08 - Selamat Move On!

508 158 6
                                    

Mobilku yang disetir oleh Tisya akhirnya sampai ke rumah Haryan. Setelah puas berkeliling mall tadi, kami mengiakan panggilan ibu Haryan untuk singgah dan makan malam di sana.

Kami berjalan beriringan masuk ke rumah Haryan yang sangat-sangat-sangat luas seperti istana itu. Ya, Haryan adalah anak seorang CEO perusahaan ternama di kota kami. Gayanya saja yang tampak seperti anak kolong jembatan, tetapi ketika kau memasuki rumahnya, maka kau akan terkesima.

Begitulah respons teman-teman baru kami di SMK saat tahu rumah Haryan. Kalau aku dengan Tisya, sih, sudah tidak terkejut. Rumah ini menjadi basecamp kumpul kami.

Haryan kebetulan juga anak satu-satunya yang sering ditinggal di rumah, luar biasa rasa kesepiannya.

Kami disambut oleh ibu Haryan dengan hangat dan dipersilakan duduk di meja besar di ruang makan itu. Suasana makan di malam ini tampak seperti biasaya, tidak ada kendala atau kejadian lebih seru.

Setelahnya, kami pergi ke ruang tengah untuk menonton televisi bersama dan berbagi cerita lagi.

"Jam berapa sekarang?" Tisya melihat jam dengan panik. "Oh, jam sepuluh."

"Nggak usah panik. Nanti gue anter lo pulang," kataku sambil membaringkan diri di sofa sebelah Haryan.

"Motor gue, kan, ada di rumah lo Ja. Gimana ceritanya?"

"Simpel, titip dulu malam ini. Besok pagi kita berangkat bareng. Pulang juga, terus ambil dah motor lo. Kayak biasa."

Haryan tiba-tiba menyeletuk, "Iya Tis, biar lo sama Baja bisa nostalgia masa jadian, haha!"

Aku menoyor kepala Haryan. "Sembarangan!"

Tisya pun duduk menyempil di antara kami. "Ah, gue jadi nyesel putus sama Baja."

"Dih, apaan lo? Tumben," balasku tak suka bila kedua orang ini membahas masa lalu.

Yah, walaupun aku lebih sering dan lebih mudah teringat dengan masa lalu. Serempak Haryan dan Tisya menertawaiku.

"Baja bener-bener udah nggak ada rasa sama gue Yan, rasanya sama Aunia doang dia, mah," kata Tisya masih tertawa sambil bersandar pada bahu Haryan.

"Iya makanya. Gue dari tadi itu ngetes aja Tis. Mau liat aja responsnya Baja gimana. Ada hasrat balikan sama lo buat ngelupain Aunia kagak ya, gitu pikir gue."

Aku menatap mereka dengan sebal. "Aunia terus."

"Loh?" Dua sahabatku itu terkejut. "Tumben giliran bahas Aunia malah males. Biasanya bersemangat banget."

Aku berdecak, mulai lelah dengan dugaan-dugaan yang muncul di pikiran mengenai Aunia.

"Lo nggak niat nyari pelampiasan, Ja?" tanya Tisya yang sepertinya akan menyarankanku sehabis ini.

"Nggak lah."

Haryan mendorong bahuku. "Alah, cari aja, sebentar."

Aku menatap mereka dengan malas. "Siapa? Gue males."

"Males atau males nih?"

"Males banget," jawabku.

Tisya tertawa. "Gue bantuin lo nyari cewek yang bisa buat lo ngelupain Aunia ya Ja. Kalaupun mantan lo yang belom diputusin itu masih hidup, lo harus campakkin dia selayaknya dia nyampakkin lo."

"Bener tuh." Haryan menganggukkan kepalanya setuju.

Sebuah pesan masuk di ponselku. Aku paham ini ulah siapa. Pasti Tisya membagikan nomor pribadi What's App-ku ke teman sekelasnya dari jurusan Akuntansi.

Aku menyipitkan mata menatap Tisya. Cepat sekali gerakannya.

"Gue punya banyak deretan cewek yang mau sama lo Ja," kata Tisya dengan senyum manis yang selalu dilontarkan kepada semua orang.

Aku menganggukkan kepala saja sembari membaca pesan masuk tersebut.

Assalamu'alaikum Baza. Saveback ya, Adnira, dari kelas XII Akuntansi 2.

"Gue seleksi, dari banyak cewek yang ngaku ke gue kalau mereka suka sama lo. Menurut gue yang cocok sama lo cuma Adnira," sambung Tisya, "cantik, pinter, lemah-lembut, nggak beban, berskill, fast respons, setia. Tenang aja Ja, dia bukan temen deket gue. Jadi nggak ada unsur nepotisme, hehe."

Haryan mengernyitkan dahi. "Setia kayak gimana? Setia sama yang ganteng? Halah."

Tisya menjentikkan jari. "Bukan. Dia kasus percintaannya juga sama kayak Baja. Ditinggal doi dan diselingkuhin. Masalahnya, doinya si Adnira yang dulu jelek banget asli."

"Parah lo Tis! Sebagai orang burik, sakit ati gue dengernya," sergah Haryan sambil mengelus dada.

Tisya menggelengkan kepala lalu menjelaskan, "Loh, yang di sana jeleknya enggak cuma di fisik, tapi hatinya juga. Mending si Adnira nyerah aja, kan? Dia mikirnya, sama yang jelek aja ditinggal. Kalau gitu nyari doi selanjutnya yang ganteng aja sekalian. Jadi pas ditinggal ya sepadan. Baja ganteng, udah gitu baik lagi pemaaf. Haryan juga, cuma si Haryan nggak rawat diri aja."

Tisya menunjukkan foto perempuan bernama Adnira kepadaku.  "Nih, lumayan kok anaknya."

Aku mengangguk lagi saja dan membalas pesan Adnira.

Wa'alaikum salam. Oke.

"Selamat move on Baja!" Haryan dan Tisya menepuk bahuku.

Aku tak yakin move on dengan bayangan Aunia yang masih berkelebat di mana-mana.

Rating empat dari sepuluh.

Make Myself Happy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang