Part 56

132 23 18
                                    

Hafidz menghela napas panjang. Laptop di hadapannya masih menyala. Pikirannya agak tak tentu arah mengingat ucapan Ersha padanya pagi tadi.

Kalau ia sampai salah bicara pada Aliya, justru akan membuat permasalahan semakin rumit. Adiknya itu bukannya lega namun makin menjadi-jadi kemarahannya pada sang ayah.

Sebagai anak apalagi sesama perempuan pasti Aliya akan membela sang ibu. Wanita muda itu bisa marah sekali bila mengetahui kalau sang ayah menolak pemuda idaman karena masih ada rasa dengan wanita masa lalu yang merupakan ibu dari sang kekasih.

Saat ini Aliya sedang menjaga jarak denganya karena ia sudah membeberkan masalah Mario pada Fauzi. Sepertinya saat ini atau entah sampai kapan bukan ia orang yang tepat untuk membahas permasalahan ini dengan Aliya.

Mungkin yang paling tepat yang mampu menjelaskan duduk persoalan mengapa Abi Arkhan menolak Mario adalah Ersha...

Sejak awal Aliya sangat terbuka sekali pada istrinya itu. Membeberkan dengan sejujur-jujurnya perasaannya pada sang pemuda idaman sejak pemuda itu baru saja lulus sekolah. Hafidz bahkan sama sekali tak tahu menahu.

Perasaan Aliya justru tercium olehnya saat keluarga Fauzi bermaksud meng-khitbah Aliya ketika adiknya itu sedang menyelesaikan studi S-2 nya.

Ah... mendadak Hafidz merasa tak punya kepercayaan diri dan juga keberanian untuk bicara berdua saja dengan adiknya itu. Dengan segera tangannya meraih telpon dan menelpon sang istri.

Di rumah Arkhan, Ersha masih sibuk membantu Hasna memasak. Agak tersentak wanita itu mendengar suara gawai yang akhir-akhir ini jarang sekali berdering.
Hafla nampak berlari kecil meraih gawai sang bunda yang tergeletak di bufet dekat televisi.

“Nda... dari abi.” Ucapnya dengan tangan terulur.

Ersha tersenyum manis sambil menerima dan mengucap terima kasih.

“Ya, Mas... Assalamu’alaikum...”

Wa’alaikummsalam, Sayang... sedang apa?”

Ersha bertemu pandang dengan ibu mertuanya kemudian melempar senyum manis.

”Sedang bantuin ummi masak. Kenapa, Mas?”

“Oh... Hafla lagi apa?”

Ersha menengok apa yang sedang dikerjakan anaknya. Oh, sibuk menggambar squishy kuda poni pemberian Aliya kemarin.

“Menggambar, kenapa, Mas?” sekali lagi Ersha bertanya.

Nalurinya seperti berkata kalau Hafidz akan membicarakan sesuatu yang penting.
Hafidz menghela napas panjang...

“Hm... Nda... Abi terus terang saja kepikiran sama omongan Nda tadi pagi. Mendadak nggak punya keberanian membicarakan masalah abi ummi sama Aliya. Apa Nda sajakah yang bicara? Kalau sesama wanita pastinya lebih mudah buat kalian.”

Ersha menahan napas. Sekilas dipandanginya Hasna, nampak tak terganggu wanita itu dengan telepon yang ia terima. Masih sibuk melanjutkan masak seperti biasa. Kakinya melangkah agak menjauh dari ibu mertuanya.

“Hmm... Mas serius? Hm.... maksud Echa, ini kan masalah keluarga Mas Hafidz... Echa kan cuma menantu, Mas. Apakah pantas?”

Hafidz tertawa kecil,”Echa kan sudah menjadi bagian dari keluarga... ana rasa tak ada masalah...”

Ersha menghela napas panjang,”Kalau berdua sama Mas Hafidz gimana?”

“Ah... nanti malah Aliya nggak terbuka, Nda. Dia kan masih kesal sama ana soal tempo hari itu. Mending Nda berdua Aliya saja. Kalau perlu ajak Hafla biar suasana nggak terlalu kaku.”

Lillaah..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang