Part 73

132 19 14
                                    

“Afa mana, Ma..?”

Ningsih terbangun sambil mengerjabkan matanya. Tubuhnya pegal sekali, tapi ia tak mau berjauhan dengan putri tunggalnya ini.

Di ruang ICU tak boleh menggelar tikar untuk beristirahat. Bahkan sebenarnya tak boleh masuk. Ia mendapat dispensasi karena Risna bekerja sebagai dokter di rumah sakit ini.

“Afa pulang, Nak...”

“Yah...” lirih Risna kecewa.

Ningsih tersenyum,”Tapi besok dia janji akan kesini lagi... alhamdulillah mereka lusa baru pulang ke Jakarta.”

Risna melenguh pelan. Ucapan ibunya belum mampu meredakan keinginannya untuk bertemu Hafla lagi.
Ada rasa yang tak bisa Risna terjemahkan bila Hafla menemaninya disini. Yang pasti batinnya terasa tenang.

Ia memang merasa sakit, namun ada sedikit keinginan untuk sembuh. Berbeda sekali saat ia belum bertemu Hafla lagi. Hanya mati dan mati saja yang ia mau agar bisa terbebas dari rasa sakit yang merajam habis tubuhnya dari ujung rambut ke ujung kaki.

Juga ketakutan akan berbagai hal tak mengenakkan yang sudah menunggu di depan sana bila ia sembuh. Oleh karenanya mati sepertinya adalah jalan terbaik.

Ia sudah menyalahi perjanjian yang dibuat Ferdy. Sugianto pastinya akan menggugat balik bukan hanya karena kasus penculikannya, tapi juga seluruh daftar mal praktek yang pernah ia lakukan akan diungkap. Ia tak sanggup lagi.

“Aduh, Ma... sakit...”

Kembali Risna mengaduh. Semua bayangan mengerikan kasusnya yang akan diusut membuatnya lemah.

Ya Allah... benar rasanya mati adalah pilihan terbaik. Namun kalau ia ingat kobaran lidah api maha dahsyat yang akan menjilat tubuhnya dan menghancurkannya dalam sekejap membuatnya dilema.
Bekal apa yang sudah ia siapkan untuk menghadap pada Sang Khalik?

“Ma...Afa, Ma... aku mau Afa...”

“Ya Allah, Ris... ini sudah malam. Besok in syaa Allah dia datang lagi. Mama nggak enak sama keluarganya. Mama panggil perawat saja ya, biar kamu disuntik lagi..?”

Risna menggeleng sambil berlinangan air mata. Saat ini ia hanya ingin Hafla berada di dekatnya menggenggam tangannya membacakannya surah-surah membuat hatinya sejuk.

“Nggak usah. Mama mengaji saja.” Pintanya lirih sambil memejamkan mata.

Ningsih menghela napas panjang.

*****

Untuk pertama kalinya usai kecelakaan yang menimpa Hafla, Ersha dan Hafidz melihat putri mungil mereka yang mampu tertidur pulas tanpa adanya gangguan mimpi buruk yang akhir-akhir ini tak pernah absen hadir dalam tidurnya.

Ersha mengendus pelan pipi montok putri kesayangannya itu.

“Mimpi indah ya, Sayang...” bisiknya lembut.

Hafidz tersenyum bahagia.

Alhamdulillah ya, Nda... semua berjalan baik.”

“Iya... Alhamdulillah. Nampak sekali perbedaan Hafla yang kemarin sama hari ini ya, Mas. Hari ini dia ceria sekali.”

Hafidz mengangguk,”Iya. Kecuali tadi saat kita suruh istirahat dulu, besok jenguk Ukhty Risna lagi. Dianya manyun... hahaha...”

Ersha tertawa sambil mengangguk.

Subhanallah kalo lihat Hafla ini, Mas. Rasa empatinya besar sekali. Malah untuk ukuran anak seusia dia, menurut Nda sudah selevel anak-anak yang usianya jauh di atasnya.”

Lillaah..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang