Part 63

132 23 18
                                    

Pukul 19.00

Hafidz memperhatikan dengan serius bagaimana semua personil baik kepolisian maupun pihak TNI-AD turun ke jalan untuk melacak keberadaan putrinya.

Mereka berbagi tugas. Ada yang mencari di sekitar Jakarta, ada pula yang sudah menyusuri jalan tol untuk mencari disana. Hafidz sendiri bersama Sugianto dan Serda Hadi berputar di sekitar Jakarta.

Usai salat Magrib mereka mampir ke mini market membeli air minum dan roti kemudian melanjutkan perjalanan.

Hafidz terus fokus dengan tablet yang sejak tadi menyala di tangan Sugianto. Sementara Serda Hadi menyetir dengan full konsentrasi.

Tablet milik Jenderal bintang dua itu terhubung dengan satelit hingga Sugianto bisa terus memantau sudah sampai dimana semua bekerja.
Tak lama muncul gambar di situ.

“Ditemukan ini Ndan, dia rest area KM 57A check!”

Hafidz terhenyak. Ya Allah... ada mukena berwarna ungu dengan bercak darah juga sandal dengan warna yang sama tapi hanya sebelah saja. Dada Hafidz sesak sekali.

“Itu mukena dan sandal Hafla, Pak!” tukasnya serius.

“Oke, mereka dari situ berarti, atau masih disitu. Coba cari dengan teliti!” perintah Sugianto pada anak buahnya.

“Siap!”

“Ya Allah, Pak... Hafla terluka? Mukenanya ada noda darah...” ucap Hafidz getir netranya nampak mengembun.

Sugianto menghela napas dalam-dalam. Ia juga sama khawatirnya dengan Hafidz.
Akan jadi apa sepasang suami istri ini kalau Hafla tak ditemukan dalam keadaan hidup dan baik-baik saja kondisinya.

“Sabar ya, Nak Hafidz. Kita terus berdoa semoga luka Hafla tidak serius.”

Hafidz mengangguk sambil kembali mulutnya komat kamit membaca doa untuk putri kesayangannya.
Sebagai seorang ayah, pastinya Hafidz hanya manusia biasa.

Kalau sampai ada apa-apa dengan putrinya ia akan meminta agar hukum bertindak adil pada orang yang sudah menyakiti gadis mungilnya itu.

Sementara di rumah Hafidz, Ersha berusaha tegar namun air matanya terus saja meleleh.

Berkali-kali Suryani, Hasna, dan Mila membujuknya untuk makan tapi ia menolak.
Mana bisa ia menelan sebutir nasi kalau Hafla belum diketahui dimana rimbanya.

Usai salat Isya, Ardi yang sudah memesankan makanan untuk semua meminta untuk makan.

Ersha menatap es krim yang sudah cair di meja. Hafidz tadi yang membelikan untuk putrinya.

“Ya Allah... Hafla...” tangisnya pecah lagi.

Siska segera mengambil cup es krim yang sudah cair itu dan membuangnya. Dengan cekatan di ambilnya makanan sedikit dan duduk di sisi Ersha.

“Hafla itu anak yang kuat dan tidak cengeng. Ayo, Bunda Hafla juga harus kuat. Harus makan biar nggak sakit.”

Ersha masih saja menangis,”Ya Allah, Kak... aku mana bisa makan... anakku gimana..? Udah makan apa belum..?” lirihnya pedih.

Semua saling berpandangan. Hasna nampak tak kuat menahan sedih. Arkhan memeluknya erat, membiarkan istrinya menangis.

Ia juga sama seperti Hasna sebenarnya, sedih dan takut sekali terjadi apa-apa pada cucu kesayangannya itu. Namun sebagai pria pastinya pantang untuknya menangis seperti sang istri.

Ya Allah... tolong lindungi cucuku dimanapun dia berada... pintanya dalam hati dengan mata mengembun.

“Hafla itu nggak kuat lapar, Sha. Orang suruhan Risna pasti kelabakan kalau membiarkan Hafla kelaparan. Ayo kamu harus makan...”

Lillaah..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang