Tanpa pikir panjang, aku langsung membuka kunci pintu. Haryan yang melihat tindakan nekatku, lantas menahan.
"Eh eh lo mau apa?" Haryan menahan tanganku. "Gimana kalau di luar itu rampok?" tanyanya nyaris berbisik.
"Itu Aunia!" Aku menepis tangan Haryan tanpa berpikir lagi. Aku tetap membuka kunci.
"Baja sadar!" Tisya tiba-tiba datang dan menghalangiku. "Ja, Ja, Ja, itu bisa jadi rampok yang nyerupain suara Aunia. Ja, sadar Ja!" Rupanya dia bisa lebih kuat menepis tanganku.
Bagaimana jika itu Aunia?
Bagaimana kalau keadaannya sekarat?
Sekali lagi, bagaimana kalau itu memang Aunia? Itu yang ada di pikiran kalutku sekarang.
Aku panik.
Haryan menarikku menjauh dari pintu. "Ja, sadar!"
Aku membantah dan berlari ke pintu. Namun kunci pintu rumah langsung diambil Tisya dan dilemparkan ke arah Tzaka, tepat sasaran.
"Kak Dama!" Dzikavra kini ikut berdiri di hadapanku.
Aku pun terjongkok. Aku benar-benar tidak dapat berpikir jernih. Pikiranku hanya Aunia, Aunia, dan suara Aunia. Aku ingat persis suaranya. Aku ingat persis panggilannya yang tengiang-ngiang sejak dulu. Rasanya waktu saat itu kembali menjalar ke seluruh tubuhku.
Aku hanya ingin bertemu sekali saja dengannya.
Aku kembali ke pintu, tetapi Haryan dan Tisya tetap menarik lenganku untuk menjauh dan mendorongku hingga tersungkur.
"Woi, mana ada cewek yang datang malam-malam ke rumah lo jam sebelas kayak gini selain Tisya!" seru Haryan.
Tzaka kini ikut berdiri di depan jendela untuk mengintip baik-baik. Mungkin dia juga tidak melihatnya dan memilih mundur.
"Baza, sadar!" Adnira kini berdiri di hadapanku.
"Haryan," panggilku, "itu Aunia Yan!" Aku menunjuk pintu saking tak bisanya mengatur diri. "Beneran, ini Aunia, kali ini Aunia. Lo tau sendiri suaranya gimana."
Pintuk diketuk dengan lemah lagi.
"Dama."
Aku semakin tidak tahu harus apa, begitu juga adik dan teman-temanku. Itu benar-benar suara Aunia. Aku ingin membuka jendela sebelah pintu yang penuh teralis untuk membuktikan ke mereka.
Sekali lagi, Tisya dan Haryan menarikku tanpa ampun.
"Jangan dulu Ja, pikirin cara lain! Jangan asal buka. Jangan sampai sekali buka lo malah kena tebas parang!" tegas Haryan kali ini membanting tubuhku menjauh dari pintu. Ganas dia.
"OKE!" Aku duduk di lantai. "Kalau sampai ternyata Aunia, lo ... lo...."
"Apa?!" tantang Haryan. "Astaga Baja, Aunia.udah.meninggal!" Dia mengatakannya penuh penegasan tiap kata.
Kulihat Adnira hanya mampu menutup wajahnya dan berdiri di ujung bersama Dzikavra. Mereka menatap kami ketakutan.
Tisya kini berlutut di hadapanku. "Gue tau ini berat banget buat lo Ja biar nggak ke-flashback. Tapi, jangan gila Ja. Aunia udah meninggal." Dia berdiri dan mengetuk pintu balik untuk bertanya siapakah orang di luar.
"Ini siapa ya?" tanyanya berharap dapat balasan dari luar.
Jaman sekarang banyak sekali orang datang ke rumah-rumah di tengah malam seperti ini, berpura-pura menjadi orang terkapar. Ketika pintu dibuka dan mereka mendapatkan belas kasihan, mereka malah akan merampok satu keluarga.
Itu yang terjadi di daerahku, wajar saja jika Haryan dan Tisya amat protektif kali ini.
Aku terdiam, pasrah. Dzikavra langsung datang untuk memelukku.
Di luar sana tidak ada jawaban.
Tisya dan Haryan mulai menduga yang tidak-tidak. "Gimana ceritanya orang ini bisa nembus satpam lo Ja?"
"Satpam rumah sama pembantu rumah pada libur. Buat ketemu keluarga masing-masing. Ini udah akhir bulan," celetuk Tzaka yang baru datang dari lantai dua.
Dengan beraninya dia melangkah ke pintu dan langsung membukanya tanpa pikir panjang.
Haryan dan Tisya tentu panik. "Dam, kok lo bego, sih?!" Mereka menarik Tzaka ke belakangnya.
"Tahan pintunya!"
"Nggak berani."
Pintu sepenuhnya terbuka menghadirkan seorang gadis yang terkulai lemas di teras dengan pakaian basah kuyup dan kotor.
"Gue liat di balkon dan itu beneran Kak Aunia," kata Tzaka.
Aku langsung menghampirinya, diikuti yang lain. Mereka melangkah penuh waspada. Pisau pada tangan Haryan juga sudah siap bila ada sesuatu yang terjadi.
Aku yang di depan pastinya mengenali ciri-ciri fisik dan wajah gadis ini.
Ini Aunia.
Benar, Aunia! Aku sangat yakin.
"Gue merinding," komentar Adnira.
Aku menadah kepala Aunia dengan lenganku. "Aunia?" Kutepuk pipinya pelan. "Au? Sumpah gue masih nggak percaya." Debar jantungku semakin tidak stabil.
Bagaimana bisa Aunia ada di rumahku sekarang?
Haryan merasa sesak napas. "Aduh dada gue. Masa itu beneran Aunia?"
Tisya menutup mulutnya untuk mengatur napasnya yang cekat, takut dengan keadaan. "Haduh kayak apa dong ini? Itu orang yang mirip Aunia kali Ja, bukan Aunia lo."
Gadis di lenganku ini pingsan, pantas saja tak ada respons apapun setelah ketukan Tisya.
Aku melihat pakaiannya yang serba warna ungu. "Sorry Tis, kali ini lo harus percaya. Ini beneran Aunia. Dia ... masih hidup."
KAMU SEDANG MEMBACA
Make Myself Happy
Cerita Pendek[Sequel of Make You Happy] Baza berharap dapat melupakan Aunia dan melakukan segala hal yang membuatnya bahagia. Tetapi, bagaimana jika ternyata hal yang membuatnya bahagia tanpa mengingat beban adalah kehadiran Aunia? Di malam itu, Aunia datang den...