30 - Berkat Rapot

346 118 11
                                    

Perkara semalam membuatku nekat hari ini.

Aku melangkah dengan tergesa keluar dari ruang guru sambil membawa sebuah buku hitam. Jantungku terus berpacu tak stabil sambil membuka lembaran-lembaran rapot yang berhasil kuambil.

Rapot lama Aunia semasa sekolah di sini. Tentunya, di sana masih tertera nomor telepon orang tuanya yang sangat aku butuhkan.

Cukup lama aku berdebat dengan walikelasku dan melemparkan banyak sekali alibi agar ia mau memberikan rapot yang katanya tidak penting ini padaku.

Ada sesuatu yang mengganjal dari semua tingkah laku Aunia. Ketahuilah, aku menyadarinya sejak awal.

Aku terus melangkah hingga aku sampai di ujung gedung jurusan Multimedia. Tepat sekali tempat itu kosong dan aku tak akan dikerumuni oleh siapapun di sana.

Kukeluarkan ponsel dari saku dan mulai mengetikkan nomor orang tua Aunia.

Aku meneleponnya.

Satu detik memanggil.

Dua detik.

Tiga detik.

Empat detik.

Lima detik.

Ah, sudahlah nomor ini memang sudah mati.

Namun, tulisan 'Berdering' tiba-tiba tertera di bawah nomornya disusul dengan getar pada ponselku.

Panggilan diangkat.

"Halo Assalamu'alaikum?" Suara pria di seberang sana terdengar jelas. "Ini siapa ya?"

Aku ragu untuk menjawabnya.

"Halo?"

"Iya pak, halo, Wa'alaikumussalam. Ini dengan...."

Siapa nama ayah Aunia?

Siapa?

Haruskah kesebut nama Aunia?

Aku juga harus menyebut diriku siapa?

"Ini dengan ayah dari Aunia ya? Saya-"

"Iya saya memang ayah Aunia, tetapi jika tujuan anda kali ini untuk membahas anak itu. Mohon maaf, saya harus menutupnya. Karena saya sendiri tidak kuat untuk membahas anak itu."

Panggilan pun berakhir. Aku terkejut ketika mengetahui bahwa nomor orang tua Aunia jelas-jelas aktif. Suara pria itu memang suara ayah Aunia yang pernah kudengar sekitar sepuluh bulan lalu. Aku juga makin merasa tak enak ketika panggilan itu berakhir begitu saja seolah aku sedang menelepon Haryan.

Jika terbukti nomor ini masih aktif. Lantas, kebohongan apa lagi yang dikatakan Aunia kepadaku?

Aku bergegas menutup buku itu dan berjalan ke gedung Akuntansi.

Riuh suara para perempuan di sepanjang koridor ketika melihat aku melangkah. Cukup beberapa detik, kulihat Tisya baru saja keluar kelas dan menghampiriku.

Dengan percaya diri, dia langsung menggandengku untuk keluar dari kawasan jurusan Akuntansi.

"Gimana tuan sekeras Baja? Sudah merasa bosan dengan Aunia hingga akhirnya berpaling ke Adnira?" tanyanya ketika kita sampai di tangga, hendak turun ke bawah.

"Gue mau cari Adista Tis," kataku langsung ke inti.

"LOH KOK MALAH BERPALING KE ADISTA?"

Aduh Tisya, sulit juga memberi kode hanya melalui satu kalimat kepadanya.

"Gue butuh Adista untuk ngatur pertemuan gue sama Devin," kataku.

"Siapa lagi itu?!"

"Adista itu dulu orang yang dimanfaatin Aunia, Devin itu dulu orang yang satu SD sama Aunia. Gue butuh ketemu mereka berdua untuk pastikan Aunia yang sekarang sama gue itu siapa," jelasku dengan volume suara kecil.

"Jadi lo mikir kalau yang lagi tinggal sama lo sekarang itu bukan Aunia, melainkan Aulia?" Tisya menebak dengan tepat.

"Lebih parahnya lagi, gue curiga kalau itu Aulia yang dibuang sama Faldy. Yah, walaupun gue bersikap seolah percaya aja. Gue juga setuju sama dugaan-dugaan aneh Haryan selama ini. Semua itu bisa jadi. Bisa jadi itu Aulia yang deketin gue karena harta. Gue rasa, ada kecil perbedaan di antara yang dulu sama yang sekarang. Jadi, gue drama dulu sementara, seolah gue iyain dia Aunia sampai nemu jawabannya. Semalam gue pergokin dia wudu, mau salat tahajud."

"Wih, udah taubat?" Tisya terbelalak mendengarkannya. "Ah, suudzon aja lo kali."

Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Duh bukan gitu ... di rumah gue, kan, ada tempat khusus wudu, samping kamar mandi. Kenapa harus wudu dari kamar mandi segala? Mandi malem?"

"Wah. Mencurigakan, sih." Tisya mulai mengerutkan alis dan memegang dagunya. "Jadi si orang yang ada di rumah lo ini-nggak tau siapalah, pokoknya sama aja-bohong kalau Aunia sama Aulia itu kembar nggak identik?"

"Menurut gue mereka kembar identik," jawabku yakin.

"Terus Aunia yang sebenernya ke mana dong?"

"Perkiraan, beneran sudah meninggal," kataku lancar walau kenyataannya itu menyakitkan.

Make Myself Happy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang