Part 4

246 26 8
                                    

“Kamu jadi ke kantorku kan hari ini, Sayang? “

Ferdy bertanya pada Siska sambil mengenakan kaos kaki usai sarapan pagi ini.

Siska yang sedang merapikan gelas kopi dan piring bekas cemilan suaminya menoleh.

“Iya, jadi. Jam sembilan, kan? “

“Iya.”

Siska mengangguk kemudian menuju dapur mencuci piring.
Ferdy yang sudah siap, memperhatikan sejenak kelengkapan seragamnya kemudian menuju dapur.

“Aku berangkat ya, Sayang. “

“Iya, Mas. “

Siska segera mengeringkan tangannya dan menyambut uluran tangan suaminya, mencium takzim. Ia mengantar Ferdy sampai ke depan.

“Hati-hati ya, Mas. “

Ferdy mengangguk sambil tersenyum manis. Pemuda gagah itu mengucap salam kemudian berangkat dengan berjalan kaki.

Jarak kantor dan komplek perumahannya tak jauh. Siska tersenyum bahagia sambil mendoakan dalam hati agar suaminya dimudahkan segala urusannya.

Ia kemudian masuk, beberes dan kemudian bersiap-siap.

Agak gugup juga sebenarnya ia akan menghadap ibu komandan. Ia tak bisa terlalu sering ikut dalam acara-acara organisasi karena akan bekerja dan juga merampungkan kuliah spesialisnya yang akan dimulai pada bulan September nanti.

Bagaimana bila ibu komandan tak suka dengan dirinya yang baru juga bergabung tapi sudah tak bisa mengikuti serangkaian kegiatan organisasi.
Ia khawatir dianggap sok sibuk.

Siska menghela napas panjang. Ia harus mengusir semua pikiran-pikiran negatif. Ia harus optimis. Ibu komandan pasti bisa memahami kesibukannya.

Sementara di rumah sakit, Hafidz diminta perawat untuk memandikan istrinya.

Pemuda itu dengan lembut dan hati-hati menyekanya dengan waslap dan air hangat yang sudah disediakan.

Yaa Habibatii…. Abi seka badannya, ya… nanti kalau sudah segar, Echa bangun, yaa…” bisiknya mesra.

Sambil mengucap basmallah, Hafidz menyeka wajah cantik Ersha yang pucat, lalu lehernya kemudian bahunya.

Dilepaskannya dengan sangat hati-hati baju rumah sakit yang menempel pada tubuhnya. Hafidz menelan ludah.

Tubuh indah di hadapannya yang biasa menjadi tempatnya memuaskan diri kali ini tergolek tak berdaya rasanya begitu memedihkan hati.

Hafidz bersalawat kala menyeka lengan istrinya, lalu bagian perutnya. Sengaja dilewatinya bagian dada Ersha karena disitu menempel alat-alat yang langsung terhubung dengan monitor, ia tak berani menyentuhnya.

Nampak perban berwarna putih menempel diperut bawahnya, ia menghela napas panjang.

Kembali Hafidz bersalawat sambil mengeringkan tubuh indah kekasihnya dengan handuk, kemudian memakaikan baju bersih yang sudah disediakan perawat.

Terus dilanjutkannya menyeka paha, betis hingga telapak kaki istrinya.

Kaki yang selalu lincah kesana kemari  itu kali ini hanya diam. Hafidz kembali bersalawat.
Hanya itu sepertinya yang mampu meredakan segala sedih yang sejak kemarin terus saja meremas hatinya.

Sesudahnya dipandanginya penuh cinta Ersha.

“Ayo bangun, Nda… abi rindu… “ ucapnya sendu namun mata Ersha tetap saja terpejam.

Hafidz mencium kening dan pipi kekasihnya, lalu kembali membacakan Surah Ar-Rahman.

Tapi entah mengapa kali ini ia sungguh emosional.

Lillaah..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang