Part 30

176 23 8
                                    

“Echa mana...? “

Suara lemah Suryani terdengar saat membuka mata pertama kali. Mila yang duduk persis di sisi pembaringan ibunya tersenyum lembut.

“Echa sedang nemenin Hafidz ngisi seminar. Gimana, Bu..? Masih sakit, nggak? “

Suryani berusaha menggerakkan jari kakinya. Wajahnya sumringah, jarinya sudah bisa bergerak meskipun perlahan, tak terasa sakit. Mungkin obat pereda nyerinya masih bekerja.

Alhamdulillah, Nduk.. Jari-jari kaki ibu sudah bisa digerakin. “

Mila, Lita dan Ardi saling berpandangan. Mereka semua nampak lega.
Lalu perlahan Suryani menggerakkan pergelangan kakinya. Bisa juga. Ya Allah... Air mata bahagianya meleleh.

“Sabar ya, Bu.. Kata dokter bertahap. Jangan buru-buru dulu. Kalo usia masih muda katanya nggak papa.. Proses penyembuhannya lebih cepat, beda sama orang yang sudah berumur. “

Ardi segera berkata melihat ibu mertuanya yang bersemangat sekali menggerak-gerakkan kakinya.
Suryani tersenyum malu. Kepalanya mengangguk pelan.

“Iya, Nak Ardi. Ibu paham. Tingkat kepadatan tulang manusia muda dan tua memang berbeda. “

Ardi mengangguk sambil tersenyum manis.

“Echa lama nemenin Hafidznya? “ tanya Suryani pada Mila.

Lita melengos, “Ibu, ya ampun... Udah ada aku sama Mbak Mila yang dicariin malah Echa! “ sahutnya sambil bersungut-sungut.

Suryani terkekeh. Wah, tertawa pun punggungnya tak nyeri lagi. Ya Allah... Ia sungguh-sungguh bersyukur.

“Bukan begitu... Ibu kan cuma nanya. Kamu sensi amat... “ goda Suryani pada Lita.

Lita hanya melengos pelan.
Mereka berempat mengobrol hangat bersama.

*****

Tepuk tangan terdengar riuh membahana membelah auditorium kampus.

Audience nampak puas akan isi seminar yang sudah Hafidz sampaikan.

Tiap pertanyaan yang diajukan para mahasiswa dijawab Hafidz dengan rinci tapi ringkas dan tak bertele-tele membuat mereka paham.

Hafidz meletakkan kedua tangan di dada menanggapi riuhnya suara tepuk tangan. Senyum hangat nan tulus tergores sempurna di bibirnya.

Nampak Pingkan pun ikut bertepuk tangan dengan mata yang penuh binar cinta meski hanya kekecewaan yang ia dapat.

Mata Hafidz tertuju pada para peserta seminar, lalu berakhir pada satu sosok. Ersha, sang istri. Sama sekali tak beralih sedikit pun memandangnya.

“Baik, rasanya waktu begitu cepat sekali berputar ya, acara ini harus berakhir. Hm, Ustadz Hafidz... Apakah antum berkenan bila ada kawan mahasiswa yang ingin bertanya mengenai agama pada antum lewat WA? “ tanya Pingkan sopan.

Hafidz tersenyum, “Silakan. Tapi afwan kalau saya tak bisa cepat membalasnya. “

Pingkan tersenyum masam. Masih bagus dijawab, biasanya diabaikan. Tapi semua hanya ia ucapkan dalam hati saja.

Ia menyilakan Hafidz duduk kembali di kursi peserta di sebelah Dekan, acara pun ditutup dengan pembacaan doa.

Ersha memandangi suaminya yang usai acara didatangi beberapa mahasiswa dengan penuh kekaguman.

Ia sering mendengarkan ceramah dan tausiyah suaminya, tapi hari ini ia tak bisa bohong.

Hafidz begitu memesona. Lihatlah, banyak mahasiswa yang kemudian mendekati sekedar minta foto bersama dan meminta nomor hp pria muda itu.

Lillaah..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang