"Asli, gila!" Kulihat Haryan terus berjalan, berbolak-balik sekeliling ruang tamu. "Demi apa?! Orang yang udah meninggal tiba-tiba datang ke rumah di tengah malem dengan keadaan basah kuyup terus pingsan gini. Gue nggak habis pikir dah, asli! Ampun-ampun dibuat kaget terus."
Aku mengabaikannya. Lebih memilih melihat wajah Aunia dengan teliti. Batinku merasa bahwa yang ada dalam pangkuanku ini adalah Aunia, tetapi pikiranku mulai menduga dan berkeliling ke mana-mana.
Karena pingsan, kami memutuskan untuk membaringkan Aunia di sofa ruang tamu dulu lalu menyelimutinya dengan kain tebal.
"Ayo bawa ke rumah sakit aja!" ajak Tisya.
"Jangan!" Haryan malah menolak. "Dia nggak pa-pa cuma basah sama pingsan aja. Nanti pas di bawah ke rumah sakit, sembuh, langsung kabur kayak apa? Siapa yang rugi? Jangan terlalu baik sama cewek ini."
"Ayo bawa ke rumah sakit!" Aku beranjak hendak mengangkatnya.
"Nah, bucin kelas kakap ya gini sudah!" Haryan menahanku untuk kesekian kalinya di malam ini. "Jangan aneh-aneh lagi Baja, tolonglah. Dengerin sahabat terbaik lo kali ini."
Aku pasrah. "Ya sudah. Gue dengerin lo."
"Kita tunggu di sini sampai dia bangun."
"Kalau nggak bangun-bangun gimana?" Adnira kali ini angkat bicara.
Aku melihat ada pergerakan dari Aunia. Aku terduduk di sebelahnya. "Au?"
"Astaghfirullah Baja sempat-sempatnya halus manggil." Haryan menepuk pipi Aunia. "Woi Au, bangun cepetan, jangan jadi beban! Asli dah lo nyusahin banget."
"Haryan!" Aku tentu saja menegurnya, lalu melihat ke Aunia yang sudah membuka mata.
"Dama?"
Semuanya terhenyak melihat Aunia yang kini bangkit. Tatapannya tak bisa kujelaskan, campuran takut, sedih, senang, dan menyesal. Tak lama, air matanya keluar.
"Dama?" Air mata Aunia keluar.
Sebentar, ini asli Aunia?
"Apaan, sih, Dama-Dama, dih!" komentar Tisya. "Siapa lo?"
Aunia menatap kami semua dengan pandangan terkejut. Sambil mengusap air matanya dia berkata, "Aku nggak nyangka bisa ketemu kalian semua sampai bisa masuk rumah ini."
Ucapan itu.
Terdengar ... aneh.
"Apa tujuan lo datang ke sini?" tanyaku. Oke, kali ini aku tak boleh terlihat seolah aku masih peduli dengan Aunia. Ingat, dia meninggalkanku tanpa pamit lalu dengan teganya dia tak memberi kabar sampai aku mengira dia benar-benar meninggal. Aku ke psikolog dan sempat mendapat gejala depresi.
Untung tidak benar-benar depresi sampai kehilangan arah.
Tetapi, tetap saja rumit. Hal ini rumit bagi otakku untuk dicerna.
"Aku mau jelasin sesuatu ke kamu, Dama...." Aunia langsung memelukku dan menangis sesunggukan. "Kamu nggak tau banyak hal yang aku laluin sampai ke sini."
Haryan dan Tisya yang melihat itu bungkam. Tak berani menghina lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Make Myself Happy
Short Story[Sequel of Make You Happy] Baza berharap dapat melupakan Aunia dan melakukan segala hal yang membuatnya bahagia. Tetapi, bagaimana jika ternyata hal yang membuatnya bahagia tanpa mengingat beban adalah kehadiran Aunia? Di malam itu, Aunia datang den...