Part 68

144 23 28
                                    

Tanah makam masih basah. Tak banyak orang yang mengantar kepergian sang mayit.
Tak ada karangan bunga, tak ada teman dan sanak saudara yang datang berduyun-duyun. Hanya bunga tabur saja dan seorang wanita paruh baya yang menatap getir tanah makam.

Ikhlas... wanita bernama Ningsih ini sudah ikhlas dan pasrah pada Sang Khalik. Ini sudah jalan terbaik.

Memang tragis nasib keponakannya itu namun ia percaya ini sudah yang terbaik.

Adiknya sudah pergi mendahului saat anaknya harus bolak balik masuk rawat inap rumah sakit jiwa saking tak kuat menahan sedih dan pilu. Sekarang sang putri semata wayang menyusul ibunya usai terjun bebas dari sebuah jembatan penyeberangan setelah melarikan diri dari rumah sakit jiwa.

Tasya Lestari Banowati itulah nama yang tertulis di nisan yang sekarang tertancap tegak.

Ningsih menghela napas panjang. Air matanya yang sejak tadi mengembun luruh perlahan.
Saat ini hati dan logikanya tak bisa berjalan selaras. Hatinya ikhlas, namun otaknya tak mampu membayangkan bagaimana bila Risna tahu soal ini.

Kondisinya masih belum banyak perubahan. Tasya hanya menjadi gila saja, putrinya sudah semarah itu... apalagi kalau anak gadisnya itu tahu adik sepupunya sekarang sudah tiada. Apa tak makin menjadi-jadi kemarahannya?

Ingatannya terlempar...

Saat sedang menunggui putrinya di rumah sakit, mendadak ada panggilan telpon di hp Risna. Ningsih segera mengangkatnya dan menjawab karena tertulis RSJ disitu.

"Dokter Risna? Bisa segera datang ke RSJ?" begitu suara yang terdengar di ujung sana.

Ningsih langsung menjawab "iya".
Nanti saja menjelaskan kalau saat ini yang menerima telpon bukanlah Risna tapi ibunya. Ini pasti urgent.

Kedatangannya sesegera mungkin pasti lebih dibutuhkan ketimbang banyak bicara di telpon. Ningsih langsung minta ijin perawat untuk menitipkan putrinya.

Sampai di RSJ Ningsih langsung dipersilakan memasuki ruang Direktur Rumah Sakit. Ia bertanya-tanya dalam hati ada apa gerangan?

Ternyata Direktur Rumah Sakit sendiri yang menyampaikan permohonan maaf atas kelalaian salah seorang pegawai yang menyebabkan pasien atas nama Tasya bisa kabur dari rumah sakit ini.

"Pasien Tasya menghilang usai melaksanakan senam pagi bersama, Bu. Sepertinya halusinasinya kambuh lagi. Kami langsung melakukan pencarian, namun malang... tak lama polisi menelpon rumah sakit dan mengatakan kalau ada pasien yang melompat dari jembatan penyeberangan."

Ningsih tercekat. Ya Allah... apalagi ini..?

"Kami mohon Ibu tidak membawa masalah ini ke ranah hukum... kami siap mengajukan kompensasi atas keteledoran kami."

Ningsih menelan ludah. Kompensasi? Nyawa keponakannya akan ditukar dengan sejumlah uang? Ingin sekali rasanya ia marah dan memaki pria paruh baya di hadapannya namun diurungkan niatnya. Percuma... ia marah-marah pun Tasya tak mungkin hidup lagi.

"Saya mau lihat keponakan saya." Ujarnya datar dan tawar.

Dokter tersebut mengangguk dan mengantar Ningsih ke sebuah ruangan. Ningsih luruh saat melihat tubuh Tasya yang sudah tak bernyawa.

Tiba-tiba Ningsih tersentak. Sesuatu dalam tasnya bergetar. Ningsih segera membuka tas dan melihat gawainya. Dari perawat rumah sakit.

"Ya, Suster. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Bu, mohon segera ke rumah sakit, ya. Ada obat yang harus ditebus untuk Dokter Risna."

Ningsih menghela napas dalam,"Baik, Suster. Saya segera kesana."

Lillaah..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang