuju ruang tamu.

Aulia yang menunggu sambil melihat-lihat ruang tamuku itu menggelengkan kepala melihat kembarannya sendiri yang sangat identik.

Kulepas tangan Auria ketika sudah bersanding dengan Aulia.

Gadis itu terdiam dengan tatapan penuh tanya. Bukan hanya dia, aku juga! Kepalaku banyak pertanyaan.

"Gue mau tanya sekarang sama lo berdua, siapa yang jujur di antara kalian?" tanyaku, tegas, sudah lelah masuk permainan para 'Au' ini.

Pertanyaanku itu berhasil membuat semua orang rumah berjalan ke ruang tamu yaitu ibu, Tzaka, dan Dzikav. Untung ayahku kerja, aku tak ingin urusan aneh ini masuk ke dalam pikirannya.

Kutatap Auria. "Kenapa lo harus pura-pura jadi Aunia? Nipu gue sekaligus keluarga gini. Hebat lo, lebih hebat dari Aunia," kataku tersulut emosi.

"Ada apa ini?" Ibuku menyuruh kami semua duduk. "Ada apa? Ada apa?"

Aku malas menjelaskan, lebih milih membuang muka, malas menatap semua orang. Sangat malas!

Aulia mencoba menenangkan Auria yang panik melihatku marah.

"Dama maafin aku," kata Auria begitu mudah.

"Kenapa kalian?" Ibu masih bertanya.

Sebenarnya orang yang paling kasihan di antara kami adalah ibu. Ibu sudah menganggap Aunia yang ternyata Auria seperti anak sendiri. Jangan tanya perasaanku seperti apa bentuknya.

"Assalamu'alaikum Baja!" Tiba-tiba Haryan dan Tisya masuk ke rumahku. Langkah mereka terhenti saat melihat kembar Au itu.

"Ada dua?!" Haryan tak kalah kaget. "Gila lo berdua, parah!" Dia langsung duduk di sebelahku diikuti Tisya. "Ja, lo kena tipu apa gimana?"

Ibuku juga kebingungan. Tak ada seorang pun dari kami yang mau menjelaskannya.

Aku sengaja tak mau berbicara, takut omonganku berujung penghinaan dan dapat menyakiti perasaan siapapun di ruangan itu. Lebih baik aku diam dulu sampai emosiku reda. Aku harap Aulia mau menjelaskan.

"Lo!" Haryan menunjuk kedua gadis itu. "Yang mana Aulia? Yang mana Aunia?"

Aulia menjawab dengan santainya, "Dia Auria. Adek kembar gue. Nyamar jadi Aunia buat tinggal di sini."

Auria hanya diam. Raut bersalah masih tampak di wajahnya. "Aku tadi malam sudah mau ngaku, tapi aku takut liat Dama marah."

Aku langsung menatapnya. "Kenapa segitunya? Kenapa segitunya lo nipu? Sampai berapa kali sok-sokan ngaku kalau lo Aunia. Kenapa? Kenapa? Biar apa?!" Refleks tangannya menggebrak meja ruang tamu sampai kembar itu mundur.

"Baja sabar!" Tisya menahanku untuk tidak bangkit dari sofa.

Sedangkan ibu, langsung paham dengan arah pembicaraan ini. Ibu juga terdiam saja, tak mau menghakimi. "Selesaikan masalah kalian hari ini. Mama nggak mau liat lagi kalau masih tersisa," tandas ibuku lalu pergi masuk membawa dua saudaraku yang menguping.

"Wah dugaan gue bener kalau lo bukan Aunia!" Haryan menunjuk salah satu dari gadis itu—tepatnya ke Aulia—lalu Tisya mengarahkan ke orang yang tepat.

"Salah nunjuk lo Yan."

"Kembar banget kalian, heran!" Haryan menyilangkan tangan di depan dada. "Gue tuntut lo penjelasan panjang!"

Auria malah menangis. Kepalanya itu menggeleng seolah tak mau disalahkan, atau perbuatannya ini memang sangat salah, hanya saja dia tak tahu cara mengakunya. "Aku cuma iri sama Kak Aunia. Dapet cowok yang sebaik Dama sampai ditinggal gitu aja. Aku juga nggak tega pas dengar Dama yang katanya gejala depresi habis kehilangan Aunia."

"Oh ya, atau karena Baja kaya?" sela Tisya.

"Iya memang, sekaligus itu juga," kata Auria yang mengaku dengan sangat mudah, "aku sebagai anak perempuan yang tersisa di rumah dituntut untuk sukses atau minimal dapet suami kaya."

"Gila!" Tisya melempar majalah tepat mengenai Auria. "Lo nggak tau perasaan Baja gimana sekarang? Sakit! Udah tau dia gini karena Aunia, bolak-balik konselor sama psikolog untuk lepas dari bayangan Aunia, nyoba ikhlas karena terlalu cinta, dan hampir sembuh! Sekarang, lo balik lagi dan bikin itu beneran kambuh!"

"Iya! Lo nggak tau apa kalau Baja itu campuran pemikir keras dan perasa pekat?" Haryan juga ikut mencaci. "Jahat lo, sinting!"

"Yan, Tis," tegurku lalu menegakkan diri. Kuharap mereka tak menyela selagi aku bertanya ke si kembar, "Kalian sebenernya berapa bersaudara?"

Auria yang masih terisak itu menjawab, "Empat. Maafin aku Dam, udah bohong. Aku ... aku nggak punya pilihan. Aku udah berhenti sekolah. Satu-satunya jalan yang baik ya ini. Aku capek hidup miskin terus. Aunia bodoh ninggalin kamu segitu mudahnya."

"Ya, dia memang bodoh," aku mencondongkan badan ke arah gadis yang mengaku Aulia, "banget."

Make Myself Happy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang