42 - Dingin Baja

381 113 5
                                    

Aku menggerutu ketika suara Haryan terdengar menggelegar dari ruang tamu. Padahal aku sedang menikmati film Indonesia yang kutonton di televisi Haryan. Aku bangkit dan disambut Tisya di sofa.

"Kenapa lagi anak itu?" tanyaku padanya.

Bukannya menjawab, Tisya malah mendorongku menuju halaman rumah Haryan. Di pintu aku melihat lima orang di sana.

Ada Aldo dan juga Raja. Ada pula Aunia dan Auria yang tadi. Pandanganku tertuju pada wajah sembab Aunia. Dia habis menangisi apa?

Tiba-tiba Aunia berlari ke arahku secepat mungkin. Aku kebingungan. Ini mau ngapain? Mau peluk? Sontak aku termundur.

"Mau apa?!" Langsung kutegurnya.

Aunia berhenti tepat di hadapanku, mengusap air matanya yang jatuh di pipi. "Maafin gue, Baja." Dia menangis lagi hingga terduduk di depanku.

Eh, eh ini kenapa?

"Pas denger dari Tisya kalau lo sempet stress karena gue ... gue jadi...." Aunia menarik napas karena terlalu sesak.

Aku menggeleng. "Baru sekarang nangis?"

Aunia terisak makin kuat. Dia mengangkat telapak tangan tinggi, agar aku tak melanjutkan bicara. Dia lalu membuang muka selagi mengatur emosi.

Aku juga ikut duduk di hadapannya. Halaman luas Haryan ini untungnya bersih tak seperti pewarisnya. "Baru sekarang nangis? Dulu ke mana aja?" Kulanjutkan pertanyaan itu.

Tangisan Aunia makin menjadi. "Maafin ... gue Ja." Dia lanjut menangis.

Hening terjadi di sekitar. Hanya terdengar bunyi kendaraan yang lewat di jalan raya depan rumah Harya . Semua pandangan orang tertuju ke arah kami karena alaman luas ini hanya dipenuhi tangisan Aunia.

Aku tidak tahu harus apa. Jadi, kubiarkan saja sampai dia malu sendiri. Jahat Baza, iya makasih.

Aku memangku wajahku dengan telapak tangan sebelah kanan, meratapi Aunia yang masih mengatur napas. "Bukan momen sad malah jadi konyol."

Aunia mengusap wajahnya. "Gue nggak tau kalau lo bakal lebih sakit dari yang gue alamin. Gue juga nggak tau kalau lo beneran peduli banget sampai segitunya."

"Ya, karena lo biasa ninggalin orang."

Aunia menghela napas. "Iya gue biasa, tapi baru kali ini gue denger orang yang gue tinggalin segitunya."

"Udah puas nangisnya? Udah gih, balik sana. Udah nggak ada yang mau dijelasin, kan?" Aku tak mau membahas itu, memilih berdiri. "Nggak baik nangis di depan mantan."

"Baja kita belum putus." Aunia menarikku untuk duduk lagi.

Dengan mudah aku mengiakan. "Oke, kita putus."

"Nggak gitu!" Aunia meringis menatapku. Dia semakin terlihat panik. "Maafin gue Ja. Maafin gue. Please, gue nggak bakal tenang balik kalau begini terus."

"Minta maaf juga ke orang tua lo."

"Habis ini, janji! Tapi lo maafin gue dulu. Gue nggak nyangka aja tiba-tiba lo ngomong sedingin itu ke gue. Rasanya nggak enak. Gue juga takut sehabis ini lo malah makin kenapa-kenapa. Gue jadi takut balik ke Singapura. Gue takut lo ... malah beneran depresi," jelasnya panjang lebar.

Aku diam karena bingung harus menjawab apa.

"Ja, jangan diam gitu."

Make Myself Happy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang