Kepalaku di hari sekolah sekarang ini sangat penuh dengan dugaanku tentang Aunia. Bukan dugaan tentang itu Aulia atau Aunia lagi, tetapi dugaan mengenai bagaimana perasaannya sekarang.
Aunia tak mau mengambil ponselnya lagi dariku. Tadi pagi, aku bahkan belum bertemu dengan dia dan ibu. Kata Tzaka, mereka berdua pergi ke pasar. Kalau dipikir-pikir ibu yang paling percaya dengan gadis itu.
Mungkin Aunia kecewa setelah mendengar berbagai tuduhanku kalau dia adalah Aulia. Aduh, Baza, selalu saja!
Aku menyesal meragukannya.
Kepalaku penuh dengan itu sampai bel pulang berdering. Di saat semuanya sedang siap-siap pulang ke rumah, suara seseorang menyentak. Satu kelas mendadak ricuh dibuatnya. Aku tak mempedulikan siapa yang datang, sibuk memasukkan laptop ke dalam tas.
Tiba-tiba Aldo menyikutku kasar. "Ja, Ja, Ja, liat!"
Aku berdecak, masih kesusahan memasukkan laptop. "Apaan? Nanti, sabar."
Aldo menyikutku lebih keras. "Cepat liat!"
Aku menghela napas gusar sambil mendongakkan kepala. Mataku langsung tertuju pada gadis yang sedang berdiri di depan kelas, berbicara dengan Pak Wira.
Kusadari, sejak tadi kelas sudah riuh dengan bisik-bisik heran melihat Aunia di sana.
Ya, Aunia ada di kelasku!
Sebentar, itu memang Aunia? Gayanya sedikit berbeda dengan pakaian yang membuatnya lebih dewasa. Dia mengenakan pakaian berwarna putih dibalut dengan blazer berwarna hitam yang sesuai dengan warna celananya. Aku seperti melihat seorang wanita pekerja, bukan seorang gadis.
"Perhatian semuanya!" Pak Wira sekarang berdiri. "Kelas kita kehadiran kembaran dari teman lama kelas kalian."
Riuh ocehan seisi kelas makin nyaring, membuat aku mulai menduga lagi dan lagi.
Aulia Karlivasya datang ke sekolah.
Mau apa?
Aku menduga makin jadi.
"Ini Aulia Karlivasya, kembaran teman kalian, Almarhumah Aunia Karlivasya. Dia ingin menyapa kalian semua sekaligus bertemu dengan Erbaza Damagara, secepatnya," kata Pak Wira yang tentu saja membuat tubuhku menengang.
Pasti ini tak jauh-jauh dari masalah Aunia itu.
Jujur, aku tak dapat menemukan perbedaan di antara keduanya.
Aku mendapatkan perintah untuk pulang lebih dulu dari yang lain. Tentu saja membuat satu kelas menyahut tidak menyangka. Aulia juga menuntunku untuk keluar dari lingkungan sekolah. Sepanjang perjalanan aku melihat seluruh siswa di kelas menoleh ke arah kami dengan pandangan terkejut. Bahkan ada yang sampai berjalan ke jendela saat semuanya sedang bersiap untuk berdoa, Haryan misalnya.
"Siapa itu?!" tanya Haryan tanpa suara, hanya dari gerakan bibirnya. Dia sempat memukul-mukul kaca jendela agar aku melihatnya.
Aku memutar bola mata sebagai jawaban singkat. Selama perjalanan menuju gerbang utama, aku dan Aulia hanya diam.
Namun, belum sempat langkah kami sampai parkiran, aku lantas bertanya, "Apa tujuan lo datang ke sini?"
Gadis hampir membuatku mengira itu Aunia berbalik dan menghela napas. "Auria sekarang tinggal sama lo?"
"Hah? Auria siapa?" Aku terbelalak kaget. "Berarti telepon gue nyampe ke HP lo, kan, pas semalam?"
Aulia tersenyum miring. "Ya, lo denger apa yang gue omongin sama Faldy?"
"Denger semua, jelas," jawabku cepat.
"Gue, Aunia, sama Auria kembar tiga," Aulia mengaku, "dan Aunia udah meninggal. Yang di rumah lo sekarang itu Auria. Makanya gue ke sini."
Aku tercengang bukan main.
"Dan lo Baza ... lo udah ditipu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Make Myself Happy
Short Story[Sequel of Make You Happy] Baza berharap dapat melupakan Aunia dan melakukan segala hal yang membuatnya bahagia. Tetapi, bagaimana jika ternyata hal yang membuatnya bahagia tanpa mengingat beban adalah kehadiran Aunia? Di malam itu, Aunia datang den...