Part 88

119 21 16
                                    

Pagi yang cerah...
Matahari bersinar terang nampak memantulkan cahaya di deaunan yang terkena siraman air.

Hafla berlarian di halaman depan membantu Ningsih yang menyiram tanaman. Tangan mungilnya meluruskan slang air yang terkadang terbelit hingga menyebabkan aliran air tersendat.

Bekali-kali tukang kebun melarangnya mengerjakan ini itu agar ia tak kelelahan, tapi Hafla yang tak bisa diam justru malah makin bersemangat.

“Dek, duduk saja di teras. Nanti bajunya basah.”

Hafla malah tertawa sambil menggeleng. Tangannya gemas menyentuh bunga-bunga yang nampak cantik mengembang. Ningsih menatap Hafla penuh sayang.

Wes jarno ae, Cak.” tutur wanita itu. (Sudah biarkan saja, Cak)

Hafla toh tak mengacau. Biarkan saja bocah mungil itu mengeksplore halaman depannya. Nampak gemas dirinya menciumi mawar merah dan juga melati yang tumbuh di pojok taman.

“Eyang, boleh nggak kalau Afa petik satu bunga mawarnya?” tanyanya sambil menunjuk dengan telunjuk mungilnya.

Ningsih tersenyum,”Boleh, tapi hati-hati. Mawar itu banyak durinya.”

Tukang kebun dengan segera bergegas mendekati Hafla. Jangan sampai anak itu terluka saat memetik mawar. Dengan menggunakan gunting tanaman, pria paruh baya itu memetik bunga yang masih segar. Mata Hafla berbinar senang.

“Pasang di sini,” tujuknya pada telinga kanannya.

Ningsih tersenyum melihat tukang kebun memasangkan bunga di telinga Hafla yang tertutup jilbab. Jelas saja bunga itu terjatuh-jatuh.

“Nggak bisa, Dek. Jilbabnya buka dulu,” ucap Ningsih.

Hafla menoleh sambil tertawa, kepalanya tergeleng. Mana mau bocah itu membuka jilbab saat ada pria yang tak ada hubungan kerabat dengannya berada di situ.

Akhirnya dipegangnya saja mawar itu dan mengendus baunya berkali-kali. Ningsih mengawasinya sambil tersenyum. Dinikmatinya semua.

Sebentar lagi Hafla sudah akan pulang kembali ke Jakarta. Sepi sekali pastinya rumahnya yang besar ini.

Tak ada lagi celoteh dan keriangan Hafla yang akan mengisi hari-harinya. Kehadiran Hafla seperti memberikan energi dan semangat baru.

Hafla bukan anak yang merepotkan. Agak keras kepala memang bila sudah ada maunya, namun bisa diarahkan kalau memang apa yang bocah itu inginkan belum bisa dipenuhi.

Yang penting alasan yang dikemukakan harus bisa masuk dalam akalnya, Hafla pasti akan menurut.

Senyum Ningsih makin lebar melihat perhatian Hafla yang sekarang beralih pada kupu-kupu yang tiba-tiba berkunjung ke tamannya.

Dikejarnya ke sana ke mari kupu-kupu berwarna hitam dengan bintik kuning. Cantik sekali.

Sementara di ruang tengah, Risna memandu Hafidz membantu Ersha mengenakan arm sling. Wanita itu nampak kesakitan tapi kemudian terlihat lebih nyaman.

“Obatnya sudah diminum?” tanya wanita itu penuh perhatian.

Ersha mengangguk sambil tersenyum. Risna tersenyum lega.

“Besok jangan lupa kontrol untuk ganti perban, ya. Di rumah sakit atau klinik terdekat nggak papa,” ucap Risna serius.

Ersha sekali lagi mengangguk sambil tersenyum. Risna menghela napas panjang, matanya berubah layu.

Ersha dan Hafidz saling berpandangan, pria muda itu segera pamit ke taman depan memberi waktu Risna berdua dengan istrinya.

Hafidz menangkap gelagat gadis itu sepertinya ingin curhat sesuatu, pastinya tak bisa leluasa bila ada dirinya di situ.

Lillaah..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang