Part 51

143 24 18
                                    

Suasana mall sore itu cukup ramai...
Ersha, Hafidz dan Hafla sedang berjalan-jalan santai sebenarnya. Namun tak lama Aliya menelpon Hafidz.

Setengah memaksa, wanita itu minta janji bertemu sekarang juga.
Ersha akhirnya bersama Hafla pamit untuk menghabiskan waktu di arena bermain, memberikan privasi kepada Hafidz dan sang adik.

Aliya nampak begitu memendam kemarahan. Wajahnya merah sekali. Ersha sepertinya mampu meraba masalah apa yang akan dibahas oleh adik iparnya itu.

Tempo hari Ersha sedikit menyesalkan sang suami yang sudah bicara soal Mario pada Fauzi. Itu bukan wewenang Hafidz.

Hafidz harusnya mampu memilah kapan ia harus bersikap sebagai kakak, kapan ia harus bersikap sebagai seorang sahabat. Itu tak bisa dicampur adukkan.

Hafidz menatap sendu Aliya yang marah padanya. Aliya tak suka abangnya itu masuk dalam area rumah tangganya.

Mengadukan permasalahannya tempo hari pada Fauzi yang sudah menjenguk Ummi Sarah dan pertemuannya dengan Mario. Aliya sungguh tak bisa menerima.

“Maafkan abang, ya... abang kira Fauzi berhak tahu, Liya.”

“Itu urusanku dan Bang Fauzi, Bang! Tolong jangan ikut campur..!” desisnya tegas.

Hafidz menahan napas. Beberapa pasang mata menatap mereka agak menyelidik, ia jadi tak enak hati.

“Fauzi marah sama kamu karena masalah itu? Abang bisa bantu bicara...” ucap Hafidz hati-hati.

Aliya melengos pelan sambil membuang pandangan.

“Abang hanya ingin Fauzi tahu kalau...”

“Kalau apa? Kalau ana baru ketemuan sama pemuda idaman hati?” tanyanya kesal dengan intonasi suara yang berusaha keras ia redakan agar tak mengundang perhatian.

Kali ini Hafidz menahan senyum geli. Ia terkenang akan ucapan sahabatnya yang sama persis seperti yang barusan Aliya katakan.

Pasti ungkapan itu adalah ungkapan dari Fauzi. Aliya makin kesal melihat abangnya yang malah menahan senyum.

“Ini yang terakhir kali ya, Bang! Jangan pernah memasuki area rumah tangga ana kalau ana nggak minta Abang untuk membantu mencarikan solusi!” Pintanya tegas.

Assalamu’alaikum!” pamitnya sambil berlalu.

Hafidz menjawab salam sambil geleng-geleng kepala.
Adiknya ini makin hari makin menjelma menjadi manusia yang sama sekali tak mampu ia kenali lagi.

Ya Allah...semoga saja Fauzi mampu menjalani ujian-Nya dalam hal menaklukkan hati adik perempuannya itu.

*****

Ersha memandangi Hafla yang sedang menghabiskan waktu bermain di kolam bola.

Senyumnya terkembang melihat tingkah anaknya itu yang berusaha memenuhi kebutuhan sensasi pada setiap reseptor tubuhnya.

Berkali-kali Hafla tanpa bosan menerjunkan diri pada lautan bola usai menghabiskan waktu menelusuri terowongan bertali.
Tawanya yang lepas terasa begitu menyejukkan hati Ersha.

Ersha tersentak karena ada seseorang yang menepuk bahunya. Hafidz.
Senyumnya makin merekah.

“Hafla masih belum mau pulang?”

Ersha menggeleng,”Betah pastinya dia, Bi kalau sudah main di kolam bola.”

Hafidz mengangguk sambil tertawa. Matanya memperhatikan tingkah si putri kesayangan.

“Ada apa sama Aliya?” tanya Ersha lembut dengan senyum manis.

Hafidz tertawa kecil,”Dia marah karena ana bahas soal Mario ke Fauzi.”

Lillaah..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang