"Ma, maafin Dama udah terlalu nekat percaya itu Aunia," kataku pada ibu yang hendak berjalan masuk ke ruang tengah.
Ibu langsung memelukku. "Nggak pa-pa sudah. Yang mama pikirkan justru kamu. Takutnya ini kena mentalmu lagi. Mama nggak mau. Kamu gimana sekarang keadaannya?"
Aku tersenyum. "Lega aja udah tau fakta tadi."
"Beneran?"
Aku melirik Tisya dan Haryan yang lebih tahu. "Iya ma, nggak usah khawatir. Dama bakal belajar dari pengalaman kali ini untuk nggak terlalu percaya dan langsung iba tanpa tau latar belakang mereka. Dama bakal lebih selektif lagi milih teman atau pacar. Dama udah mutusin nggak mau pacaran lagi."
"Seriusan kamu?"
"Iya serius kali ini. Berhenti lebih baik. Dama mau fokus untuk sekolah aja, sudah, sama ngembangin studio. Dama nggak mau lagi dimanfaatin orang sejenis Aunia. Udah, mama juga jangan sakit ya, pas tau fakta sampai Dama terpaksa ngusir dia?" Aku memeluk ibuku lagi.
"Mama sebenernya kasihan sama anak itu. Dia orang susah. Kamu sudah dapat nomor orang tuanya?" tanya ibuku.
"Mereka masih simpan kok nomor orang tuanya. Mereka bohong aja. Biarkan aja sudah mereka mau gimana. Diatur atau dinasihati juga lebih bicara tinggi. Dama nggak mau nasihatin mereka sampai emosi," kataku.
Ibuku makin memelukku. "Ya udah, ayo makan bareng, Haryan sama Tisya juga ayo. Mau makan apa? Biar mama masak."
"Anu tante, kami mau ke rumah saya buat ... kerja kelompok antar angkatan sekarang." Haryan tiba-tiba berbicara seolah dia tahu apa yang ingin kulakukan sekarang.
Diam dan didiamkan.
"Emang ada kerja kelompok kayak begitu?"
"Ada tan, semenjak ganti kepala sekolah." Tisya dan Haryan sontak menarikku keluar dari rumah.
Sepuluh menit kemudian kami sampai di rumah Haryan. Aku duduk di sofa dan terdiam begitu saja.
Tak ada yang mau kubahas dengan dua sahabatku ini. Aku hanya diam dan memainkan rubik milik Haryan.
"Lo lebih milih mendem ketimbang cerita Ja?" tanya Tisya.
Aku mengangguk. "Gue cerita pas emosi gue udah reda aja. Takut menghina lebih parah dari tadi."
"Kok gue kepikiran kalau lo bakal nangis?" Haryan kini duduk di hadapanku, tepatnya di lantai. "Jangan ditahan."
"Pas gue udah tau fakta Aunia masih hiduo, gue nggak berhasrat nangis. Dia aman, kan? Jelas. Dia udah bahagia juga. Buat apa gue nangisin dia? Diam aja, jadi laki," kataku.
"Ini dah yang bikin cowok nggak sehat mental." Tisya duduk di sofa sebelahku. "Lo terlalu banyak mendem sampai parah. Nggak mau diceritain atau diluapin. Makanya pas itu lo akhirnya nangis-nangis berujung kena gejala depresi ampe berasa trauma natap cewek. Ya, karena itu. Gue cuman duga, sih, hehe, tapi terasa bener aja."
"Iya paling, itu alasannya. Gue nggak bisa nangis aja. Nggak mau, nggak sudi."
Ponsel Haryan berdering. Dia tak jadi nimbrung lantaran sibuk mencari ponselnya di saku. "Guys Raja nelpon." Dia menekan tombol terima dan loudspeaker. "Kenapa?"
"Serius bukan main. Gue satu bus sama dua Aunia! Yang mana satu ini? Baja gimana? Potek dia? Ngamuk? Nangis? Jungkir balik? Roll depan? Loncat jongkok?"
"Ini, mau mati dianya. Kayak patung udah," balas Haryan yang malah membuatku ingin tertawa, "sini lo cepet. Di rumah gue. Dia udah kesurupuan jin anti bucin."
Aku melempar tisu tepat ke kepala Haryan. "Hm, bagus, ejek aja terus."
Haryan mengaduh sok kesakitan. "Oh ya Raja, liatin tu cewek dua ngapain," katanya menyambung pembicaraan dengan Raja.
"Bentar." Terdengar jeda cukup lama dari seberang sana. "Nangis salah satunya. Dipeluk gitu. Itu Aunia sama Aulia? Gue otw ke rumah Haryan kalau gitu. Sekalian ajak Aldo."
Haryan melihatku lalu berdecak resah. "Nangis loh anak orang. Lo nggak mau apa gitu?" tanyanya padaku.
"Nggak."
"Oke." Haryan kembali meletakkan ponsel di telinga. "Kalau bisa lo ajak aja Aunia sekalian ke sini."
"Loh?" Tisya kini ikut melempar kumpulan bunga palsu yang diambil dari vas di atas meja. "Kok lo malah gitu, sih? Kemarin-kemarin nggak suka Baja sama Aunia. Sekarang malah suruh balik."
"Nangis loh dia, lumayan dapat info. Mana tau si Baja bisa jadi betul-betul tenang juga."
"Enggak yakin gue," kataku, "nggak usah suruh ke sini. Buat masalah aja nanti. Capek." Aku bangkit dari kursi. "Gue mau nonton."
KAMU SEDANG MEMBACA
Make Myself Happy
Historia Corta[Sequel of Make You Happy] Baza berharap dapat melupakan Aunia dan melakukan segala hal yang membuatnya bahagia. Tetapi, bagaimana jika ternyata hal yang membuatnya bahagia tanpa mengingat beban adalah kehadiran Aunia? Di malam itu, Aunia datang den...