10 - Niat Belajar

435 140 3
                                    

Hari ini Haryan datang ke rumahku untuk belajar matematika. Untungnya, Dam—Tzakafardo Damagara—adikku sedang tidak enak badan, sehingga untuk malam ini aku menutup studioku.

Tzaka sangat tidak ingin bila aku membuka studio, karena dia akan ketinggalan banyak pengalaman. Ya sudah, aku iyakan saja selagi Haryan juga akan datang.

Kusambut Haryan di depan pintu. Kami pun berjalan ke ruang tengah dan mulai belajar bersama. Sejujurnya, bila aku belajar bersama Haryan pastinya tidak akan serius.

Selalu saja kami mendapat pembahasan di luar pelajaran. Selalu tidak fokus, sampai akhirnya bel rumahku yang berbunyi.

"Dzikav, bukakan pintu sebentar, tolong," titahku pada adikku yang bungsu—Dzikavra Damagara. Aku masih sibuk antara berbicara dengan Haryan dan fokus ke tugas matematikanya.

Anak itu berdiri dengan patuh dan berjalan untuk membuka pintu. Masih kecil, masih patuh, dan aku bersyukur punya adik seperti itu.

Kudengar pintu terbuka, tetapi aku masih sibuk dengan Haryan. Tak sadar, tamu baru itu sudah berlari ke arah kami penuh semangat.

Aku terkejut, Haryan juga, kami sontak menjatuhkan pensil dalam genggaman. Tisya selalu datang tiba-tiba dan merusak waktuku bersama Haryan, lagi boy's talk juga. Yah, walaupun dia satu-satunya pencegah kami berdua debat argumen.

Gadis itu duduk menyempil di antara kami. "Bahas apa nih?"

Haryan menatap malas ke Tisya. "Mtk, ngapain lo ke sini? Lo lacak gue ya?"

"Kalian kumpul kok nggak bilang, sih. Gue bawa orang deh ke sini." Tisya menunjuk ke arah pintu utama yang tampak dari ruang tengah.

Kulihat Dzikavra sedang menggandeng seseorang masuk ke dalam rumah.

"Ayo kita comblangin Baza." Kudengar bisikan Tisya ke Haryan yang cukup nyaring.

Sontak, aku menatap mereka tak senang. "Lo paksa dia datang ke sini?" tanyaku, masih dengan alis bertaut menghadap Tisya.

Tisya melirik ke Adnira. "Enggak," katanya dengan ekspresi tak tahu yang dibuat-buat, "dianya juga mau. Jadi yah udah."

Aku berdecak. "Ya ampun Tis. Lo nggak perlu segitunya."

Haryan menyela, "Dia berusaha nolong lo Ja. Biar lupa sama Aunia."

Tisya manggut-manggut. "Adnir, duduk sini!" Dia mendorongku agar memberikan tempat Adnira duduk di sebelahku.

"Sebenernya nggak asik, tapi ini demi Baja, jadi gue iyakan aja sudah, ah," komentar Haryan, "ampun ini mah bukan belajar bareng namanya. Double date! Ah tapi gue nggak mau sama Tisya, sensian."

Tisya sigap menampol Haryan. "Diam!" Dia berdiri dan menarik paksa Haryan untuk berdiri. "Yan, temenin gue ambil makanan di kulkasnya Baja dong."

Ah, aku mau ditinggal berdua dengan Adnira yang kini baru saja duduk di sebelahku.

Tisya bahkan menarik Dzikavra untuk beranjak dari ruang tengah. Begitu juga dengan Tzaka, Tisya menyuruhnya untuk tidak lewat di ruang tengah.

Entah apa yang dilakukan oleh Tisya jika orang tuaku sedang tidak sibuk bekerja, alias sedang bersantai di rumah. Mungkin dia akan mengusirnya juga. Tisya tak akan pernah gengsi meminta tolong.

Adnira tersenyum ke arah Tisya yang sudah berjuang sejauh ini. "Liat deh Ja, temen lo. Segitunya."

Aku mengangguk. "Parah, sih." Kualihkan pandanganku ke televisi.

"Ja, gue mau ngomong soal Tisya yang ... huft, pokoknya lo tau lah ya maksud mereka itu apa. Oke, mending gue jujur aja," kata Adnira sebelum menghela napas panjang.

"Iya silakan."

"Lo udah tau 'kan kalau gue suka sama lo—"

Dor!

Dor!

Dor!

"DAMA!"

Suara pintu utama yang digedor dengan berontak itu, membuatku terkesiap menoleh. Suara yang kukenal. Ucapan Adnira bahkan terhenti.

Sekali lagi, pintu digedor. Membuat seisi rumah keluar dari ruangan untuk melihat ke pintu.

"Ada apa?" tanya Tzaka yang keluar dari kamarnya.

Aku berdiri dan saat itu juga kulihat Tisya keluar dari dapur diikuti Haryan serta Dzikavra yang sedang makan es krim.

Pintu digedor lagi lebih kencang. Kali ini disusul isakan tangis meronta-ronta masih memanggil panggilan rumahku, Dama.

Jujur, aku ketakutan.

Itu suara perempuan.

"Siapa itu?" Tisya terlihat panik.

Haryan membawa pisau dari dapur. "Persiapan semuanya. Jaga diri. Ja, lo maju lebih dulu. Nanti kalau ada apa-apa kita semua serang dari belakang."

"Tisya, Adnira, kalian berdua jaga adek-adek gue." Aku melangkah dengan perlahan ke depan.

"Hati-hati Baja," ujar Adnira sambil menepuk bahuku dua kali, "gue percaya lo bisa."

Gedoran pintu itu berhenti. Aku melangkah lebih maju hingga ke jendela sebelah pintu utama. Haryan berdiri tepat di belakangku.

"Keliatan nggak Ja itu siapa?"

Aku menggeleng. Memang tidak terlihat. Aku perlu sedikit mendorong tubuh ke depan agar bisa melihatnya melalui jendela, tetapi untuk keadaan genting ini tetap tidak bisa kulihat.

Jantungku sudah berdegup kencang sejak tadi. Sekali lagi aku mengintip melalui jendela dan aku mendengar tangisan kencang gadis di depan rumahku itu.

Aku semakin penasaran. Ingin rasanya aku membuka jendela untuk melihat siapa itu.

Pintu kali ini diketuk dengan lemah. Aku masih belum mau membukanya, memilih memasang pendengaran.

"Dama ... tolongin aku," kata gadis di luar sana lalu terbatuk-batuk.

Aunia?

Make Myself Happy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang