"Haryan!" Setelah bertemu dengan Devin dan Adista yang juga kebingungan, aku terpaksa ke rumah Haryan itu meminta pendapatnya.
Memang anak itu, terkadang aku kesal dengan kelogisannya, tetapi aku juga butuh dia untuk menetralisir semua rasa curiga dan ketakutanku sendiri.
Hujatan Haryan selalu berpengaruh padaku untuk berpikir logis dan tidak mengandalkan perasaan saja. Apalagi ini soal Aunia.
Aku mengetuk pintu rumah Haryan setelah sepuluh detik menit menunggu. Apa yang terjadi padanya? Hari sudah mulai gelap dan aku tak tahu harus ke mana lagi selain ke rumah Haryan yang selalu sendirian.
Ke rumah Aldo? Dia sibuk kerja paruh waktu.
Ke rumah Raja? Dia ... sama anehnya denganku. Nanti bukannya dapat solusi, malah semakin kepikiran hal buruk.
Ke rumah Tisya? Nanti baper. Jangan.
Haryan pilihan tertepat.
"Pak Uji, Haryan ke mana?" Bodohnya aku baru bertanya. Seharusnya sebelum masuk ke pekarangan yang luas ini, lebih baik bertanya dulu.
"Oh iya Mas Baja, Mas Harrynya lagi keluar bareng Mas Endra."
"Endra siapa?"
"Mas Endra temen sekelas Mas Harry di jurusan Otomotif."
Aku paham dan langsung mengangguk. Kalau Haryan sudah bertemu dengan Endra, berarti dia sedang terlibat masalah penting di jurusannya.
Oh ya, sedikit penjelasan, nama panggilan Haryan di rumah adalah Harry. Biar terkesan kebarat-baratan kata ibunya. Karena nama Haryan jika tidak sebut baik-baik akan terdengar seperti 'Harian'.
Aku semakin tak tahu harus ke mana. Adzan magrib sudah menggema, menandakan bahwa aku harus pulang. Namun, aku tak tahu harus memberikan respons apa ketika melihat orang yang persis dengan Aunia itu di rumahku.
Aku bahkan sangat ragu itu Aunia.
Lebih yakin itu Aulia.
Di sisi lain, hatiku mengatakan sebaliknya dari otakku. Itu Aunia yang masih hidup, bukan Aulia. Karena hati, pikiranku terus menyakinkan diri kalau gadis yang ada di rumahku sekarang jelas-jelas Aunia. Aku harus mempercayainya.
Argh! Pusing.
Aku langsung menjalankan motorku pergi dari rumah Haryan ke masjid terdekat untuk menunaikan salat. Ibu jelas mencariku, tapi aku belum bisa pulang sampai pikiranku membaik.
Bisa saja sampai rumah karena terlalu bingung, aku langsung menghardik Aunia di rumah tanpa pemikiran panjang dan penuh kekalutan.
Jangan sampai.
Aku salat di masjid, menyerahkan diri, pikiran, hati, dan keraguanku kepada yang Maha Esa. Berharap setidaknya ada sedikit celah.
Jika memang ada celah bagiku untuk berhenti, lebih baik berhenti.
Aku sudah mendapat peringatan dari-Nya dengan kehilangan Aunia, tetapi aku terus bersikukuh dengan kemauanku hingga menyakiti diriku sendiri. Sudah dosa, ngotot pula, ya jelas salah.
Selesai salat magrib aku keluar dari masjid dan ke taman kota. Aku duduk di bangku peristirahatan hanya untuk memandangi sekitar.
Aku masih ragu untuk pulang.
Kubuka ponselku dan menemukan panggiln ibu sebanyak tiga kali. Aku mengutak-atik ponselku. Sampai-sampai sempat membaca nama-nama kontak di sana.
Begitu melihat nomor Aunia yang lama tak kuhapus, aku tertawa. Dulu saat pergi dia memblokirku, ingat? Aku sempat menghapusnya, tapi bodohnya aku masih menyimpan salinan itu dan memasukkannya kembali ke kontakku.
Astaghfirullah Baza, kalau ada Aldo mungkin kepalaku sudah dipukul lagi.
Iseng-iseng aku menekan tombol telepon di samping nomor Aunia. Mana tahu dijawab ye, kan? Ye, kan? Haha aku hanya bercanda dengan harapanku sendiri bah—
Ponselku berdering.
Tubuhku menegang seketika.
Nomor di sana kok bisa ditelepon?
Tanpa sadar, kubiarkan ponsel itu terus menghubungi nomor tadi. Berharap sekiranya ada jawaban.
Panggilan diangkat. Nyawaku terasa melayang.
Satu detik....
Dua detik....
"Hallo? Good evening."
Suara cowok terdengar. Ah! Aku meletakkan ponsel di sebelahku dengan sedikit membanting. Sudah kuduga nomor itu dapat ditelepon karena sudah ganti pemilik. Bukan karena blokiranku dibuka.
Ya, aku berpikir bahwa nomor Aunia sudah lama hangus.
Kini nomor itu hadir lagi dengan pemilik yang berbeda. Pernah mengalaminya? Aku sering.
"Halo? Selamat malam?"
Putus asa, kubiarkan ponsel itu mengeluarkan suara, "Au! There's a call from Indonesia."
(Au! Ada panggilan dari Indonesia).Eh?!
Aku kembali fokus ke ponselku.
"Who?"
(Siapa?)."I don't know. Just take your phone."
(Aku tidak tahu. Ambil saja ponselmu).Aku mengeraskan volume ponselku agar dapat mendengarkan percakapan dua orang di seberang sana karena laki-laki tadi sempat menyebut 'Au'.
"Maybe it's Auria."
(Mungkin itu Auria).Sebentar, siapa lagi itu?!
Ketika kudengar bunyi ponsel yang dialihkan dari tangan satu ke tangan yang lainnya, panggilan itu berakhir secara sepihak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Make Myself Happy
Short Story[Sequel of Make You Happy] Baza berharap dapat melupakan Aunia dan melakukan segala hal yang membuatnya bahagia. Tetapi, bagaimana jika ternyata hal yang membuatnya bahagia tanpa mengingat beban adalah kehadiran Aunia? Di malam itu, Aunia datang den...