28 - Dear Dama

365 113 8
                                    

"Mama sebenarnya juga mau bahas ini nih. Jadi kapan Aunia bakal telepon orang tuanya? Sini, biar mama yang bicara untuk ngasih tau kalau anaknya masih hidup."

Memikirkan perkataan ibu sepulang dari mall membuat Aunia kini berdiri di balkon sendirian memikirkan sesuatu. Aku menghampirinya yang sedang melamun.

"Kenapa?" tanyaku sambil ikut meletakkan tangan di railing balkon.

Aunia menghela napas lalu menutup matanya. "Aku nggak tau sama sekali nomor orang tuaku Dam. Sudah lama diganti. Di antara mereka juga nggak ada yang tau."

"Sorry kalau aku nanya, nih, Au. Kamu berapa bersaudara ya, kalau boleh tau?" Aku menatap wajahnya yang muram.

"Berenam. Kakak dua, adik dua. Kami tengah dan nggak terlalu dipedulikan," jawabnya sambil mengatur napas.

"Mau aku carikan kontaknya di sekolah? Mungkin di rapot kamu yang dulu masih ada?" tawarku yang langsung membuatnya menggeleng cepat.

"Aku udah berkali-kali telepon ke nomor itu nggak ada jawaban sama sekali. Yah, nomornya sudah mati. Aku nggak tau harus apa." Aunia menatap ke jalan raya di depan rumah. "Kira-kira kalau aku tinggal lama di sini aja boleh nggak, sih, Dam?"

Pertanyaan itu ... seolah memberi kode bahwa dia siap menjadi kelurgaku kapanpun, bukan?

Alias,

siap menjadi istri, katanya.

Kalau ada Aldo mungkin aku akan dipukul lagi tepat di bagian kepala agar sadar realita.

Aunia bertanya sambil tersenyum samar menatapku lalu mengalihkan pandangannya tatkala wajahku tak menunjukkan ekspresi apapun.

Pertanyaannya barusan memang membuatku melongo.

"Enggak, aku bercanda Dam," kata Aunia kemudian. "Aku bingung aja harus ke mana lagi, selain ke kamu. Temen-temen juga nggak ada yang terlalu baik. Mending kalau mereka masih ingat. Cuma kamu ... yang masih ingat dan peduli ke aku."

Refleks aku menaikkan alis. "Kamu punya nomor Aulia?"

Aunia menggeleng. "Dia blokir aku terus."

"Kalau kamu mau tinggal di sini, itu semua tergantung Mama," jelasku lalu menatapnya lekat, "itu juga tergantung kamu. Bahas ini sebenernya lebih ke hal serius. Aku belum mau bahas itu. Kamu bisa bicarain sama mama aja secara langsung. Karena sekukuh apapun aku, itu semua tergantung beliau. Ngomong aja, mama bakal dengar. Apalagi kamu cewek. Dahlah, jadi."

Aunia menyunggikan senyum lagi. "Makasih Dam, udah selalu ada."

Aku tidak tahu harus menjawab apa.

"Kok kamu diam?" Dia memberanikan diri menatapku lagi.

Aduh.

Gimana ya?

"Aku juga mau ngucapin makasih," kataku.

"Karena aku udah balik ke sini? Nggak usah."

"Iya, pengin ucapin itu," balasku semakin tidak tahu harus menyusun kalimat seperti apa.

"Dama masih cinta, kan, sama aku?"

Hm, pertanyaannya makin dibahas makin jadi.

Aku mengerjapkan mata lalu mengalihkan pandangan ke jalan di bawah. "Buat apa nanya begitu?"

"Mau dengerin aja, lagi." Aunia menarik tanganku dari railing dan menggenggamnya. "Jangan berhenti ya Dam? Jangan berhenti, jangan cuek, dan jangan hilang tiba-tiba. Satu lagi ... jangan bosan."

Aku sadar bahwa kini diriku kembali bisa merasa bahagia.

Bahagia dalam arti lain, menerima diriku apa adanya.

Menerima semua yang telah terjadi dengan lapang dada.

Karena semuanya adalah pelajaran berharga.





Aku takkan lagi terjebak dalam lingkup masalah yang sama.

Aku bahagia.

Make Myself Happy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang