"Assalamu'alaikum. Permisi kak, saya Raffael." Seorang remaja laki-laki masuk ke dalam studioku yang baru saja dibuka.
"Wa'alaikumussalam," jawabku sambil mengatur beberapa benda di atas meja.
"Saya Raffael, ini Rangga." Kulihat Raffael menunjuk teman di sebelahnya yang berkacamata. "Kami dari Gang Apollo ... mau ... mau apa ya namanya Ngga?"
Rangga si kacamata itu mendudukkan dirinya di kursi di hadapanku. "Kami mau photoshoot untuk poster film pendek, kak. Tapi nanti bisa tolong dieditkan nggak kak? Kami agak susah untuk edit begitu."
Aku mengiakan permintaan mereka. "Boleh. Nanti kita ke belakang habis ini, buat foto. Jelasin dulu konsepnya mau gimana. Terus, oh ya, yang jadi aktor utamanya siapa?"
Raffael mengangkat tangan. "Saya kak. Kami temannya Devin."
Aku seketika tersadar. "Devin yang dari Smantaraya?"
"Iya Devin," jawab Raffael sambil mendorong-dorong bahu Rangga, "dia nggak naik kelas. Makanya seangkatan sama saya dan Rangga."
Aku tidak tanya padahal, tapi aku turut prihatin dengan Devin. Aku berdiri dan bersiap. "Ayo ke belakang!"
Di ruangan ini ada dinding pembatas antara bagian depan dan belakang. Di depan untuk cetak foto dan di belakang untuk mengambil foto.
"Dam, jaga di depan ya," titahku pada Tzaka yang sedari tadi ada di belakang, memasang kain hijau dengan kamera dalam genggamannya.
"Dam yang foto kali ini. Boleh?" tawar Tzaka dengan pandangan berbinar itu. Dia memang ada maunya sampai-sampai harus menyebut namanya juga.
"Iya nggak pa-pa. Nanti Rangga yang arahin," celetuk Raffael sambil terus mendorong temannya yang bernama Rangga itu. Kasihan dia.
Baru saja aku ingin menolak permintaan Tzaka, Raffael sudah lebih dulu berbicara, "Nanti Devin datang ke sini Kak Baza."
Aku refleks menaikkan sebelah alis.
Sempat terpikir olehku bahwa ini adalah bagian dari rencana Devin.
Aku pun mengangguk. "Ya sudah, Dam, saya percayakan ini ke kamu. Untuk Rangga, silakan suruh adek saya foto sesuai kehendak gaya poster yang kalian mau. Saya tunggu di depan."
Raffael mengacungkan jempol ke arahku. "Anu ... mbanya juga keluar, saya malu dilihatin pas photoshoot," sambungnya pada Aunia yang sedari tadi diam.
Ah sudahlah, ini bagian dari rencana mereka. Entah mengapa aku sangat ingin tertawa melihat adik kelas dari Smantaraya ini. Sok polos sekali dan bilang malu dilihatin padahal sejak lama sudah malu-maluin.
Aku menggandeng Aunia keluar dari bagian belakang dan langsung bertemu Devin di depan.
"Hai Baja!" Dia menyapaku lalu menatap Aunia. "Hai Auuuuuuuuuuuuu, siapa?"
Kurasakan genggaman tangan Aunia semakin kuat.
"Aunia," jawab gadis yang kini bersembunyi di belakangku.
"Loh KOK BISA IDUP LAGI?" Devin mulai berakting. "Kamu, kan, kamu, kan...." Seketika anak satu ini bertingkah seolah sesak napas sambil memegang dadanya. Tolonglah, aku yang malu jadinya.
"Eh eh eh Dev, tenang dulu tenang. Duduk-duduk." Aku mencoba untuk mengikuti alur dramanya sementara genggaman Aunia semakin kuat.
Loh takut?
"Gue butuh penjelasan!" Devin sehabis duduk malah berdiri. "Lo siapa sebenernya?"
"Aku Aunia."
"Ah, nggak mungkin."
"Dama, bantu jelasin!" pinta Aunia padaku.
"Ehm, memangnya apa yang buat kamu nggak yakin Dev?" tanyaku.
"Aunia punya kembaran! Bisa jadi kamu kembaran Aunia, kan?" tuduh Devin terlalu cepat.
"Aku memang Aunia!" Aunia menegaskannya sekali lagi. Matanya melotot, juga napasnya terdengar memburu. "Kalau memang ke sini cuman untuk ngancam aku, mending keluar!"
"Eh Aunia, jangan begitu." Aku menengahi mereka.
"Loh, takut kepergok Au?" Devin semakin maju. Dia semakin semangat memojokkan. Saking semangatnya, dia terlihat berkeringat saat memasuki ruangan ini.
Yah, ruangan ini menjadi panas semenjak dia datang.
Aunia yang ada di belakangku langsung memeluk. "Aku Aunia, beneran! Jangan ditanya begitu. Kamu ngeri!"
"Emang lo ingat gue siapa?" Devin malah menekan Aunia terus. "Ngaku nggak lo siapa?!" Dia sampai menunjuk-nunjuki Aunia.
"Dev, Dev!" tegurku.
"Kok gue ngira lo Aulia ya?" Devin masih terus menyudutkan Aunia yang berdiri di belakangku dengan pertanyaan bernada tinggi itu. "Hayo ngaku! NGAKU!"
"Dev." Aku hanya berpura-pura seolah berusaha membuat dia berhenti. Dalam hati, aku mendukungnya memojokkan Aunia dengan pertanyaan itu.
"Dia bukan Dev," kata Aunia padaku, "Itu nama palsu. Nama asli dia Deanwar Ianov."
Devin seketika bungkam.
Loh, ada apa?
Aku menatap Devin dengan sorot penuh tanya sedangkan dia mengerjapkan mata dan perlahan menurunkan tangannya yang menunjuk Aunia tadi.
"Kenapa? Kenapa?" tanyaku memecah hening suasana.
Devin di hadapanku berani menatap kami lagi. "Iya, dia memang Aunia."
= Make Myself Happy =
*Author notes bentar*
Dibaca ya.Jadi timeline cerita ini lebih dulu dari ceritaku yang judulnya "Heiyo Nayl!" karena Raffael, Rangga, dan Devin muncul ketika mereka baru aja kenal Baza.
Nggak ada hubungan lekat di antara cerita keduanya. Jadi bisa dibaca terpisah. Tapi yah, saran, biar seru baca juga cerita yang itu.
Harapannya, semoga kalian ketagihan baca cerita-ceritaku yang lain :v
Sekian terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Make Myself Happy
Conto[Sequel of Make You Happy] Baza berharap dapat melupakan Aunia dan melakukan segala hal yang membuatnya bahagia. Tetapi, bagaimana jika ternyata hal yang membuatnya bahagia tanpa mengingat beban adalah kehadiran Aunia? Di malam itu, Aunia datang den...